Predatory Pricing Merenggut Nyawa Startup Business?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Predatory Pricing Merenggut Nyawa Startup Business?

Widya Amidyas Senja 

Pendidik Generasi

George Gilder – Tidak ada yang lebih mematikan usaha pencapaian dari pada keyakinan bahwa usaha tidak akan dihargai, bahwa dunia adalah tempat yang suram dan diskriminatif di mana hanya pemangsa dan yang disukai secara khusus yang dapat maju.

Kesuksesan hari ini diukur dengan materi. Di mana ada harta benda yang besar, pengakuan dan kemuliaan dunia dapat diraih. Hal ini menjadikan setiap orang mengejar materi dengan berbagai cara. Mereka yang berkarir dengan profesi dan kedudukannya, mereka yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang lebih dari yang lainnya, dan mereka yang membangun usaha kecil, menegah hingga perusahaan kelas kakap, menjadikannya memenangkan persaingan adalah jalan terbaik untuk menjadi yang paling unggul dan sukses.

Perekonomian negara hari ini sedang “sakit”. Utang riba yang tidak sedikit secara perlahan menggerogoti tubuh ibu pertiwi layaknya kanker pada stadium lanjut. Saat ini, gempuran persaingan perdagangan digital semakin ketat, persaingan kualitas produk dan harga murah menjadi hal yang menakutkan bagi para pelaku usaha kecil. Melalui platform media sosial perang harga semakin membuat para pelaku usaha lokal mulai lelah bahkan menyerah dan gulung tikar.

Ketua KPPU M. Afif Hasbullah menyebut banjir barang impor murah yang belakangan ini banyak membunuh usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Karena salah satu unsur (predatory pricing) adalah upaya atau niat menyingkirkan pesaing di dalam pasarnya. Oleh karena itu, memang harus juga didalami terkait ini,” imbuhnya.

Seperti diketahui Bersama, hari ini harga produk luar negeri terutama China jauh lebih murah dari pada produk lokal. Mengapa bisa seperti itu?

Globalisasi dan segala isinya telah berkembang menjadi tema kajian yang cukup sering dibahas, terutama karena fenomena ini sangatlah kompleks yang dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Globalisasi ekonomi dan perdagangan ini juga menjadi salah satu implikasi “hukum rimba” perdagangan dalam persaingan harga. Globalisasi menjadi pintu gerbang lebar yang membebaskan para palaku bisnis luar negeri dari berbagai belahan bumi menjual produknya. Persaingan menjadi kurang sehat di mana ketika para pelaku usaha lokal diberi berbagai syarat dan ketentuan legalitas, pajak yang berlapis, sehingga mengakibatkan harga jual yang relatif lebih mahal. Sementara pengaturan legalitas produk dari luar negeri relatif lebih murah, sehingga harga jualnya menjadi kompetitif.

Pemboikotan platform social commerce bukanlah solusi. Pasalnya, penggunaan social commerce sama sekali tidak dapat dilarang sepenuhnya. Karena interaksi di media sosial tidak dapat diatur aktivitas interaksinya. Indonesia khususnya, saat ini masih memiliki banyak PR terkait pengelolaan & edukasi sumber daya manusia dan produk serta cara menjualnya sehingga memiliki daya saing dengan produk atau usaha manapun. Edukasi sumber daya manusia terutama kepada para pelaku bisnis masih minim, mengingat saat ini transformasi digital sedang digencarkan. Perlu adanya pendampingan serius edukasi dan literasi digital.

Islam memberi ruang perkembangan teknologi untuk memudahkan hidup manusia, selama tidak bertentangan dengan hukum sarak. Islam membiarkan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar sempurna. Keridaan penjual dan pembeli adalah kunci dalam jual beli. Seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat, perdagangan dan aktivitas jual-beli dilaksanakan sesuai syariat Islam, yaitu menghalalkan aktivitas jual-beli dan mengharamkan riba seperti firman Allah Swt. Yang artinya :

“.. padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” (QS; Al-Baqarah: 275)

Pada zaman Rasulullah saw, kegiatan suku Quraisy sangat teratur dalam melakukan perjalanannya. Pada musim panas mereka melakukan perjalanan ke utara, sedangkan musim dinginan ke arah selatan. Tradisi ekspedisi perdagangan suku itu diabadikan dalam Al-Quran :

 “Karena kebiasaan oran-orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan panas”. (QS. Quraisy: 1-2)

Sejak Muhammad kecil, Abu Thalib sudah mengajaknya untuk ikut berdagan ke negeri Syam (Suriah). Artinya perdangan pada zaman dahulu juga sudah berlaku pasar global, dengan pengaturan pasar yang tertib, berdasarkan aturan yang jauh dari kebathilan. Sehingga perdagangan yang sehat tercipta. Baik pedagan dengan sesama pedagang dan pedagang dengan pembeli sama-sama merasakan kepuasan, karena disandarkan pada keridaan serta atas dasar Rida Allah Swt.

Wallaahu’alam bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *