Rasisme dan Sikap Hipokrit HAM

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Rasisme dan Sikap Hipokrit HAM

Oleh Normah Rosman

(Pegiat Literasi) 

 

Polisi Prancis menangkap 1.311 orang di seluruh negeri pada saat demonstrasi brutal atas kematian seorang remaja yang berlanjut hingga malam ke empat. Data itu dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri, Sabtu (1/7/2023). Sekitar 4.500 polisi yang didukung kendaraan lapis baja dikerahkan untuk meredakan serangan protes. Masyarakat membakar tempat sampah dan mobil serta merusak bangunan. Sekitar 17 petugas keamanan dan polisi yang terluka dalam insiden tersebut. Kerusuhan ini dipicu oleh pemuda berusia 17 tahun keturunan Afrika Utara, Nahel M. ditembak dari jarak dekat oleh seorang polisi pada Selasa (27/6/2023) di daerah pinggiran Nanterre, Paris (internasional.republika.co.id, 2/7/2023).

Penyebab kerusuhan tersebut dipicu aksi penembakan terhadap seorang remaja bernama Nahel M. (17) oleh polisi hingga tewas. Awalnya polisi menghentikan remaja laki-laki itu karena melanggar aturan lalu lintas. Salah satu polisi tampak menodongkan senjatanya ke pengemudi melalui jendela dan menembak dari jarak dekat. Lalu, mobil korban terlihat bergerak beberapa puluh meter sebelum menabrak. Sementara petugas kepolisian yang menembak remaja tersebut telah ditahan atas tuduhan pembunuhan. Tindakan polisi tersebut menimbulkan banyak pertanyaan terlepas dari adanya kemungkinan petugas tersebut merasa terancam (news.detik.com, 2/7/2023).

Kerusuhan Karena Pelanggaran HAM

Penembakan terhadap remaja yang terjadi Prancis, baru-baru ini menggambarkan hal yang paradoks. Di mana sikap para penegak hukum cenderung seenaknya jika berurusan dengan orang-orang berkulit hitam dan muslim, tapi berbanding terbalik jika mereka berurusan dengan sesamanya (kulit putih). Hal ini bukan hanya sekali atau dua kali terjadi, tapi sudah sering terjadi. Mungkin kejadian penembakan inilah yang menjadi puncak kemarahan orang-orang kulit hitam atas rasisme yang mereka terima dari penegak hukum yang seharusnya melindungi mereka.

Gema slogan menjunjung tinggi kebebasan nyatanya tidak berlaku untuk kulit hitam dan muslim. Terbukti dengan adanya peristiwa penembakan pada remaja kulit hitam. Dari peristiwa ini memunculkan berbagai pertanyaan tentang keburukan HAM yang digadang-gadang oleh negara Barat. Peristiwa semacam ini sudah kerap kali terjadi, di mana orang berkulit hitam dan muslim akan menjadi objek bulan-bulanan bagi bangsa barat, tapi turut gencar meneriakkan HAM, tentang kesetaraan dan kebebasan berpendapat. Tapi pada faktanya di lapangan, HAM hanya berlaku bagi mereka bukan untuk orang berkulit hitam dan muslim.

Jika ras kulit putih yang teraniaya maka mereka akan gencar menyuarakan HAM, menyerang dengan brutal pelaku penganiayaan, terlebih lagi jika itu bukan dari golongan mereka. Akibat dari adanya perbedaan ini sehingga mencapai puncaknya dan membuat kerugian yang sangat besar bagi semua orang tanpa terkecuali.

Unjuk rasa, pembakaran, penjarahan, perusakan dan penembakan terjadi di puluhan kota dan kota madya di seluruh Prancis, Paris dan sekitarnya. Jika sudah terjadi seperti ini semua yang tidak terlibat juga turut menjadi korban akibat kerusuhan yang dipicu oleh pelanggaran HAM.

Islam Menjaga Nyawa dan Bertoleransi Tinggi

“Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat:13).

Lalu hadist Nabi Muhammad Saw, bersabda:

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah tidak ada kemuliaan orang arab atas orang ajam (non arab) dan tidak pula orang ajam atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas orang yang berkulit hitam dan tidak pula berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali atas dasar ketakwaan” (HR. Ahmad dan Al- Bazzar).

Sebagaimana firman Allah dan hadis di atas, maka tidak heran jika Khilafah bisa tegak hingga 1300 tahun lamanya. Berbagai ras, suku, bangsa, maupun warna kulit bisa hidup dengan rukun dan kesatuan dalam naungan khilafah. Salah satu buktinya adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa keKhalifahan Bani Umayyah, yang bernama Atha’ bin Abi Rabah. Beliau adalah seorang budak berkulit hitam milik Habibah binti Maisarah bin Abi Hutsaim yang bermukim di Makkah. Sang tuan melihat potensi keilmuan Atha’ yang luar biasa, sehingga dengan dasar inilah, Habibah memerdekakan Atha’ agar kelak Atha’ bisa memperdalam ilmunya. Atha’ pun menjadi seorang ulama besar di kemudian hari, yang keilmuannya diakui oleh kekhalifahan Bani Umayyah. Atha’ bahkan diangkat sebagai seorang mufti (pemberi fatwa) ketika musim haji pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Di samping itu Atha’ juga perperan sebagai penasehat Khalifah.

Konsep toleransi dalam Islam juga mampu menyatukan berbagai agama dalam naungan kepemimpinan Negara Khilafah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al Kafirun ayat 6:

“Untukmu agamamu, untukku agamaku.” Dan di surah yang lainnya lagi Allah Ta’ala menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan.” (QS. Al-Baqarah: 256).

Dalam kitab Daulah Islamiyah karya Syekh Taqiuddin An-nabhani, beliau menjelaskan bahwa warga Daulah Khilafah terdiri dari muslim dan non muslim. Dalam kehidupan publik mereka mendapatkan jaminan yang sama, layanan yang sama, dan hak yang sama. Daulah Khilafah tidak boleh memaksa warganya yang non muslim untuk memeluk Islam.

Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu ada seorang wanita tua beragama nasrani yang dibantu oleh Khalifah melunasi hutang-hutangnya. Ketika itu Khalifah Umar menanyakan, “Mengapa engkau tidak masuk Islam?” Wanita tua itu menjawab, “Biarlah aku menjadi wanita terakhir dengan agama ini.” Sontak saat itu Khalifah Umar merasa bersalah karena pertanyaannya kepada wanita tua itu. Begitulah Khilafah meniadakan rasisme, sehingga terwujud kesatuan dan persatuan di antara warga negaranya.

 

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *