Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)
Salah solusi tentu menciptakan ragam problem baru. Dipikirnya mengatasi, malah beranak pinak hingga menjamur. Mereka kukuh dengan sistem buatan manusia, padahal sudah disodorkan dan dipaparkan dengan jelas solusi untuk selesaikan problematik.
Pemerintah hari ini memang begitu adanya. Tonjolkan setia pada kapitalisme, padahal ia salah dari lahirnya. Pandemi Covid-19 yang sudah genap setahun tak kunjung temui titik usai. Nyawa para nakes yang berjuang di garda terdepan melawan pandemi, dibiarkan melayang tanpa penjagaan.
Hal senada diungkap Ketua Tim Mitigasi PB IDI, Adib Khumaidi. Bahwasanya dalam kurun waktu 10 bulan, terhitung sejak Maret hingga akhir Desember 2020, terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terjangkit Covid-19. Ia menuturkan, kenaikan angka kematian yang signifikan pada Desember ini, karena beberapa sebab. Antara lain, peningkatan aktivitas yang terjadi seperti berlibur, Pilkada yang dipaksakan ada oleh pemerintah dan aktivitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah. (Nasional.kompas.com)
Meninggalnya ratusan tenaga kesehatan tentu memberi kerugian besar bagi Negeri ini. Sebelum pandemi saja, jumlah dokter di Indonesia berada di urutan terendah kedua di Asia Tenggara. Dimana Indonesia hanya memiliki 4 dokter untuk melayani 10.000 penduduk. Fakta ini sepatutnya memberi sengatan kepada kita, terkhusus penguasa bahwa langkah pengendalian pandemi masih sangat buruk.
Penguasa seharusnya sadar diri, bahwa sejatinya penerapan sistem kapitalisme-lah biang keroknya. Dan merekalah aktor di balik karut marutnya masalah negeri. Tampak, di tengah pesatnya angka kasus Covid-19, pemerintah keluarkan kebijakan dengan pertimbangan untung rugi. Mulai membuka pasar, tidak menutup pintu keluar masuk dari dan ke luar negeri, bahkan kejam kukuh adakan pilkada.
Penguasa mengeluarkan kebijakan yang inkonsisten. Menyuarakan PSBB, lantas memberlakukan new normal di tengah tingginya kasus Covid-19. Padahal ada lampu peringatan dari para ahli, bahwa Indonesia tak sesuai standar untuk berlakukan new normal.
Penguasa juga gencar ekspor APD, padahal para nakes menjerit meminta. Selain itu, sibuk mengurus pergantian menteri ditengah melayangnya ratusan nyawa nakes. Mereka juga berjibaku memakan jatah rakyat kala rakyat meninggal karena himpitan ekonomi.
Penguasa seolah telah kehilangan nurani. Mereka berlaku teramat zalim pada rakyat yang harusnya disejahterakan. Tentu semua ini karena pemberlakuan sistem sekuler kapitalisme, yang melahirkan penguasa berwatak tamak, penguasa yang berorientasi materi.
Penguasa bekerja hanya untuk pengusaha, yang dari kantongnya membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Lihatlah berbagai regulasi yang menitikberatkan kepentingan pengusaha. Mulai dari memberi izin membuka usaha hingga campur tangannya di sistem layanan publik. Maka wajar jika pendidikan, jalan raya, pelabuhan, bahkan kesehatan mesti dibayar mahal oleh rakyat. Sejatinya, rakyat hanya dibutuhkan kala pemilihan tiba.
Biarlah rakyat menjerit sakit. Biarlah rakyat terjerumus ke lembah kebodohan. Biarlah rakyat banting tulang mencari penghidupan tanpa bantuan negara. Biarlah nyawa rakyat melayang, ratusan hingga ribuan. Biarlah para nakes meregang nyawa karena terjangkit virus akibat kurangnya APD. Mereka tak acuhkan itu, karena bagi mereka, kepentingan materi di atas segalanya, bahkan mengalahkan nyawa manusia.
Demikianlah, sistem sekular kapitalisme enggan turut campur dengan hilangnya nyawa manusia. Sangat bertolak belakang dengan sistem Islam yang amat menjaga dan memuliakan nyawa manusia. Nabi saw. bersabda, “Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR. an-Nasai, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi)
Di dalam sistem Islam, syariat Islam ditegakkan secara sempurna. Semua masalah dikembalikan kepada syariat Islam sebagai satu-satunya solusi, sebagai penyelesai masalah, termasuk halnya pandemi. Karena syariat Islam berasal dari Allah Swt. Sang Pencipta, Sang Pengatur, sekaligus Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu.
Penguasa menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat selaras dengan syariat Islam. Berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan, papan, serta keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Semua pemenuhannya berkualitas, tak berbiaya mahal, bahkan gratis.
Sebut saja, sistem kesehatan. Sejatinya, dalam sejarah kehidupan Islam sudah dikenal pembudayaan hidup sehat kala Eropa berada di abad kegelapan, tak tahu cara membersihkan diri. Kebiasaan inilah yang menjadi langkah preventif terjadinya penyakit.
Dalam tulisan Prof. Fahmi Amhar berjudul “Pelayanan Kesehatan dalam Sejarah Khilafah”, dijelaskan bahwa terdapat kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang luar biasa. Salah satu contohnya ialah disinfektan yang hari ini masih digunakan, yang pada mulanya ditemukan oleh ilmuwan muslim, Jabir al-Hayan atau Geber (721-815 M). Pun bahwa cikal bakal vaksinasi yang hari ini digencarkan penguasa, berasal dari dokter-doktee Muslim zaman Khilafah Turki Utsmani.
Penyediaan infrastruktur dan fasilitas kesehatan dalam negara Islam pun unggul dan berkualitas. Di Kairo, pada zaman pertengahan, terdapat rumah sakit Qalaqun yang menampung hingga 8000 pasien. Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa. Lebih lanjut, rumah-rumah sakit di negara Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.
Demikianlah sistem Islam dengan kesempurnaannya, yang apabila diterapkan akan membawa kemaslahatan bagi rakyat. Misalnya, sistem kesehatan dalam Islam dalam menghadapi pandemi seperti hari ini.
Pada awal pandemi, penguasa sigap memberlakukan karantina wilayah yang terjangkit. Sehingga wilayah lain tetap beraktivitas sebagaimana mestinya, tentu berdampak pula pada stabilitas perekonomian. Kebijakan lanjutan, ialah melakukan upaya 3T. Hal ini untuk memeriksa lantas memisahkan yang sehat dan yang sakit, senada sabda Rasulullah saw., “Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat.” (HR al-Bukhari).
Setelah diketahui mana yang sakit, maka dilakukanlah perawatan yang luar biasa berkualitas. Negara juga menggelontorkan dana untuk belanja APD dan peralatan lainnya yang diperlukan oleh tenaga kesehatan. Dari itu, dipastikan nyawa nakes tak sia-sia melayang layaknya sistem hari ini. Negara juga memberi kebebasan bagi dokter dan para ahli untuk melakukan penelitian guna menemukan vaksin yang cocok bagi virus yang ada. Tentu, kembali lagi demi kemaslahatan rakyat.
Begitulah, selain merupakan suatu kewajiban, diterapkannya Islam secara kafah juga demi kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Dengan syariat Islam pulalah, nyawa manusia dilindungi dan dimuliakan. Sangat jauh bak porselen dan tanah liat jika kita sejajarkan sistem Islam dan sistem kapitalisme sekuler.
Wallahu a’lam bishshawab