Oleh: Ratna Munjiah (Muslimah Ideologis dari Samarinda)
Setiap membina rumah tangga sejatinya ingin mendapatkan rumah tangga yang samawa, namun cita-cita dan harapan itu saat ini seperti jauh dari kenyataan. Didapati berbagai berita yang mengabarkan bagaimana perceraian saat ini marak terjadi. Dan perceraian tersebut tentu banyak penyebabnya.
Dalam nenghadapi tingginya angka perceraian dan masalah rumah tangga, akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan dengan adanya sertifikasi nikah.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha’i, mengatakan setuju dengan rencana pemerintah mewajibkan sertifikat layak kawin bagi calon pengantin.
Imam menilai, wacana mewajibkan sertifikasi perkawinan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera.
Sebetulnya, kata Imam, program tersebut sudah dimulai Kementerian Agama melalui suscatin. Bahkan, Kementerian Agama telah melakukan bimbingan teknik bagi penghulu, penasihat perkawinan, dan kepala kantor urusan agama di seluruh Indonesia terkait suscatin. ” Intinya Kemenag ingin membangun keluarga yang kokoh demgan prinsip keadilan dan kesalingan,” ujarnya.
Menurut Imam, sertifikasi perkawinan menjadi penting karena saat ini terjadi perang narasi ketahanan keluarga. Ada kelompok yang memaknai bahwa ketahanan keluarga dengan kembalinya perempuan ke ruang domestik, ketaatan penuh pada suami, dan kepemimpinan laki-laki.
Sementara konsep perkawinan yang ditawarkan Kemenag adalah perkawinan yang berdiri di atas prinsip keadilan, kesalingan, kesetaraan. ” Hanya melalui yang kedua ini ketahanan keluarga yang menjadi bangunan ketahanan negara bisa dicapai,” katanya.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin. Pasangan yang akan menikah harus dibekali pemahaman yang cukup tentang pernikahan. Salah satu pengetahuan yang harus mereka miliki tentang ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi.
Menurut Muhadjir, dengan pengetahuan soal pernikahan yang cukup, diharapkan dapat menekan angka perceraian. Sebetulnya kata dia, program pelatihan pranikah ini sudah dilakukan di beberapa kalangan kelompok keagamaan. ” Tapi ini mau saya harus lebih masif, berlaku sifatnya harus wajib.”(https://nasional.tempo.co/read/1272361/komisioner-komnas-perempuan-setuju-ada-sertifikat-layak-kawin/full&view=ok)
Sungguh sangat menyayat hati, aturan pemerintah seperti demikian tentu sangat jauh dari aturan Islam. Menetapkan perkawinan melalui cara sertifikasi dengan tujuan kesetaraan dan keadilan, merupakan hal yang bertentangan dalam Islam.
Lagi-lagi sejatinya kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah efek dari diterapkannya sistem liberal sekuler yang memisahkan aturan agama untuk mengatur urusan kehidupann. Akhirnya semua serba bebas tidak lagi mengindahkan aturan sang pencipta yang sejatinya menetapkan setiap aktivitas manusia harus terikat dengan hukum syara, termaksud perkara pernikahan.
Menurut pandangan Islam, pernikahan merupakan suatu jalan yang paling baik dan bermanfaat dalam upaya untuk menjaga kehormatan diri, karena hukum pernikahan dapat menghindarkan kita dari perkara yang dilarang dan diharamkan Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan bagi setiap jiwa untuk segera mempercepat pernikahan bagi mereka yang telah mampu, baik lahir maupun bathin. Karena dengan menikah, gejolak biologis (ghorizah na’u) yang merupakan fitrah dari Allah SWT dapat disalurkan secara baik. Selain itu, pernikahan juga dapat mengangkat cita-cita luhur yaitu untuk menghasilkan keturunan yang nantinya akan berperan dalam kemakmuran di bumi. Dalam Q.S. Ar-Ruun ayat 30, Allah SWT berfirman: ” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Sejatinya pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam apalagi bagi setiap jiwa yang sudah mampu untuk menikah, karena nikah merupakan fitrah kemanusiaan yang sesuai dengan naluri kemanusiaan. Jika naluri tersebut tidak dipenuhi melalui jalan yang benar yaitu melalui pernikahan, maka akan menjerumuskan seseorang ke jalan syaitan sehingga mereka dapat berbuat hal-hal yang diharamkan seperti berzina, kumpul kebo dan lain sebagainya. Menikah pun dapat dijadikan sebagai benteng yang kokoh bagi akhlak manusia. Dalam sebuah hadist dikatakan ” Wahai para pemuda ! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya ( HR. Ahmad, Bukhar, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud, dan Baihaqi).
Dengan melihat kebaikan dari pernikahan tentu adanya sertifikasi nikah sangat bertentangan. Menjadi sesuatu yang menggelikan tentu, saat ini pasangan yang ingin menikah dibatasi dengan peraturan yang termuat dalam sertifikasi pernikahan tersebut. Walaupun tujuan sertifikasi itu untuk menghindari perceraian, dan ingin membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Namun jika sandaran yang dipakai bukan syariat Islam tentu bisa dipastikan bahwa sertifikasi nikah bukanlah solusi yang tepat dalam menghadapi sederet permasalahan rumah tangga.
Dalam Islam pernikahan bukan sekedar untuk memenuhi naluri seksual, tapi mendapatkan keturunan yang berakhlak mulia, oleh karenanya lelaki yang ingin menikah selain mampu dalam naluri juga mampu dalam memenuhi perannya sebagai kepala keluarga. Islam mewajibkan bagi para suami untuk bekerja dan memenuhi nafkah keluarganya dengan nafkah yang halal. Dalam sistem Islam negara akan memberikan jaminan terhadap warganya, apalagi untuk para suami, negara akan memberikan lapangan pekerjaan yang baik, agar para suami dapat bekerja dengan baik. Tidak seperti yang terjadi saat ini, pemerintah sibuk mengurusi masalah sertifikasi tanpa melihat akar permasalahan yang terjadi. Saat ini para lelaki atau suami dihadapkan pada miskinnya lapangan pekerjaan, sehingga menyebabkan para istri atau wanita, mau tidak mau ikut bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Jikalau penguasa mau mengoreksi atas kebijakan yang diambil, tentu permasalahan keluarga tidak akan terjadi seperti saat ini sehingga menyebabkan tingginya angka perceraian,dan sekali lagi permasalahan yang terjadi tidak lain dan tidak bukan karena negara menerapkan sistem kapitalis, yang mana prinsip yang dijalankan hanya berdasarkan manfaat. Sehingga tak mengherankan rakyatnya yang tidak mampu tidak akan dicukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga wajar yang terjadi saat ini istri dan suami tidak mampu menjalankan fungsinya masing-masing karena terkendala kehidupan ekonomi yang sulit.
Para istri atau wanita dipaksakan untuk ikut bekerja mencari tambahan penghasilan agar kebutuhan keluarga tercukupi. Bagaimana saat ini kita telah dapati waktu dan kehidupan kita hanya disibukkan dengan urusan dunia dan urusan perut semata. Sejatinya jika pemerintah mau menerapkan sistem Islam tentu kondisi tersebut tidak akan dihadapi oleh rakyatnya. Bukan sertifikasi nikah yang dibutuhkan oleh rakyat tapi sistem Islam yang dibutuhkan
Karena semua permasalah di dalam rumah tangga hanya akan bisa diselesaikan jika diterapkannya sistem Islam dalam pengaturan kehidupan tak terkecuali dalam pengaturan pernikahan. Untuk itu sudah selayaknya sebagai seorang muslim kita menjalankan aturan dari sang pencipta Allah SWT yang mana aturannya bersifat sempurna tanpa kurang, bukan aturan buatan manusia yang bersifat lemah, terbatas dan penuh kekurangan. [] Wallahua’lam