Sulitnya Jaminan Perlindungan Anak Tanpa Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Sulitnya Jaminan Perlindungan Anak Tanpa Islam

Rima Rahmawati

Kontributor Suara Inqilabi

 

Anak merupakan anugerah dari Sang Pencipta. Ia penerus generasi, aset keluarga, penyambung estafet perjuangan agama dan negara di masa yang akan datang. Keberadaan anak selain sebagai karunia dari-Nya, ia juga merupakan amanah yang harus dijaga, dilindungi, dan dipenuhi hak-haknya.

Namun miris jika melihat realitas hari ini. Banyak kasus kekerasan dimana anak sebagai korbannya. Bahkan ironinya tidak sedikit pelaku adalah orang terdekat korban. Seperti yang terjadi pada JAP (3) anak dari selebgram Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia yang akrab disapa Aghnia Punjabi. Kekerasan terhadap JAP dilakukan oleh pengasuhnya yang berinisial IPS (27) pada Kamis 28 Maret 2024 lalu dengan motif kesal karena korban tidak mau diobati dan beberapa faktor pendorong personal lainnya. (kompas.com 31/03/4)

Kasus di atas hanya salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan anak yang tidak sampai ke permukaan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan pada tahun 2023 ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri mencakup kekerasan secara fisik, psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. (dataindonesia.id 23/02/24)

Jumlah kekerasan yang terjadi pada anak seperti yang telah disampaikan di atas tentu semakin fantastis jika ditambah dengan kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Kondisi ini seharusnya cukup menumbuhkan kesadaran bagi kita bahwa dunia anak-anak hari ini tidak sedang baik-baik saja.

Dipisahkannya agama (read: Islam) dari kehidupan menjadi penyebab utama maraknya kasus kekerasan terhadap anak. Penting dipahami bahwa Islam bukan sekadar agama yang mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya. Tapi jalan hidup yang menetapkan standar-standar perbuatan agar manusia dapat menjalankan peran sebagai hamba-Nya di bumi dengan baik. Islam dengan aturan-aturannya telah merinci apa saja yang menjadi kewajiban ayah dan ibu dalam sebuah keluarga. Ayah tentu bukan hanya sebagai pihak yang mengupayakan nafkah namun juga sebagai pendidik bagi keluarganya. Ibu selain sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya juga “rumah” bagi suami dan anak-anaknya.

Namun sayangnya peran-peran ini seringkali terabaikan karena banyak faktor, diantaranya tuntutan kebutuhan dan gaya hidup. Tidak sedikit fakta di lapangan peran ibu ditanggalkan karena peran ayah yang tidak berfungsi atau ibu perlu turun tangan untuk membantu ayah dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Tuntutan hidup yang serba sulit akibat pengaturan ekonomi bukan oleh syariat-Nya dapat memicu tingkat stress sehingga banyak yang hilang kendali dan lebih mudah melakukan kekerasan entah oleh orangtua, pengasuh, ataupun anggota keluarga lainnya. Selain hal tersebut, orientasi dan gaya hidup yang serba materialistik akibat pandangan hidup kapitalisme menjadikan orang-orang getol mengumpulkan materi sebanyak mungkin meskipun kebutuhan telah terpenuhi. Rasa cukup sulit diperoleh dan anak menjadi korban penelantaran pengasuhan orangtuanya yang sibuk. We

Di sisi lain regulasi yang ada tidak mampu mencegah tindak kekerasan ini, terbukti dengan banyaknya jumlah korban dan kasus yang seringkali berulang. Maka di sini negara perlu mengevaluasi secara menyeluruh dan mendalam hal-hal yang mengganggu terwujudnya jaminan perlindungan bagi anak, termasuk mengevaluasi asas dari lahirnya berbagai peraturan yang ada.

Telah disampaikan sebelumnya bahwa penyebab utama kasus kekerasan pada anak adalah dipisahkannya Islam dalam kehidupan. Maka solusi efektif dari permasalahan ini adalah menghadirkan Islam dalam berbagai aktivitas manusia baik yang berhubungan dengan Pencipta, dirinya sendiri, dan sesamanya. Orangtua perlu membekali diri dengan ilmu agama agar memahami peran serta kewajiabannya sebagai orangtua. Hal ini telah dijelaskan dengan rinci oleh Islam dalam berbagai literatur, tinggal mau atau tidak untuk mengkajinya. Sehingga berbagai interaksi dalam keluarga terjalin atas panduan syariat-Nya.

Dalam Islam penjagaan dan perlindungan anak bukan hanya kewajiban orangtua biologisnya. Lingkungan dalam hal ini masyarakat memiliki peranan yang tidak kalah penting, yakni menciptakan lingkungan yang kondusif dengan ikut terlibat dalam mengontrol perilaku anak dari berbagai pelanggaran hukum-hukum Allah SWT. Penerapan sistem sosial Islam ini yang akan membentuk kebiasaan amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.

Negara memiliki seperangkat instrumen untuk mengatur dan mengurus rakyatnya. Tentu juga memiliki otoritas agar jaminan perlindungan anak benar-benar dapat terealisasi. Yaitu dengan mewujudkan sistem pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan dan sanksi yang berbasis Islam. Rahmat Islam akan dapat dirasakan oleh penduduk bumi ketika benar-benar diterapakan di seluruh lini kehidupan.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *