Sekularisme di Balik Diksi Konsensual Permen PPKS

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rina Tresna Sari,S.Pd.I (Pendidik Generasi Khoiru Ummah dan Member AMK)

 

Dunia pendidikan negeri ini kembali dibuat gaduh. Pasalnya Nadiem Makarim selaku menteri pendidikan baru-baru ini mengeluarkan Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang kemudian disebut Permen PPKS yang selanjutnya diteken Menteri Nadiem pada 31 Agustus 2021 (Detik.com, 06/11/2021)

Permen ini menuai pro dan kontra. Salah satu pihak yang mengkritik peraturan tersebut adalah PKS.Alasannya, PKS tidak setuju dengan aspek ‘consent’ atau ‘konsensual (persetujuan)’ yang menjadi syarat aktivitas seksual, begitupun soal definisi kekerasan seksual, juga menilai Permen PPKS ini tidak mempunyai cantolan hukum.

Politikus PKS yang menjabat sebagai anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai, terbitnya permendikbud ini tidak tepat lantaran UU yang menjadi dasar hukumnya belum ada.

“Di dalam pasal 8 ayat 2 Undang-Undang (No 12 Tahun 2011) tersebut, dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka terbitnya peraturan menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada,” kata Ledia. (Detik.com, 5/11).

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Nizam pun kemudian menanggapi kritik PKS tersebut dengan penjelasan soal Permen PPKS ini.

Permen PPKS adalah aturan yang urgen. Soalnya, dampak kekerasan seksual bisa berakibat pada fisik dan mental korban. Implikasinya, penyelenggaraan perguruan tinggi menjadi tidak optimal, kualitas pendidikan tinggi bisa turun. “Sudah sepatutnya kekerasan seksual tidak terjadi, apalagi di lingkungan pendidikan,” kata Nizam.

Lebih lanjut, kata Nizam, substansi Permen PPKS sejalan dengan tujuan pendidikan yang diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, yakni pendidikan yang bertujuan mengembangkan potensi diri memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia. “Kekerasan seksual merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan tersebut,” kata Nizam.
Siapa pun tentu tidak setuju dengan adanya kekerasan seksual yang terus menerus terjadi. Namun, apakah aspek konsensual yang digadang-gadang dalam Permen PPKS akan menghentikan kasus ini?

Konsensual Produk Sekularisme
Aspek konsensual pada Permen PPKS menjadi sorotan. Sebab, diksi ini justru melegalkan perilaku seks bebas di masyarakat. Konsensual atau disebut persetujuan dalam Bahasa Indonesia menjadi diperbolehkannya melakukan perilaku asusila asalkan dengan persetujuan dua belah pihak. Jika benar peraturan ini sejalan dengan tujuan pendidikan, bukankah hal ini kontradiktif dengan napas spiritual keagamaan, pengendalian diri dan akhlak mulia dalam tujuan tersebut?

Lalu, mengapa akhirnya diksi konsensual ini digunakan? Tidak lain karena telah mengakarnya sekularisme dalam tiap individu, bahkan sampai level negara. Akar masalah ini yang menjadikan individu sampai negara tidak lagi memandang halal atau haram dalam membuat kebijakan. Padahal, kebijakan hasil produk pemikiran akal manusia itu terbatas, sebagaimana terbatasnya diri manusia itu sendiri. Sehingga, peraturan yang dibuat pun tidak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh.

Sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan membuat manusia menjadi berpikir pragmatis. Kebijakan yang mereka buat hanya berdasarkan manfaat yang bisa mereka dapatkan. Mereka tidak lagi memikirkan pertanggungjawaban di akhirat kelak dari setiap keputusan yang mereka ambil.

Peraturan Islam Mencegah Kejahatan Seksual
Dalam Islam, perilaku yang melanggar nilai-nilai agama disebut dengan kejahatan. Manakala seseorang melakukan tindakan asusila/zina baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan maka ia dikatakan telah melakukan kejahatan. Sebagaimana penjahat, maka ia akan dikenakan sanksi (hukuman).

Sanksi akan diberlakukan sesuai keadaan pelaku zina. Hukuman bagi seseorang yang sudah menikah ketika melakukan zina adalah dengan rajam atau dilempari batu sampai mati. Sedangkan, pada pelaku yang belum menikah, hukuman zina diganti dengan hukum cambuk sebanyak 100 kali serta diasingkan selama satu tahun.

Aturan tersebut telah Allah terangkan dalam Al-Qur’an:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (Q.S. An Nur: 2)

Selain itu, dijelaskan lebih rinci dalam hadits Rasul, dari Ubadah bin Shamit ra., Rasulullah shalallahu alayhi wasallam bersabda, “Perawan dengan perjaka (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan diasingkan setahun. Duda dengan janda (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan dirajam.” (HR. Muslim)
Aturan Islam sempurna, lengkap dan paripurna. Karenanya, aturan Islam tidak hanya memberikan hukuman berefek jera tapi juga mencegah dari melakukan perbuatan asusila.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra: 32)

Merebaknya kekerasan ataupun pelecehan seksual di wilayah kampus akibat dari tidak diterapkan aturan Islam dalam pendidikan dan pergaulan. Kehidupan bebas tanpa batas antara muda-mudi jauh dari nilai-nilai syariat sebagai pemicu kuat terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual. Maka, hanya dengan kembali kepada syariat Islam secara kaffah masalah tersebut akan tuntas sempurna, bukan dengan Permendikbud yang muncul dari pemikiran sekular liberal yang jelas-jelas rusak.

Sudah saatnya umat Islam bangkit, mulai mengkaji, memahami, dan menerapkan syariat islam secara kaffah. Umat Islam harus terus menerus menyuarakan aturan Allah SWT. agar diterapkan sempurna dalam bingkai sistem pemerintahan Islam, serta membuang jauh-jauh sistem demokrasi kapitalis sekuler, akar masalah kerusakan di negeri ini.

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 208:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
Wallahu a’lam bishshowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *