Sistem Tariff Adjusment Menguntungkan atau merugikan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)

 

Di penghujung tahun 2021 bukan berita gembira yang didapatkan masyarakat. Tahun 2021 belum juga berakhir, pemerintah sudah berencana menaikkan tarif listrik untuk 13 golongan non subsidi.

Dikutip dari kontan.co.id (10/12) bahwa pemerintah berencana pada semester kedua tahun 2022 mendatang menerapkan tarif penyesuaian untuk listrik pada 13 golongan non subsidi. Tarif penyesuaian listrik ini disesuaikan setiap tiga bulan bergantung pada pergerakan tiga komponen pembentuk harga yakni nilai kurs, harga minyak, dan juga inflasi. Menurut prediksi kenaikan tarif listrik berkisar antara 3 persen sampai 5 persen.

Kondisi pandemi Covid 19 yang mulai membaik mendorong pemerintah untuk menaikkan tarif listrik. Pemerintah berdalih saat ini perekonomian masyarakat dan para pelaku usaha sudah mulai kondusif. Tidak seperti saat awal pandemi dan saat diterapkannya PPKM, kondisi perekonomian masyarakat porak-poranda.

Lantas, apakah tariff adjusment atau tarif penyesuaian yang diterapkan akan menguntungkan ataukah justru mencekikj masyarakat?

Tarif penyesuaian yang rencananya diterapkan pada semester kedua tahun 2022 mendatang sifatnya fluktuatif. Sebab tarif ini dipengaruhi oleh tiga komponen pembentuk harga yakni nilai kurs, harga minyak, dan inflasi. Di antara ketiga komponen tersebut yang paling berpengaruh besar adalah BBM.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menjelaskan bahwa penerapan tariff adjusment menjadi solusi yang tepat. Karena dengan sistem tariff adjusment dapat memberikan pendapatan yang lumayan untuk PLN. Sehingga PLN bisa memperbaiki kondisi finansial dengan diterapkannya kebijakan ini. (kontan.co.id, 10/12/2021)

Dampak positif yang didapatkan PLN dengan menerapkan kebijakan tariff adjusment tidak berbanding lurus dengan masyarakat dan para pelaku usaha. Sebab dengan diterapkan sistem tariff adjusment dengan kemungkinan terbesar terjadi kenaikan tarif listrik, maka akan dapat memberatkan masyarakat dan para pelaku usaha yang belum pulih sepenuhnya. Ibaratnya kondisi pandemi Covid 19 baru membaik beberapa bulan ini, tentu saja usaha dan perekonomian masyarakat masih merangkak pelan. Sesuatu yang mustahil kondisi perekonomian yang baru saja porak-poranda babak belur karena pandemi Covid 19, lantas perekonomian dapat secepat kilat melejit.

Semestinya pemerintah tidak terburu-buru menetapkan kebijakan. Pandemi Covid 19 yang belum berakhir juga hingga penghujung tahun 2021 semestinya dijadikan evaluasi untuk memperbaiki penanganan. Bukan kemudian malah menambah masalah baru.

Jika pemerintah tidak bersegera memperbaiki penanganan pandemi Covid 19, dikhawatirkan akan terjadi gelombang badai pandemi yang ketiga. Mumpung angka kasus melandai, pemerintah harus berupaya optimal menekan angkanya menjadi zero kasus. Hal ini harus serius menjadi perhatian pemerintah agar kondisi aman dan nyaman lekas terwujud.

Sayangnya, pemerintah menerapkan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme ini mendorong pemerintah memberikan pelayanan berdasarkan untung rugi. Termasuk diantaranya pelayanan listrik yang semestinya menjadi hak seluruh masyarakat. Nyatanya, tak ada yang gratis di negeri ini. Memang ada golongan masyarakat yang mendapatkan subsidi listrik sebesar 25 persen hingga 50 persen. Namun, golongan tersebut hanya sebagian kecil dengan syarat dan ketentuan berlaku. Ibaratnya pemerintah bertindak sebagai penjual, sedangkan masyarakat bertindak sebagai pembeli.

PLN sendiri pada sepanjang semester 1 tahun 2021 telah membukukan laba bersih sebesar Rp 6,6 triliun. Semestinya kondisi keuangan PLN dengan laba bersih cukup besar tersebut mendorong kebijakan bahwa pelayanan listrik tidak hanya berorientasi pada keuntungan. Daripada berencana menaikkan tarif listrik sebaiknya PLN mengoptimalkan distribusi listrik di wilayah-wilayah terpencil yang belum mendapatkan pelayanan listrik. Kendala-kendala pemasangan listrik di wilayah tersebut semestinya betul-betul dikaji untuk mendapatkan solusi terbaik agar distribusi listrik merata ke seluruh wilayah Indonesia.

Penyediaan listrik sebenarnya merupakan salah satu bentuk pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat berhak mendapatkan listrik. Sebab jika ditinjau berdasarkan sistem ekonomi Islam, listrik termasuk kepemilikan umum. Kepemilikan umum berarti negara hanya mengelola sedangkan hasilnya diperuntukkan rakyat. Karena merupakan hak rakyat, semestinya masyarakat mendapatkan pelayanan listrik secara gratis. Kalaupun harus membayar maka seharusnya dengan tarif yang murah karena masyarakat hanya membayar biaya operasional.

Seorang pemimpin dalam Islam bertindak sebagai ra’in yakni pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan rakyat yang dipimpinnya. Termasuk salah satu di antara kebutuhan masyarakat adalah kebutuhan terhadap listrik. Karena merupakan kebutuhan masyarakat maka Khalifah berupaya secara optimal mendistribusikan listrik secara merata ke seluruh wilayah khilafah.

Wallahu a’lam bish showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *