Sekulerisasi dan Kapitalisasi Semakin Kuat dengan MBKM  

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Sekulerisasi dan Kapitalisasi Semakin Kuat dengan MBKM  

oleh Fanissa Narita M.Pd.

Kontributor Suara Inqilabi 

Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka dicanangkan menjadi solusi dalam rangka menyiapkan mahasiswa menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan teknologi yang pesat, kompetensi mahasiswa harus disiapkan untuk lebih siap dengan kebutuhan zaman. Link and match tidak saja dengan dunia industri dan dunia kerja tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat (Web Kemendikbud). Merdeka Belajar adalah agenda prioritas pemerintah pada pendidikan, bahkan pelopor peta jalan pendidikan Indonesia 2020—2035, Artinya, MBKM pada masing-masing episodenya (21 episode) maupun secara keseluruhan bukanlah program teknis semata.

Bila ditelaah kritis pemberlakukan kurikulum ini pada dasarnya akan semakin menguatkan dua aspek yaitu nilai-nilai sekulerisme liberal di tengah-tengah masyarakat khususnya generasi muda dan pencapaian standar mutu kapitalisme melalui knowledge-based economy (KBE), yaitu Programme for International Student Assessment (PISA) pada pendidikan dasar menegah dan World Class University (WCU) pada pendidikan tinggi.

Sekularisasi, Inti Kompetensi Global 

Tsaqafah bagi keberadaan sebuah peradaban bagikan tulang punggungnya. Inilah arti penting pertama agenda MBKM dan transformasi pendidikannya. Faktanya sekularisasi nampak dalam tujuan pendidikan MBKM yang dinyatakan secara khusus dalam Peta jalan visi pendidikan Indonesia 202-2035 “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila,” Frasa agama diganti menjadi berakhlak mulia dan nilai budaya. Meski setelahnya akan ada revisi setelah mendapat kritikan dari beberapa pihak.

Tujuan sekularisasi itu terlihat manakala “kompetensi global” sebagai kompetensi yang harus dicapai dan “berkarakter Pancasila” sebagai karakter yang harus dibentuk. Penting digaris bawahi, kompetensi global sebagai tujuan pendidikan MBKM bukanlah kemampuan sains dan teknologi yang bersifat umum semata, melainkan bersifat khas sudut pandang kehidupan sekuler salah satunya melalui penanaman nilai inklusif ras, agama, dan gender.

Bahkan, ia merupakan agenda politik Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menekankan pada kebebasan individu, demokrasi dan pasar bebas, serta norma global tata kelola ekonomi untuk kepentingan AS. Sebagai konsekuensi perspektif sekuler harus digunakan pada dimensi pengetahuan ketika melakukan pengkajian terhadap isu-isu lokal, global, maupun antarbudaya. Adapun pada dimensi keterampilan adalah berupa perwujudan kesejahteraan dalam berperspektif kapitalisme, yaitu sustainable development goals (sdgs).

Karakter atau berkarakter Pancasila hanyalah identitas output pendidikan dengan pola pikir dan pola sikap sekuler sebagaimana dituntut kompetensi global. Ini terlihat dari elemen pembentuk profil pelajar Pancasila, khususnya elemen “berkebinekaan global” yang mengharuskan adanya penghargaan terhadap budaya global. Kalaupun pada elemen pertama termaktub frasa “iman dan bertakwa”, tetapi tetap dimaknai dengan sudut pandang Barat ketika Islam direduksi sebagai akidah ruhiah semata. Artinya, transformasi sistem pendidikan agenda MBKM berakibat sistem pendidikan menempuh arah yang makin sekuler alias jauh dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup sekuler pada akhirnya menyebabkan berbagai masalah sosial di tengah generasi.

MBKM Menopang Ekonomi Kapitalisme 

Peran perguruan tinggi dengan pemahaman knowledge based economy menjadikan ilmu pengatahuan sebagai roda ekonomi. Pembangunan insfrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, penyelesaian masalah lingkungan, sangat erat kaitannya dengan hasil penelitian para intelektual. Adanya konsep hilirisasi riset dan inovasi yang diusung dalam UU Cipta Kerja bisa menjadi jalan untuk mempermudah kapitalisasi SDA dan SDM namun minim kontribusi untuk masyarakat.

Hilirisasi dengan program pendanaan Kementerian yang mempertemukan kolaborasi antara PT (Perguruan Tinggi) dengan DUDI (Dunia Usaha Dunia Industri) nampaknya meberikan akses lebar untuk pemanfaatan hasil riset, namun sayangnya tidak berdampak banyak bagi masyarakat karena tidak ada jaminan bahwa komoditi baru hasil riset dapat diakses oleh seluruh masyarakat.

Tak bisa dipungkiri bahwa potensi dan peran intelektual sebagai pihak yang berjuang di balik layar sangatlah strategis, Institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi dalam kapitalisme dipandang sebagai tempat dimana ‘modal intelektual’ dihasilkan. Kini, masalah kurikulum pendidikan negeri-negeri muslim bukan lagi masalah internal kaum muslim yang dikelola oleh para ulama, pemikir, dan para pakar, melainkan menjadi masalah global yang tunduk pada pengawasan Barat yang melakukan sekularisasi dan kapitalisasi pendidikan.

Paradigma Pendidikan dalam Islam 

Dalam pandangan Islam, posisi ilmu pengetahuan sangatlah mulia jauh dari memposisikan IPTEK sebagai komoditas ekonomi. Maka, sungguh pendidikan dan intelektualitas jangan sekadar dijadikan aspek pemuas akal. Melainkan harus diposisikan sebagai aspek pembangun kepribadian Islam.

Pendidikan dalam pandangan Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Adapun tujuan pendidikan Islam adalah (1) membentuk manusia bertakwa yang berkepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap didasarkan pada akidah Islam; dan (2) mencetak ilmuwan, ulama, dan pakar yang kapabel dalam jumlah massal yang mampu memenuhi kebutuhan umat dan daulah, serta membawa daulah menjadi negara adidaya yang menyebarkan rahmat ke seluruh dunia.

Sistem pendidikan islam yang di dalamnya terdapat penjagaan atas tsaqafah rakyatnya tidak sesederhana terbatas pada penyususnan kurikulum pendidikan saja. Sistem pendidikan Islam sendiri sedikitnya terdiri dari empat pilar. Pertama, ajaran islam terkait didikan ke setiap pribadi. Kedua, ajaran Islam terkait pendidikan masyarakat secara kolektif.

Nilai-nilai dan tsaqafah islam perlu disosialisasikan hingga menjadi opini bahkan kebiasaan umum Ketiga, ajaran islam terkait pendidikan yang menjadi tugas Negara-mencakup penyususnan visi misi pendidikan dan penyelengaraan fasilitas pendidikan. Keempat, adalah pelaku-pelaku riset sains dan teknologi yang akan menyediakan sains dan teknologi yang teruji untuk menopang pilar 1-2-3. Disini berlaku kaidah “antum-a’lamu bi umurid-dunyaa-kum” (kalian lebih tahu urusan teknis dunia kalian) Tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Di tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, ketakwaan umat justru makin kuat dan senantiasa berpegang teguh pada syariat.

Negara akan menunjukkan perhatian totalitas terhadap penyelenggaraan pendidikan. Negara menyediakan semua instrumen dan kebijakan, bahkan pembiayaan yang diperlukan bagi dunia pendidikan. Ini karena negaralah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab menjamin pendidikan atas rakyatnya. Pembiayaan pendidikan seluruhnya diambilkan dari Baitulmal dari pos fai, kharaj, dan kepemilikan umum.

Sementara itu, riset senantiasa mengarah pada penyelesaian berbagai problem yang dihadapi Negara begitu juga keberadaan industri yang mengaplikasikan hasil riset tersebut berbasis kemaslahatan umat. Ilmu pengetahuan dan teknologi didedikasikan bagi peradaban manusia agar tetap dalam kemuliaannya, bukan seperti dunia hari ini kala sains dan teknologi di bawah payung kapitalisme yang fokus pada pengembangan industri kapitalisme dan penyelesaian dampak negatif kapitalisme itu sendiri “climate change and poverty”.

 

Wallahualam Bish-Shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *