PPN NAIK, RAKYAT MENJERIT

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PPN NAIK, RAKYAT MENJERIT

Iin Indrawati

Kontributor Suara Inqilabi

 

PPN (Pajak Pertambahan Nilai) merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. Pemerintah pusat memungut PPN dari aktivitas jual beli sejumlah barang.

Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam acara media briefing di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat, (8/3/2024) menuturkan bahwa kenaikan tarif ini akan berlanjut karena keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, kebijakan dan rancangan dari program Jokowi akan dilaksanakan pada pemerintahan berikutnya.

Dia menjelaskan, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. Hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN (Tirto.id, 8/3/2024).

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu, sebelumnya, Rabu, (16/8/2023), menuturkan bahwa tahun ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, karena menurutnya Indonesia masih mewaspadai kondisi perekonomian global dan perlu menjaga resiliensi atas efek bunga yang cukup tinggi.

Namun, kenaikan pajak adalah kebijakan yang pasti terjadi, siapa pun itu pemimpinnya, dan kenaikan PPN ini sudah pasti akan berpengaruh terhadap rakyat, terutama untuk kalangan menengah ke bawah. Pasalnya harga bahan-bahan pokok akan naik. Padahal sebelum PPN naik pun, kebutuhan pokok sudah mahal dan harga terus melambung. Kondisi ini sudah tentu membuat rakyat resah dan sangat dirugikan. Jika pajak benar-benar dinaikkan, mereka akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga berpotensi terhadap peningkatan angka kemiskinan.

Bisa jadi akan ada yang memilih mengambil pinjol berbunga sebagai solusi. Namun jalan ini bukanlah jalan yang tepat, karena akan menambah persoalan dan bahkan menjerat; tidak menutup kemungkinan berujung bunuh diri juga.

Selain itu, kenaikan PPN akan berpotensi menambah angka pengangguran. Sebab daya beli masyarakat yang menurun akan melemahkan kinerja keuangan perusahaan. Akibatnya adalah berkurangnya penyerapan tenaga kerja.

Kenaikan pajak adalah suatu keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negara ini. Sistem ini secara mutlak menjadikan pajak dan utang sebagai pemasukan negara. Pajak merupakan pemasukan negara yang besar dibandingkan sumber ekonomi lainnya. Mirisnya, pendapatan negara dari sektor pajak ini rawan dikorupsi, sehingga pendapatan negara tidak mencapai target. Akhirnya menaikkannya adalah solusi.

Pajak yang dijadikan sumber pemasukan negara adalah kebijakan yang salah. Sebab masih banyak sumber-sumber lain yang bisa dijadikan sebagai sumber pemasukan, di antaranya pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk kepentingan umat.

Sayangnya konsep liberalisasi dalam konsep ekonomi kapitalisme telah melegalkan privatisasi SDA. Sehingga SDA ini hanya dinikmati oleh pemilik modal (korporasi), sedangkan rakyat harus membayar mahal untuk mengaksesnya. Negara hanya berperan sebagai regulator yang memberi jalan bagi korporasi untuk menguasai SDA milik rakyat ini.

Sedangkan di dalam Islam, pendapatan negara yang didapat dari berbagai sumber akan cukup untuk membuat rakyat sejahtera. Dalam menyusun APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), pos pendapatan dan pengeluaran Khilafah telah ditetapkan oleh syari’at islam. Khalifah selaku kepala negara bisa menyusun sendiri APBN melalui hak tabbani. APBN yang telah disusun dan ditetapkan khalifah akan menjadi undang-undang (UU) yang harus dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintahan.

Pengelolaan APBN dilakukan oleh lembaga khusus, yaitu tempat menerima dan mengeluarkan dana yang disebut Baitul Mal. Baitul Mal adalah bagian dari struktur pemerintahan Khilafah Islamiyah yang bertugas menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya untuk kaum muslimin yang berhak menerimanya.

Sumber pendapatan Baitul Mal terbagi menjadi tiga pos, sesuai jenis hartanya.

1. Pos Fa’i dan Kharaj

Tersusun dari beberapa bagian, sesuai dengan jenis harta yang masuk, yaitu ghanimah mencakup anfal, fa’i dan khumus, kemudian kharaj, ‘usyr, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus, rikaz dan tambang, harta orang yang tidak punya ahli waris, harta orang murtad dan pajak (dhoribah).

Adapun pajak dalam Islam sangat berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi. Di dalam sistem demokrasi, pajak dan APBN dijadikan tumpuan yang dibebankan kepada seluruh warganya. Sedangkan di dalam Islam, pajak adalah jalan terakhir yang diambil apabila kas Baitul Mal benar-benar kosong.

Pajak hanya diberlakukan kepada kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup) dan harta orang-orang kaya dari sisa kebutuhan primer dan sekundernya. Penarikan pajak hanya bersifat temporal. Jika kondisi Baitul Mal telah stabil, pemungutan pajak dihentikan.

2. Pos Kepemilikan Umum

Dibagi beberapa bagian berdasarkan jenis harta kepemilikan umum, yaitu minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan, padang (rumput) gembalan, dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Negara hanya berhak mengelola dan hasilnya seluruhnya diberikan untuk kemaslahatan umat, tidak boleh diberikan kepada swasta apalagi asing. Hasil pengeloaannya diberikan kepada rakyat, bisa berbentuk biaya kesehatan, pendidikan, dll.

3. Pos Sedekah

Yaitu tempat penyimpanan harta-harta zakat, seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi dan kambing.

Pendapatan negara yang tidak bertumpu pada pajak tentu akan meringankan beban rakyat. Bahkan akan mewujudkan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat

Oleh karena itu, sudah saatnya negeri ini harus meninggalkan sistem yang rusak dan beralih kepada sistem yang shahih, yang datangnya dari Sang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah untuk mewujudkan masyarakat sejahtera.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *