Sederet Menteri Diduga Korupsi, Pemerintahan Bersih Hanya Ilusi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Sederet Menteri Diduga Korupsi, Pemerintahan Bersih Hanya Ilusi?

Oleh Aisyah Humaira

(Aktivis Muslimah)

 

Untuk kesekian kalinya tikus kantor kembali berulah. Mirisnya, ini dilakukan oleh salah seorang menteri yang dalam catatan gelapnya negeri ini, ternyata bukanlah kali pertama hadir dari jejeran mereka. Sehingga semakin jelas membuktikan betapa rusaknya moral penguasa dalam negeri.

Melansir dari lama website tirto.id (06/10/23) ialah Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang kini tengah menjadi sorotan pasalnya terlibat kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penggeledahan terhadap rumah dinas Syahrul dan kantor Kementan. Tim penyidik menemukan sejumlah dokumen, uang sebanyak miliaran rupiah, mobil, dan 12 pucuk senjata api.

Dalam catatan gelap negeri ini, Syahrul Yasin Limpo menjadi menteri ke-enam pada era Jokowi yang terjerat kasus dugaan korupsi. Selain SYL, beberapa menteri lain yang sebelumnya juga terjerat kasus korupsi pada masa pemerintahan Jokowi yaitu Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, dan Johnny G. Plate. Selain mereka, ada dua menteri yang namanya juga disebut dalam penyidikan kasus korupsi, yaitu Budi Karya Sumadi dan Dito Ariotedjo. (BBC Indonesia, 7-10-2023).

Ada yang menarik perhatian publik dalam hal ini karena adanya dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK ketika menangani perkara di Kementan pada 2021. Kasus ini tengah diselidiki oleh Polda Metro Jaya. Belum terungkap nama pimpinan KPK yang dimaksud. Dan hingga kini sudah ada enam orang yang dimintai keterangan, yaitu sopir, ajudan, dan Mentan Syahrul Yasin Limpo. Untuk SYL sendiri sudah tiga kali dimintai keterangan atas dugaan pemerasan tersebut. (Tirto, 6-10-2023).

Hanya saja, isu yang didapat bahwa dugaan kasus pemerasan oleh pimpinan KPK tersebut merupakan tekanan terhadap pimpinan KPK saat mengungkap kasus korupsi di Kementan. Hal ini merupakan indikasi pelemahan fungsi-fungsi KPK beserta para komisionernya. (Antara, 8-10-2023).

Mendapati deretan nama para menteri yang dipaparkan sebagai terseret dugaan korupsi ini jelas menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi dalam negeri seolah hanya menjadi ilusi. Pemerintahan yang bersih seakan mustahil terwujud. Lihatlah sekarang ini, korupsi justru semakin menjadi-jadi tanpa penanganan yang pasti.

Menelisik sepanjang semester I tahun ini saja, KPK sudah menerima 2.707 laporan dugaan korupsi. Berdasarkan laporan yang dirilis Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 sebesar 34 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara. Capaian ini turun dari tahun sebelumnya yang mencatat skor 38 di peringkat 96.

Adapun KPK yang diharapkan mampu menjadi akselerator pemberantasan korupsi, ternyata realitanya jauh dari harapan. Berbagai upaya mereka untuk menaikkan skor IPK ternyata gagal. Malah, lembaga ini dilemahkan, kewenangannya dikurangi, penyidiknya yang “garang” dibatasi geraknya, dan bahkan kini kredibilitas pimpinannya dipertanyakan. Hal ini membuat jalan pemberantasan korupsi kian suram dan gelap.

Kegagalan dan sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia dikarenakan problem ini sudah bukan lagi bersifat kasuistik personal, melainkan sistemis. Andai semua tindak korupsi terungkap dan diadili, pelakunya akan sangat banyak. Meski diopinikan bahwa pelakunya adalah oknum, tetapi para oknum ini jika dikumpulkan akan terkumpul satu stadion.

Jika dilihat dengan jeli, masifnya kasus korupsi karena ada faktor pendorong dan ada faktor kesempatan. Saat ini, kehidupan masyarakat dan negara sangat sekuler alias memisahkan agama dari urusan hidupnya sehingga tidak peduli halal haram semua diembatnya demi kepentingan termasuk dengan jalan haram untuk menjadi kaya dalam sekejap yaitu korupsi.

Selain itu, sistem demokrasi yang berbiaya mahal ini menyebabkan para calon penguasa harus memiliki dana besar untuk memenangkan kontestasi. Setelahnya mereka memanfaatkan kedudukan dan jabatan agar balik modal. Berikut tak ubahnya boneka mereka membuat aturan dan kebijakan sesuai dengan kehendak para cukong yang sudah mendanai mereka untuk melaju ke medan politik.

Adapun faktor kesempatan terjadi karena lemahnya hukum di Indonesia. Banyak koruptor yang melenggang dengan bebas karena bisa membeli hukum. Adapun yang tertangkap dan dipenjara, tidak bertobat karena hukuman yang diterima tidak menjerakan bahkan leluasa karena dalam lapas berfasilitas mewah. Sehingga jelas sistem demokrasi sekuler inilah akar penyebab masifnya korupsi dalam negeri. Maka sudah sepantasnya diganti.

Sistem yang pantas untuk menggantikan tiada lain adalah sistem pemerintahan Islam yang dikenal Khilafah. Khilafah berlandaskan akidah dan menerapkan hukum syara memberikan solusi yang bersifat integral sehingga terbukti mampu menuntaskan problematika umat tak terkecuali korupsi. Sehingga memahami tujuan hidup umat Islam bukanlah mengumpulkan materi/kekayaan, melainkan rida Allah Taala. Dengan demikian, dorongan perilaku korup bisa diminimalkan.

Berikut Kejujuran dan sikap amanah yang merupakan bagian dari ketakwaan dibentuk melalui sistem pendidikan. Hal ini mewujudkan kontrol internal pada tiap individu untuk menghindari korupsi yang terkategori ghulul, karena ghulul merupakan perkara yang diharamkan berdasarkan firman Allah Taala dalam QS Ali Imran: 161.

“Siapa yang berbuat ghulul, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu.”

Menurut An-Nasafi, orang disebut berbuat ghulul apabila mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi. Dengan demikian, segala macam bentuk pengambilan dan penyelewengan harta, seperti korupsi, suap, dan manipulasi termasuk perbuatan ghulul.

Rasulullah saw. bersabda, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah ia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, ia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” (HR Muslim no. 3415; Abu Dawud no. 3110).

Tidak hanya kontrol internal berupa ketakwaan individu, kontrol eksternal juga diberlakukan. Khilafah akan mengaudit harta kekayaan pejabat dan pegawainya sebelum menjabat dan setelah menjabat. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan asal kenaikan hartanya. Jika gagal dalam pembuktiannya, maka harta tersebut akan disita negara.

Berikut pejabat tersebut akan mendapatkan hukuman, baik berupa pemberhentian dari jabatan maupun sanksi yang menjerakan. Untuk sanksi korupsi terkategori takzir, yaitu sanksi yang ditetapkan oleh khalifah atau kadi. Sanksi tersebut harus adil dan menjerakan, bisa berupa penjara, pengasingan, atau bahkan hukuman mati. Selain itu, pelaku korupsi akan disiarkan kepada publik melalui media massa sehingga menjadi sanksi sosial dan sekaligus mencegah orang lain berbuat serupa.

Masya Allah hanya Khilafah dengan solusinya yang integral tersebut, masalah korupsi akan tertuntaskan sehingga memperjuangkannya dengan semangat Islam rahmatan lil alamin harapan mewujudkan negara yang bersih dari korupsi bukan ilusi.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *