Rakyat Sengsara, Dimana Peran Negara?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rosyati (Mahasiswa Fisika UNIB)

 

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah bahasa yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, saat masyarakat sedang terpuruk dengan kondisi pandemi yang tak kunjung usai, pertumbuhan ekonomi semakin merosot, ditambah lagi sekarang muncul wacana pemerintah untuk menghapus sembako dan barang hasil tambang dari daftar kelompok barang yang tidak dikenai pajak. Begitulah sistem negeri kapitalisme, dalih untuk meningkatan pendapatan negara, justru rakyat yang menjadi sasaran.. Lagi dan lagi rakyat yang harus menjadi korbannya. Dimana sebetulnya peran negara?

Dilansir dari CNBC Indonesia (11/06/2021 pemerintah berwacana akan menaikan tarif Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN), kenaikan PPN terssebut akan mencapai 15%. Dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang  (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Ada tiga skema tarif yang kemungkinan akan ditetapkan yaitu tarif umum 10%, tarif paling rendah sebesar 5% dan yang paling tinggi 25%. Mengacu pada draft revisi RUU KUP tersebut, kemungkinan tarif PPN untuk sembako paling rendah 5%. Walau begitu 5% hanya diperuntukan  untuk satu barang, sedangkan kebutuhan pokok masyarakat hampir mencapai 60%. Beberapa bahan pokok (sembako) yang akan dikenai pajak yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, telur, daging, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, dan gula konsumsi. Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya dan minyak, serta gas bumi.

Kebijakan ini menuai kritik dari Direktur Eksekutif Institute for Development on Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. Beliau menilai kebijakan tersebut kontraproduktif mengingat daya beli masyarakat tengah turun akibat pandemi yang sangat menghantam perekonomian. Dengan adanya penaikan PPN maka ini akan mengakibatkan terjadinya inflasi jangka pendek. Karena dengan naiknya harga barang, maka sudah tentu masyarkat akan mengurangi tingkat konsumsi sehingga permintaan barang akan menurun dan akan berdampak pula pada pelaku usaha. Karena mereka akan menyesuaikan dengan biaya produksi dan dapat dipastikan akan ada cost yang dikurangi. Sehingga tidak menutup kemungkinan bisa terjadinya kembali PHK massal. Sehingga volume akan sangat menentukan dan memengaruhi ekonomi negara, bahkan dapat dipastikan negeri ini akan semakin mengalami resesi.

Dengan begitu, kebijakan penaikan PPN dengan dalih meningkatkan pendapatan negara sangat tidak pantas dan menyakiti hati rakyat. Bagaiman tidak, masyarakat tengah kesulitan dengan pandemic Covid-19 yang tak kunjung usai, ditambah wacana penaikan PPN tentu itu bagaikan mimpi buruk bagi rakyat. Dan peran negara? Justru semakin membuat masyarakatnya tercekik. Begitulah kapitalisme, bagaimanapun kebijakannya pajak akan dijadikan sebagai sumber pendapatan utama negara, dan itu artinya rakyatlah  yang harus terpontang – panting mambayar “iuran” untuk membiayai semua kebutuhan negara. Lantas apakah rencana ini masih layak untuk direalisasikan? Perlu dijadikan sebagai pengingat bagi para pemimpin kaum Muslim “Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”. (HR. Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930)

Indonesia merupakan negara yang kaya raya dengan sumber daya alamnya yang melimpah ruah. Tapi Yang menjadi pertanyaan kenapa negara masih saja kekurangan dana untuk membangun negeri ini? Bahkan ketika diperlihatkan hutang negara per akhir bulan Mei 2021 mencapai Rp. 6.418 triliun. Kemanakah SDA yang melimpah ruah itu? Ya, tentu saja di dalam sistem kapitalisme SDA yang yang seharusnya dikelola oleh negara justru diserahkan kepada pihak korporasi, dengan dalih negara tidak memiliki SDM untuk mengelola SDA yang ada. Kemudian,  didalam sistem Kapitalime-Demokrasi, hubungan antara penguasa dengan pihak korporasi begitu mesra. Terjadi hubungan simbiosis mutualisme, sehingga tidak akan mungkin kebijakan – kebijakan yang diterapkan akan merugikan pihak korporasi. Yang sejatinya, justru rakyatlah yang selalu menjadi sasaran dari keganasan sistem Kapitalime ini. Oleh karena itu, alih-alih medapatkan kesejahteraan keamanan dan kenyaman untuk hidup dengan layak saja sangat sulit didapatkan.

Lalu bagaimana dengan Islam?

Didalam Islam kepemilikan itu diatur dengan jelas, dengan membaginya menjadi tiga macam yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Ketiga kepemilikan itu diatur dengan jelas oleh hukum syara’. Di dalam Islam, SDA terkategori sebagai kepelikian umum yang dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhn rakyatnya. Ketika SDA tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan rakyatnya maka negara baru memungut pajak (dharibah) atas seluruh kaum Muslim. Namun yang menjadi catatan disini pajak hanya diperuntukan untuk orang muslim yang kaya saja (mampu). Kemudian, yang menjadi catatan selanjutnya pemungutan pajak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya seperti untuk fakir miskin, ibnu sabil, gaji pegawai negara, untuk kewajiban jihad, atau penanggulangan bencana, ataupun untuk urusan yang urgent yang menyangkut keselamatan rakyat banyak.

Berbeda sekali dengan Kapitalisme-Demokrasi yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung negara. Itulah negara memutar otak untuk mencapai target penerimaan pajak yang sebesar – besarnya dari rakyat. Sehingga rakyat yang sudah kesulitan untuk berthan hidup  semakin terjepit dengan berbagai kebijakan mengenai perpajakan  yang tinggal menunggu waktu untuk ketuk palu.

Begitulah sejatinya kebijakan dalam sistem Kapitalis-Demokrasi. Sehingga kata-kata “yang miskin semakin miskin, yang kaya semkain kaya” sangat pas dilontarkan didalam sistem saat ini. Hak- hak rakyat tidak tertunaikan dengan sepenuhnya, negara yang seharunya meri’ayah, malayani, dan memenuhi segala kebutuhan rakyatnya justru abai, dan memberikan luka yang mendalam untuk rakyat itu sendiri. Justru rakyatlah yang harus terpontang – panting untuk memenuhi kebutuhan negara. Maka sudah saatnya rakyat sadar dengan kedzaliman ini, saatnya rakyat meninggalkan sistem ini  dan membuka lembaran baru yang mampu memberikan warna dalam kehidupan yang lebih baik yaitu dengan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu’alam bish shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *