SHORT MOVIE MY FLAG: MENONJOLKAN KEKERASAN KETIMBANG ARGUMENTASI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sulistyaningsih

Film pendek “My Flag – Merah Putih vs Radikalisme” yang ditayangkan NU Channel menuai kontroversi. Bahkan tayangannya di YouTube sejak 23/10/2020 memborong dislike. Rupanya film yang diseponsori Martha Tilaar ini membawa pesan buruk yaitu perpecahan.

Dalam mengatasi perbedaan, yaitu perbedaan antara tokoh protagonis yang membawa bendera merah putih dengan antagonis yang memegang bendera hitam dan bendera putih, sang sutradara yang namanya disembunyikan menggunakan pendekatan kekerasan. Film ini tidak dibuat dalam perspektif yang cerdas, yaitu mengatasi persoalan  dengan argumentasi, para tokoh yang berbeda haluan tidak diajak duduk bersama merembug konflik. Tayangan berdurasi 7:30 menit ini lebih memilih perkelahian, seperti panggung ketoprak.

Ekspresi seperti itu mencermikan benak sang kreator. Ini mengingatkan pada perilaku suatu kelompok yang kerap mempersekusi kelompok lain dalam berbagai peristiwa lalu. Publik sudah sering mendengar perihal kelompok yang mempersekusi kelompok lain yang membawa bendera hitam dan bendera putih saat pengajian akbar.  Bendera tersebut dirampas, pengibarnya dibentak dan dihinakan, mereka yang gemar main otot itu menempatkan diri sebagai penegak hukum, bahkan model penegak hukum yang arogan. Dalam dunia nyata, bukan dunia film yang menyembunyikan angka dislike setelah ketahuan menggelembung, pembawa bendera hitam dan bendera putih mengalah, tidak membalas dengan kekerasan, karena mereka terbiasa menggunakan pendekatan argumentatif, juga menyadari bahwa yang sedang dihadapi adalah saudara seaqidah.

Peristiwa di Garut, misalnya, pengibar Bendera Nabi tidak melakukan balasan fisik ketika bendera berlafadz La illah ha ilallah Muhammad Rasulullah dibakar oleh kelompok yang mirip-mirip dengan tokoh protagonis dalam film tadi. Imajinasi pembuat film ini membelokkan kebenaran faktual, di sana digambarkan mereka saling serang, berkelahi, lalu mudah ditebak, pengibar Merah Putih menang. Sesungguhnya akan elegan jika sang kreator memilih logika berfikir ketimbang kekerasan, tetapi ini menjadi harapan yang sulit ketika benak sang pembuat memang sudah terbiasa dengan otot ketimbang akal.

Film itu dibuka dengan petikan, “Dulu Merah Putih dipertahankan dengan nyawa, sekarang kita harus mempertahankan Merah Putih dengan karya dan cinta,” Tapi mana buktinya? Mana cintanya? Mereka malah menyerang dan beradu fisik dengan orang-orang bercelana cingkrang dan bercadar; persepsi spektator mencoba diarahkan bahwa kaum bercadar adalah kaum radikal. Ini bukan cinta melainkan penyesatan opini, membuat gaduh yang bermuara pecah belah antar umat Islam.

Ungkapan lain dalam film tersebut adalah, “Jadi jangan pernah ditipu oleh pengasong-pengasong bendera lain.” Jika kreator film itu mau jujur dan berpikir jernih, mereka mestinya dapat melihat bahwa lawan Merah Putih sudah ada di depan mata, yaitu pengibar bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mengapa mereka tidak melawan ketika bendera Bintang Kejora jelas-jelas berkibar di Papua? Mengapa dalam film itu tidak ada kelebat bendera OPM? Apakah mereka takut bila orang-orang Papua itu menyerang kelompoknya? Atau karena tidak ada sponsor untuk adegan itu?

Hal ini mengungapkap sisi lain benak mereka, yaitu Islamopobia, ketakutan pada kebangkitan peradaban Islam. Ini sebagaimana ketakutan Barat pada kembalinya fajar Khilafah setelah keruntuhannya tanggal 3 Maret 1924 di Turki. Setelah Khilafah berahkhir, Barat menderita Islamopobia akut sehingga berusaha membujuk dan orang lain, termasuk pada sebagian orang Islam sendiri agar ikut terpapar mimpi gelap itu. Supaya institusi Negara Islam tidak berdiri lagi, umat Muslim yang telah teracuni pemikiran Barat ikut ketakutan pada ajaran Islam kaffah; alhamdulillah, virus Islamopobia tidak menular pada umat Muslim yang mau mengkaji dan memperjuangkan peradaban Islam agar kembali tegak.

Allahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *