PPKM DARURAT SAAT SHALAT IED, SOLUSIKAH MENYELESAIKAN PANDEMI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Di tengah lonjakan kasus covid yang sudah berlangsung sejak akhir Juni lalu, pemerintah pun memutuskan penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat. PPKM ini sudah berjalan hampir satu minggu ini. Namun sampai hari ini belum ada tanda-tanda kemajuan dengan berkurangnya kasus covid- 19, yang terjadi justru peningkatan kasus. Lantas efektifkah pemberlakuan PPKM darurat saat shalat ied?

Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan edaran tentang penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Salat Idul Adha 1442 H/2021 M dan pelaksanaan kurban di masa pandemi COVID-19. Surat edaran itu mengatur peniadaan salat Idul Adha bagi masyarakat yang berada di zona merah dan pelarangan takbiran keliling.

Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 Tahun 2021.

Untuk memberikan rasa aman kepada umat Islam di tengah pandemi COVID-19 yang belum terkendali dan munculnya varian baru, perlu dilakukan penerapan protokol kesehatan secara ketat dalam penyelenggaraan Salat Idul Adha dan pelaksanaan kurban 1442 H,” kata Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam keterangannya, Rabu (23/6/2021).

Kebijakan ini diterapkan pada 45 Kabupaten/Kota dengan nilai asesmen 4 dan 76 Kabupaten/Kota dengan nilai asesmen 3 di Pulau Jawa dan Bali.

Sebagai tindak lanjut, Kementerian Agama menerbitkan dua surat edaran sekaligus. Pertama, edaran Menteri Agama No. SE 16 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Malam Takbiran, Salat Idul Adha, dan Pelaksanaan Kurban Tahun 1442 H/2021 M di Luar Wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Kedua, edaran Menteri Agama No SE 17 tahun 2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah, Malam Takbiran, Salat Iduladha, dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kurban Tahun 1442 H/2021 M di Wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Dua surat edaran ini diterbitkan sebagai tindaklanjut atas kebijakan Pemerintah yang telah menetapkan PPKM Darurat pada 121 Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Bali. Edaran ini mengatur secara lebih detail teknis pelaksanaan, dari mulai malam takbiran hingga penyembelihan kurban, termasuk terkait peniadaan sementara peribadatan di rumah ibadah pada wilayah yang masuk PPKM Darurat,” terang Menag Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta, Jumat (2/7/2021).

Dua surat edaran ini memiliki tujuan yang sama, yaitu dalam rangka mencegah dan memutus rantai penyebaran Covid-19 yang saat ini mengalami peningkatan dengan munculnya varian baru yang lebih berbahaya dan menular serta untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam penyelenggaraan Iduladha 1442 H,” sambungnya.

Khusus di wilayah yang diberlakukan PPKM Darurat, lanjut Menag, saat kebijakan itu diberlakukan, maka peribadatan di tempat ibadah (masjid, musala, gereja, pura, wihara dan klenteng, serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah) yang dikelola masyarakat, pemerintah, maupun perusahaan, ditiadakan sementara.  Semua kegiatan peribadatan, selama pemberlakuan kebijakan PPKM Darurat, dilakukan di rumah masing-masing.

Jadi, saat kebijakan diberlakukan, kegiatan peribadatan di wilayah yang menerapkan PPKM Darurat, dilakukan di rumah masing-masing,” tutur Menag.

Penyelenggaraan Malam Takbiran di masjid/musala, takbir keliling, baik dengan arak-arakan berjalan kaki maupun dengan arak-arakan kendaraan, dan Salat Hari Raya Iduladha 1442 H/2021 M di masjid/musala yang dikelola masyarakat, instansi pemerintah, perusahaan atau tempat umum lainnya, juga ditiadakan di seluruh kabupaten/kota dengan level asesmen 3 dan 4 yang diterapkan PPKM Darurat,” sambungnya.

Untuk wilayah yang berada di luar pemberlakuan PPKM Darurat, Salat Hari Raya Iduladha 1442 H/2021 M hanya dapat diselenggarakan pada daerah yang masuk Zona Hijau dan Zona Kuning berdasarkan ketetapan Pemerintah Daerah dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 setempat. Adapun Kabupaten/Kota yang masuk Zona Merah dan Zona Oranye, meskipun tidak termasuk kabupaten/kota yang  diterapkan kebijakan PPKM Darurat, Salat Hari Raya Iduladha 1442 H/2021 M ditiadakan.

Menurut Menag, dua edaran ini ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kankemenag Kabupaten/Kota, Kantor Urusan Agama Kecamatan, penyuluh agama, pimpinan organisasi masyarakat Islam, serta pengurus dan pengelola masjid dan musala se-Indonesia.

Saya minta jajaran Kemenag, pusat hingga daerah, menjalin sinergi  dengan ormas serta pengurus masjid dan musala untuk mensosialisasikan edaran ini. Edaran ini juga menjadi panduan bagi semua pihak terkait dalam melakukan pembatasan kegiatan dan penerapan protokol kesehatan secara ketat pada penyelenggaraan Malam Takbiran, Salat Iduladha, dan penyembelihan hewan kurban,” sambungnya.

Edaran ini juga menjelaskan teknis pengawasan dan monitoring yang harus dilakukan Kepala KUA, penghulu dan penyuluh agama. Jika menemukan potensi pelanggaran dan/atau pelanggaran ketentuan dalam Surat Edaran ini, mereka wajib berkoordinasi dengan pimpinannya, pemerintah daerah, Satuan Tugas Penanganan Covid-19, dan aparat keamanan,” tegas Menag.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (disingkat dengan PPKM) adalah kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2021 untuk menangani pandemi COVID-19 di Indonesia. Sebelum pelaksanaan PPKM, pemerintah telah melaksanakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berlangsung di sejumlah wilayah di Indonesia, mocro lockdown PPKM mikro dan nama baru PPKM darurat. PPKM berlangsung di beberapa wilayah yang menjadi titik penyebaran infeksi COVID-19, yakni di Pulau Jawa dan Bali.

Menanggapi hal ini,  PPKM tersebut hanya mengisolasi daerah yang terkena wabah, sementara penduduk di luar wabah  beraktivitas seperti biasa.

Namun anehnya lagi Bapak Luhut Binsar tetap mengizinkan proyek konstruksi berjalan 100 persen.

Kondisi ini begitu menyiratkan karakter kepemimpinan sekuler kapitalistik. Penguasa sekuler tidak akan menjadi pelaksanaan ibadah publik sebagai hal yang termasuk hal ke dalam pengurusannya. Ibadah dibiarkan berjalan di individu- individu masyarakat atas nama pencegahan covid – 19.

Ibadah-ibadah yang termasuk dari syiar- syiar Islam tidak terlaksana seperti kebijakan pembatasan shalat Idul Adha. Kebijakan ini bisa menyebabkan terhapusnya syiar-syiar Allah yang hukumnya wajib/ ditampakkan di tengah masyarakat.

Dalam kitab Al-Mausu’ah al Fiqhiyyah yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah adalah setiap tanda bagi eksistensi agama Islam dan ketaatan kepada Allah swt. Seperti shalat jamaah, shalat idul fitri, shalat idul adha, puasa, haji, azan, iqamah, kurban dan sebagainya. Dalam kitab tersebut disebutkan, “Wajib hukumnya atas kaum muslim untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat dzahir dan juga wajib menampakkannya di tengah-tengah masyarakat baik syiar itu sendiri sesuatu yang hukumnya wajib maupun yang hukumnya sunnah.”

Kewajiban menampakkan syiar Allah, dalilnya firman Allah swt.

ذٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعٰٓئِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Artinya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj: 32]

Penghormatan terhadap syiar-syiar Allah oleh seseorang adalah bukti bahwa di dalam hatinya ada ketakwaan.

Sebaliknya, orang yang melanggar kehormatan syiar-syiar Allah adalah bukti bahwa dirinya terjauh dari ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Yang demikian itu menunjukkan bahwa dia itu tidak beriman kepada Allah sama sekali atau telah berlaku durhaka kepada Allah.

Penetapan pembatasan shalat Idul Adha dan syiar Islam lainnya adalah akibat kesalahan kebijakan penanganan pandemi. Akibat kesalahan kebijakan penanganan pandemi di awal ibadah yang termasuk syiar Allah banyak yang tidak terlaksana. Jelas ini adalah bentuk kegagalan sekuler dalam menghadapi pandemi hingga mengorbankan ibadah.

Memang dalam kondisi pandemi diperlukan untuk meminimalisir mobilitas publik agar transmisi penularan penyakit dapat dicegah. Sayangnya  upaya pembatasan ini seringkali dibarengi dengan kebijakan pelonggaran pada sektor lain. Sehingga tidak mudah bagi pemerintah mendisiplinkan rakyat dengan aturan pembatasan ibadah karena tidak seiring dengan kebijakan pelonggaran pada sektor tersebut. Seperti saat ini membatasi terselenggaranya idul adha namun melonggarkan kegiatan proyek infrastruktur berjalan seratus persen. Menetapkan pembatasan aktifitas ibadah namun di saat yang sama seperti pasar, mall, tempat makan dan wisata justru lebih sulit dikendalikan dan peluang terjadinya pelanggaran prokes justru lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah kehadiran jamaah di masjid yang lebih terbatas dan waktunya pun hanya beberapa menit saja.

Tempat ibadah menjadi kambing hitam selama PPKM darurat. Wajar saja berdasarkan video yang beredar di media sosial Ustaz Somad mengomentari penutupan masjid selama PPKM Darurat Jawa-Bali.

Beliau kecewa atas larangan masjid beroperasi yang diatur oleh pemerintah. Ustaz Abdul Somad menyinggung tempat umum lain dibuka.

Padahal, menurutnya, berkumpul di masjid tidak terlalu berbahaya. Sebab saat ibadah, orang hanya menetap di ruangan selama 5 hingga 10 menit saja. Tidak sampai berjam-jam atau berlama-lama. Itulah mengapa, dia seakan bertanya kepada pemerintah, tak malukah mereka dengan Sang Pencipta?

Ustaz Abdul Somad mengungkapkan, selama pandemi melanda Indonesia, masjid kerap dijadikan kambing hitam penularan Covid-19. Padahal, kenyataannya belum tentu demikian.

Berkaca dari kenyataan tersebut, Ustaz Somad dalam ceramahnya mengimbau, masyarakat sebaiknya tetap beribadah, namun jangan lupa mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.

Gambaran pemerintah dalam sistem sekuler, membuat kebijakan yang melahirkan masalah baru. Maka tidak aneh, jika masyarakat mempertanyakan mengapa yang ditutup harus masjid? dan pada akhirnya banyak yang melanggar prokes, selain pembatasan ibadah, pemerintah beberapa kali melakukan pengetatan aktivitas masyarakat. Di dalam negeri ada larangan mudik ,sekolah, daring, dan lainnya. Namun di saat bersamaan pemerintah malah membiarkan pintu terbuka lebar bagi warga negara asing. Dampaknya dapat dilihat berbagai varian baru virus yang berkembang di negara mereka akhirnya turut memapar warga kita sendiri. Dan ironisnya, hal ini ternyata masih terjadi di saat PPKM darurat sudah diberlakukan.

Situasi ini pun lantas diperparah dengan ketidaksiapan pemerintah dalam menangani kebutuhan masyarakat, baik terkait kebutuhan ekonomi  maupun layanan kesehatan yang murah dan memadai. Akibatnya masyarakat mengalami kesulitan dalam menjamin kebutuhan hidupnya. Maka, wajar pula jika banyak masyarakat yang tidak peduli bahwa mobilitas yang mereka lakukan dengan perlindungan yang tidak memadai akan membawa resiko tinggi, bahkan mereka cenderung tidak peduli bahwa posisi mereka menjadi peluang carrier bagi penyebarluasan virus itu sendiri.

Inilah yang menyebabkan kepercayaan masyarakat semakin hilang pada negara dan penguasa. Mereka bahkan seakan sudah terbiasa memosisikan diri mereka tanpa pengurus dan penjagaan.

Inilah ironi kepemimpinan  dari sistem sekuler- kapitalis sebagai penguasa dalam sistem ini sejatinya hanya bekerja untuk kepentingan korporat yang telah mendanai kampanye mereka. Sudah sepantasnya masyarakat menyadari bahwa sistem sekuler makin jauh hari syariat Islam. Konsekuensi hidup jauh dari pengaturan  syariat Islam  hanya menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum muslim kembali kepada sistem fitrahnya mereka yakni kembali menerapkan sistem Islam.

Dalam Islam posisi penguasa adalah  riayah suunil ummah (mengurusi urusan umat) dan menjaga nyawa (hifdz an nafs) menjadi hal prioritas dalam kebijakan. Dalam menghadapi wabah misalnya, Islam memberikan tuntunan bagaimana menghadapinya  baik di level individu, keluarga, masyarakat dan negara .

Sistem pendidikan dan informasi yang membangun dan mencerdaskan juga ditopang dengan adanya administrasi yang memadai. Serta sistem hukum- hukum yang lain yang memudahkan dan menguatkan semua problem wabah bisa di-cover dengan baik dan sangat cepat. Bahkan saat negara harus mengambil kebijakan darurat. Kondisi masyarakat akan jauh lebih baik dari saat ini Karena sejak awal masyarakat telah dipersiapkan dengan kondisi yang akan terjadi Konsep inilah yang diterapkan Khalifah dalam Islam. Mereka berupaya dengan optimal untuk mengurus umat.

Maka tidak heran, jika wabah penyakit yang pernah terjadi semasa peradaban Islam dapat terkendali dan terselesaikan.

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *