Suara Rakyat Dibungkam, Anomali Demokrasi kah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rumaisha 1453

(Aktivis BMI Community Kota Kupang)

Bagai pungguk merindukan bulan. Berharap perubahan dalam sistem demokrasi adalah hal yang mustahil. Demokrasi dengan jargon suara rakyat adalah suara Tuhan, pun kemudian tidak didengarkan lagi, bahkan dibungkam. Demokrasi yang katanya sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, akhirnya kebebasan yang berbau kepentingan pun diutamakan. Inikah anomali demokrasi? Akankah berlanjut?

Lembaga Indikator Politik Indonesia mencoba memotret kondisi demokrasi di Indonesia melalui survei opini publik. Salah satu yang menjadi variabel yakni hak menyatakan pendapat. Direktur Ekskutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi mengatakan, survei menunjukan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat 79,6 persen. Makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen. Dan aparat dinilai semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa 57,7 persen (https://www.merdeka.com, 25/10/2020).

Rentetan tudingan bahwa rezim Joko Widodo identik dengan zaman orde baru. Tudingan ini sebenarnya bukan pertama kali di tengah demo tolak UU Ciptaker. Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan terdapat tiga indikator yang bisa mengonfirmasi ragam tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan orba. Pertama, pembatasan kebebasan sipil. Kedua, bisa dilihat dari cara pemerintah memanfaatkan aparat penegak hukum untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Terakhir, dilihat dari ‘perselingkuhan’ antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar terjadi. (https://www.cnnindonesia.com, 22/10/2020).

Dari fakta-fakta ini kita bisa melihat bahwasannya negara Indonesia yang katanya sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat pun akhirnya nihil. Semua hanya narasi belaka, akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Pada akhirnya hukum dimanfaatkan penguasa untuk membungkam suara rakyat. Hukum dijadikan alat untuk membasmi rakyat kritis di negeri ini. Hukum bukan hanya menyasar organisasi atau kelompok tertentu, akan tetapi individu yang kritis juga.

Suara-suara kritik rakyat dibungkam dan ditanggapi dengan emosional dan cenderung membela diri. Pemimpin dalam sistem demokrasi menjadikan kritik sebagai penyakit yang harus dihilangkan. Katanya demokrasi yang menjamin kebebasan, tapi hanya pencitraan belaka. Ini semua menjadi hal yang biasa karena demokrasi memang akan memunculkan penjajahan minoritas atas mayoritas. Karena dalam sistem ini kekuasaan adalah alat kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Dalam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini, rakyat diminta bersuara lima tahun sekali. Suara rakyat dibutuhkan pada saat pemilihan umum saja. Setelah mereka menjabat pun tak dibutuhkan suara-suara rakyat, apalagi didengarkan. Disini kita melihat suara rakyat dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan saja. Dan bila suara atau kritik rakyat mengganggu kepentingan korporasi kemudian pun dibungkam. Ini standar ganda yang digunakan pemimpin di dalam demokrasi dalam hal menyikapi suara rakyat.

Sistem demokrasi melahirkan negara korporasi. Di dalam negara korporasi pengusaha menikah dengan penguasa, bukan lagi selingkuh. Bila kritik rakyat sudah mengarah pada pemilik modal maka siap-siap untuk dibungkam. Kepentingan bisnis lebih utama dibandingkan suara dari rakyat yang menuntut kesejahteraan dan keadilan. Demokrasi hanya mewadahi perbedaan retorika saja, yang lain tidak boleh ada. Kebanyakan yang menjadi korban adalah umat Islam, yaitu mereka yang menyuarakan aturan Sang Pencipta.

Itulah gambaran negara yang menggunakan sistem demokrasi menanggapi kritik dari rakyat. Berbeda jauh dengan sistem Islam. Budaya muhasabah atau kritik inilah yang dihidupkan dan dijaga dalam kepemimpinan Islam. Mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru, adalah hal yang diajurkan dalam sistem Islam. Karena meskipun sistemnya adalah Islam, akan tetapi yang memimpin pun adalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa.

Budaya kritik atau muhasabah kepada pemimpin ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Jika melihat dari sejarah, aktivitas kritik kepada penguasa ini dilakukan dari semua kalangan, baik para sahabat yang terkenal, maupun rakyat biasa, laki-laki dan perempuan. Pada masa pemerintahan Rasulullah Saw seorang sahabat bernama Hubbab bin Mundzir pernah menasehati Rasulullah Saw dalam menentukan posisi pasukan di medan perang badar.

Aktivitas muhasabah yang paling utama adalah muhasabah kepada penguasa. Kritik atau muhasabah ini dilarang jika berkaitan dengan fisik dari penguasa. Aktivitas ini dilakukan semata-mata untuk memelihara terjaminnya urusan umat serta penegakkan sanksi hukum Islam bagi pelanggararnya. Dengan demikian kesejahteraan dan keadilan dapat terwujud di tengah-tengah umat. kutamaan serta kewajiban mengoreksi penguasa sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw, dan bertanya, ‘jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa zalim .’” (HR Imam Ahmad).

Meskipun disaat ini represif dalam menanggapi kritik terutama dari umat Islam, kebenaran Islam harus tetap diperjuangkan. Agar sistem demokrasi ini dapat tercabut sampai ke akar-akarnya. Disaat itulah sistem Islam siap menggantikan dan menjadi wadah agar kaum muslimin bisa melakukan jihad yang paling utama ini. Apapun resikonya yang akan dihadapi dalam perjuangan ini, cukuplah balasan yang terbaik dari Allah SWT.

WalLahu a’lam bi ash-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *