Sulitnya Negara Berdaulat di Dalam Sistem Politik Sekuler

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Agustin Pratiwi

Cina kembali membuat onar dengan insiden pelanggaran menerobos zona perairan Indonesia. Berdasar klaim sepihak mereka yang memiliki hak atas wilayah tersebut, kapal milik China kembali wara-wiri di wilayah ZEE yuridiksi Indonesia. Tak tanggung-tanggung mulai dari kapal Coast Guard hingga kapal perang negeri tirai bamboo itu mengitari Laut Natuna Utara (dpr.go.id 16/9/2021).

Bahkan pemerintah Cina juga mengajukan protes dan meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas yang tengah dilakukan di area Laut Cina Selatan. SKK Migas selaku regulator hulu migas di Indonesia pada 1 Desember lalu melaporkan adanya temuan cadangan Migas baru di wilayah LautCina Selatan (LCS) tepatnya di wilayah kerja WK tuna perbatasan Indonesia-Vietnam (detik.com 3/12/2021).

Para nelayan yang sempat berpapasan dengan kapal Cina merasa ketakutan jika hendak melaut, meskipun Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI Aan Kurnia telah menyebut akan menjaga dan mengamankan nelayan saat berlayar mencari ikan (Tempo.co 21/11/2021).

Namun di sisi lain, kondisi Bakamla dan pertahanan Indonesia justru tak bisa banyak mengambil langkah. Bagaimana tidak? Mulai dari problem kurangnya Armada pertahanan hingga keterbatasan alutsista juga bahan bakar kapal menjadikan sulit bagi Negara untuk menjaga kedaulatannya.
Dilansir dari cnbc Indonesia.com, GFP mengungkap total personil militer Indonesia hanya 30% dibandingkan Cina, Indonesia memiliki sekitar 800.000 tentara sedangkan China mencapai 2,7 juta personil. Dari segi alutsista Cina juga lebih unggul dengan kepemilikan 3187 pesawat militer untuk pertempuran dan transport, sementara Indonesia hanya memiliki 451 unit pesawat militer. Dalam hal angkatan laut Cina juga lebih unggul karena total aset untuk angkatan lautnya mencapai 714 unit saat Indonesia hanya memiliki 221 unit (5/1/2020).

Selain memiliki kekuatan militer yang cenderung lebih kuat, Cina adalah mitra dagang Indonesia yang banyak melakukan impor. Bahkan Indonesia juga memiliki sejumlah hutang pada China. Oleh karna yang demikian sulit kiranya dapat mengusir Cina dari wilayah yang menjadi otoritas Indonesia. Belum lagi kekhawatiran negara akan merugi jika Cina sampai memutus hubungan dagang dengan negeri ini, tentu pilihan mengancam dan mengusir negeri Cina dari Natuna tidak akan diambil saat negara masih berada dalam kungkungan politik sekuler kapitalistik. Tak bisa dipungkiri bahwa otoritas politik negeri sudah di bawah kendali otoritas politik Cina dimana negara telah kehilangan kedaulatannya. Dalih menjaga hubungan antar negara, tidak akan pernah bisa menyelesaikan pokok permasalahan ini.

Kekeliruan menyoal politik pertahanan negeri mengantarkan pada lemahnya kemampuan militer Indonesia. Padahal politik pertahanan seharusnya dibangun berdasarkan politik perang, sedangkan produksi barang diusung bersama industri militer yang berorientasi pada perang. Saat semua industri dibangun di atas asas perang maka akan sangat mudah dikonsolidasikan ketika dibutuhkan negara. Disamping itu alat-alat perang milik Indonesia banyak yang berasal dari impor yang menjadikan turunya kemampuan dan kemandirian militer negeri ini.

Islam sebagai agama sekaligus ideologi mewajibkan negara mempertahankan wilayahnya. Hal ini didasarkan pada hadits dari Arfajah, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Jika ada orang yang datang kepada kalian ketika kalian telah sepakat terhadap 1 orang sebagai pemimpin lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jamaah kalian, maka perangilah Ia” (H.R Muslim). Maka Negara wajib untuk mempertahankan wilayah kepulauan Natuna dari gangguan negara-negara lain yang hendak menguasainya termasuk Cina.

Kondisi ini kian membuktikan bahwa urgen menghadirkan kepemimpinan dan sistem Islam yang kaffah. Tatanan kepemimpinan yang mampu menjamin dan melindungi umat manusia tanpa membedakan agama, suku, maupun bangsa. Negara dalam Islam juga akan membentuk karakter pemimpin yang tegas, merdeka dari kooptasi berbagai pihak agar mampu menegakkan hukum atas pelanggaran yang terjadi. Dalam sistem Islam kedaulatan berada di tangan Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik otoritas (bukan di tangan pemimpin yang tunduk pada kekuatan dan hukum lain). Maka syariat Allah Ta’ala lebih tinggi dari produk hukum apa pun. Apapun bentuk pelanggaran dan siapapun pelakunya, pasti akan ditindak dan Negara akan menghentikan semua bentuk kekuatan hegemoni yang menyandera kedaulatan rakyat.

Khalifah sebagai pemangku kepemimpinan militer akan memimpin aktivitas mengemban dakwah keseluruh dunia melalui jihad. Jihad adalah satu-satunya metode untuk melindungi kekuasaan atau Negara secara internal dan eksternal. Kekuatan militer adalah satu-satunya baju pelindung dari kekuatan dan Negara kufur. Maka menjadi hal pokok bagi negara menyediakan kekuatan militer, menaruh perhatian terhadap kekuatan militer dan menggali pengetahuan tentang pertimbangan kemiliteran untuk mewujudkan jihad (Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah Juz II) .

Selain itu memang sudah seharusnya Indonesia memutus hubungan dengan Cina. Dalam pandangan Islam, Cina dikategorikan sebagai negara kafir Harbi. Yaitu negara asing yang sedang memerangi negara muslim, hal ini dibuktikan dari perlakuan Cina yang biadab kepada kaum Muslim di Uighur. Maka sikap yang harus diambil terhadap negara kafir harbi muhariban fi’lan dalam interaksinya adalah perang, tidak boleh ada perjanjian apapun dengan negara kafir seperti ini.

Jihad merupakan aktivitas utama yang akan mampu menghalau semua gangguan yang mengancam negara. Sebagaimana yang ditunjukkan Rasulullah Saw, pada saat memerangi pengkhianatanYahudi. Rasulullah Saw. berangkat ke Khaibar pada Muharam 7 H bersama 1.400 pasukan untuk menaklukkan benteng Khaibar. Dalam perjalanan ke Khaibar, demi menggentarkan para pengganggu negara, Rasulullah Saw unjuk kekuatan militernya untuk menciutkan nyali kabilah Ghathafan yang akan membantu orang-orang Yahudi. Demikian pula Khalifah Salim II mengabulkan permohonan Sultan Aceh Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (berkuasa 1537-1571) dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh sebagai tanggung jawabnya melindungi negeri-negeri Islam. Maka, Panglima Kurdoglu Hizir Reis dari Alexandria-Mesir, memimpin armada Khilafah Utsmaniyah demi memerangi kaum kafir Portugis di Malaka pada 20 Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 JannisariesUtsmaniyah, dan 200 meriam perunggu.

Maka hanya dengan kembali pada tatanan yang bersumber dari Sang Pencipta sekaligus Pengatur Alam Semesta Allah SWT kasus seperti Natuna tidak berulang, dengan itu pula negara akan diantarkan pada posisi adidaya yang ditakuti dan disegani negara lain. Sebab kedaulatan haruslah dikembalikan pada Fitrah hakikinya, yakni anugerah Allah yang harus dilaksanakan secara Kaffah sesuai petunjuknya. Wallahua’lambissowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *