Strategi Menghentikan Laju Deforestasi 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Strategi Menghentikan Laju Deforestasi 

Meilina Tri Jayanti, S.P.

Kontributor Suara Inqilabi

 

Indonesia dikenal dengan julukan negeri “gemah ripah loh jinawi”. Salah satu yang mendasarinya adalah potensi sumber daya alam hutan yang dimiliki. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, hutan Indonesia memiliki potensi mencapai 99,6 juta hektare atau 52,3% dari luas wilayah Indonesia. Beragam flora dan fauna terkandung di dalamnya, bahkan banyak di antaranya merupakan spesies endemik atau hanya ditemukan di Indonesia tidak ditemukan di tempat lainnya.

Dijuluki sebagai paru-paru dunia, hutan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Berbagai flora yang terdapat dalam hutan bermanfaat sebagai sumber pangan masyarakat, mengikat racun yang berasal dari polusi udara dan sebagai lingkungan yang mampu mengikat/menyimpan air di kala musin hujan.

Kawasan hijau yang begitu luas ini sepatutnya mampu mewujudkan kehidupan masyarakat nyaman dan sejahtera. Namun saat ini bencana banjir, tanah longsor, dan puting beliung kerap kali terjadi. Beberapa spesies fauna pun terancam punah. Pola pergantian musin yang tidak lagi teratur, menyebabkan perubahan iklim yang berdampak pada sektor pertanian. Fakta-fakta tersebut merupakan gambaran dari mulai terganggunya keseimbangan ekosistem lingkungan hidup masyarakat.

Ideologi Kapitalisme Pangkal Masalah

Mayoritas negara saat ini menganut sistem ekonomi kapitalis, tak terkecuali Indonesia. Karakter dari sistem ekonomi kapitalis meniscayaan adanya kesenjangan kelestarian lingkungan dan pembangunan. Eksploitasi sumber daya yang memenangkan sifat rakus individu/golongan adalah yang paling menonjol.

Sistem ini pun tidak mengenal pembagian kepemilikan. Semua jenis sumber daya alam bisa dikuasai oleh siapa pun yang mampu memilikinya. Tidak memandang apakah jumlah sumber daya tersebut berlimpah ruah, sehingga ketika SDA tersebut dieksploitasi, hasilnya memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga negara. Ekonomi kapitalis menjadikan sebagian besar keuntungan eksploitasi SDA masuk ke kantong para pengusaha.

Tak terkecuali kebijakan pengelolaan hutan. Legalitas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1967 mengakibatkan deforestasi di Indonesia sangat masif. Alih fungsi hutan terus terjadi. Hutan digunduli dan difungsikan sebagai lahan industri kayu, lahan perkebunan, pertanian, atau pemukiman. Penyelewengan regulasi hukum justru kerap dilakukan oleh pengusaha pemegang HPH. Ditambah dengan praktik korupsi dan kolusi yang menjadikan kerusakan hutan melaju pesat. Alih-alih menjadi pengelola dan pelestari hutan, pengusaha pemegang HPH justru menjadi pihak yang merusak hutan.

Dampaknya adalah bencana alam. Misalnya bencana tanah longsor, yang menyebabkan banyak material tanah (terutama kandungan organik) mencemari aliran-aliran sungai yang merupakan sumber air bersih masyarakat. Tak jarang rumah-rumah mereka rusak akibat tanah longsor atau air bah. Hewan-hewan yang terusik habitatnya seperti buaya dan ular, banyak yang menyambangi rumah-rumah warga. Bukan hanya manusia, hewan pun terdampak rusaknya penerapan sistem kapitalis. Keadaan hidup yang semakin jauh dari kata layak.

Pengelolaan Hutan Menurut Islam

Sebagai pedoman hidup yang bersumber dari Sang Pencipta, Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna. Ajaran Islam telah menempatkan kepemilikan hutan dengan tepat. Dalam hadis riwayat Abu Daud, Ahmad, dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw., bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput (gembalaan), dan api.”

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa ketiga benda tersebut merupakan sumber kepemilikan bersama/umum. Melihat dari sifat ketiga benda tersebut mempunyai potensi kekayaan berlimpah yang memungkinkan untuk menjamin pemenuhan hajat hidup seluruh masyarakat, dan hutan merupakan salah satu di dalamnya.

Hanya saja dalam memanfaatkan hasil hutan, masyarakat tidak mudah mendapatkannya secara langsung. Membutuhkan upaya pencarian dan penggalian sumber-sumber kekayaan hutan yang notabene membutuhkan ilmu pengetahuan, keahlian, biaya riset, dan biaya-biaya eksplorasi serta eksploitasi yang mahal.

Atas dasar ini, Islam menetapkan penguasa/pemimpin berkewajiban untuk mengelolala sumber daya tersebut atas nama rakyat. Hasil dari pengelolaan tersebut, penguasa wajib mengembalikannya kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan fasilitas-fasilitas kehidupan dengan biaya murah (bila memungkinkan gratis) dan dengan kualitas prima. Seperti pemenuhan fasilitas pendidikan, kesehatan, keamanan, yang manfaatnya dengan mudah dapat diakses untuk semua lapisan masyarakat. Tak lagi ada slogan “masyarakat miskin dilarang sekolah” atau “masyarakat miskin dilarang sakit, pun tak ada lagi drama “kelangkaan pangan”.

Predikat penguasa yang disematkan pada seorang pemimpin tidak bisa sekonyong-konyong diselewengkan untuk menguasai sumber hidup masyarakat bahkan menjualnya kepada pihak swasta untuk hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang. Ada mekanisme kontrol yang ketat yang dilakukan baik oleh masyarakat secara langsung ataupun oleh para hakim (Qodi madzolim). Dengan standar perbuatan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, seorang penguasa mempunyai misi riayah (mengurusi) urusan masyarakat. Dan ini hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *