Proyek Pembangunan Terhenti, Bukti Ambisius Tak Tercapai?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Proyek Pembangunan Terhenti, Bukti Ambisius Tak Tercapai?

Oleh Firda Umayah

Sejumlah proyek pembangunan di Indonesia terancam berhenti. Hal ini karena kendala teknis, geografis dan finansial. Tentu saja termasuk persoalan dana yang tidak sanggup ditanggung oleh negara. Adalah proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, MRT (Moda Raya Terpadu) Jakarta, LRT (Lintas Rel Terpadu) Jabodebek dan Proyek tol Semarang-Demak merupakan beberapa Proyek Strategis Nasional (PNS) yang hingga kini masih memiliki kendala.

Tak hanya itu, Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) yang masuk dalam daftar bandara di bawah pengelolaan PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP I hingga kini proses dalam penawaran kepada investor. Hal ini dengan harapan dapat membantu mepercepat pertumbuhan trafik di bandara, sekaligus memperkuat fasilitas bandara untuk mendukung pariwisata dan penerbangan (okezone.com/07/11/2022).

Sekilas, hubungan kerja sama yang dilakukan dengan para investor akan menguntungkan. Namun, jika dilihat lebih lanjut, ketergantungan suatu negara terhadap para investor akan membuat kedaulatan negara tersebut tergerus. Sebab, negara harus turut memperhatikan pertimbangan kebijakan yang diberikan oleh para investor.

Apalagi jika dalam hubungan kerja sama, negara tidak sanggup untuk membayar pinjaman atau utang yang diberikan oleh para investor. Maka bukan hal yang tidak mungkin, negara akan menjual kekayaan alam yang dimiliki untuk melunasi pinjaman atau utang tersebut. Jika hal ini terjadi, adakah solusi agar pembangunan tetap berjalan dengan baik?

Permasalahan utama yang biasanya menjadi kendala dalam pembangunan infrastruktur adalah di dalam pengadaan dana. Kendala ini semakin sulit diatasi ketika perekonomian negara dalam kondisi yang tidak stabil bahkan menurun. Oleh karena itu, negara seharusnya dapat mempertimbangkan dengan baik kebutuhan infrastruktur sesuai dengan kondisi perekonomian negara.

Dalam sistem ekonomi Islam, di mana negara memiliki kemandirian dalam mengelola kekayaan alam secara mandiri, pembangunan infrastruktur dapat dibiayai tanpa campur tangan para investor. Itu karena negara dalam sistem pemerintahan Islam mengetahui betul bahwa hubungan kerja sama dengan pihak luar negara dapat mengancam kedaulatan negara.

Oleh karena itu, negara akan benar-benar memperhitungkan segala kebutuhan masyarakat di dalam fasilitas umum. Kalaupun negara terpaksa membutuhkan dana tambahan, maka negara akan menggalang dana dari peminjaman orang-orang kaya yang menjadi warga negara Islam. Bukan dari asing atau pihak swasta luar negara.

Sistem ekonomi dalam negara Islam juga hanya akan berbasis kepada perekonomian riil dan menggunakan standar mata uang emas dan perak agar terbebas dari inflasi dan resesi. Sehingga, negara tidak akan menjual kekayaan alamnya ketika perekonomian negara mungkin sedang menurun. Bahkan perekonomian negara akan cenderung stabil.

Sejarah membuktikan, perekonomian negara dalam sistem pemerintahan Khilafah mampu membangun infrastruktur secara mandiri tanpa campur tangan para investor. Hal ini salah satunya nampak dalam proyek pembangunan jalur kereta Hijaz yang menghubungkan Damaskus ke Madinah. Proyek ini dijalankan pada masa kekhilafahan Utsmani oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *