PPKM Darurat: Antara Solusi dan Basa-basi Penguasa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

 

Angka positif Covid-19 tengah meroket tajam. Begitu pula angka kematiannya. Hal ini tentu membuat pemerintah “berpikir keras”, kebijakan apa yang hendak dikeluarkan (lagi)?

Akhirnya, pada 01 Juli 2021 Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. “Saya memutuskan untuk memberlakukan PPKM Darurat sejak tanggal 03 Juli hingga 20 Juli 2021 khusus di Jawa dan Bali,” kata Jokowi melalui tayangan Youtube Sekretariat Presiden. (kompas.com, Sabtu 03 Juli 2021)

Jika menelisik 16 poin terkait aturan PPKM Darurat, tampak tak ada pembeda yang jelas dengan kebijakan sebelumnya. Mulai dari PSBB, PPKM Mikro, hingga PPKM Darurat dinilai banyak pihak hanya perubahan istilah. Seperti pernyataan yang datang dari Anggota DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, bahwa perlu ada definisi jelas dari kebijakan PPKM Darurat. Sebab jika implementasinya sama seperti PPKM Mikro, maka hasil di lapangan tak ada perubahan signifikan. (merdeka.com, 01 Juli 2021)

Lebih lanjut dari Epidemiolog Tri Yunis. Beliau menilai PPKM Darurat bukan kebijakan yang efektif dalam menghadapi kegentingan kasus Covid-19. Bahwasanya, untuk kondisi seperti sekarang, penguncian wilayah menjadi solusi paling baik. Dia menegaskan, PPKM Mikro atau Darurat tentu konsep yang tidak sama dengan lockdown. Karena itu, dia meminta pemerintah tidak banyak bermain dalam istilah sebab kondisi ini sudah genting dan banyak masyarakat menjadi korban.

Tampak jelas, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak mengatasi persoalan hingga ke akarnya. Pertama, PSBB, dimana pemerintah justru menghempas pendapat para ahli untuk lokcdown, padahal katanya kebijakan ini (baca: PSBB) untuk menekan laju mobilitas rakyat. Lantas mengapa harus tanggung-tanggung? Ya, faktor ekonomi-lah penyebabnya.

Selanjutnya, PPKM Mikro, dimana pemerintah bahkan masih mementingkan ekonomi ditengah lonjakan kasus Covid-19. “Pemerintah melihat bahwa kebijakan PPKM mikro masih menjadi kebijakan yang paling tepat untuk konteks saat ini untuk mengendalikan Covid-19 karena bisa berjalan tanpa mematikan ekonomi rakyat,” kata Jokowi di pekan terakhir bulan Juni 2021.

Terakhir, terkait PPKM Darurat. Dimana kebijakan ini hanya berlaku secara domestik di wilayah Jawa dan Bali. Pada salah satu aturannya, perjalanan domestik yang menggunakan moda transportasi jarak jauh (pesawat, bus, dan kereta api) tetap berjalan. Otomatis mobilitas warga masih terbuka lebar, termasuk warga asing. Tentunya hal ini akan berdampak pada tak terputusnya mata rantai penyebaran Covid-19.

Anggota DPR RI Komisi XI, Ahmad Yohan, mengibaratkan hal tersebut seperti “membuang garam di laut”. “Kami meminta pada otoritas agar pengetatan mobilitas darat, udara, dan laut, juga diperluas hingga pembatasan WNA masuk ke Indonesia. Terutama WNA yang berasal dari sarang berbagai varian Covid-19. Karena sekali lagi, percuma bila PPKM Darurat diberlakukan secara domestik, sementara WNA diberikan keleluasaan masuk Indonesia,” ujarnya.

Dari rentetan kejadian dan kebijakan ini, dapat ditarik benang merah bahwa rezim hari ini tidak akan membuat kebijakan yang mengorbankan keuntungan materi atas nama penyelamatan nyawa rakyat. Sungguh tak mungkin! Hal ini karena sistem dimana yang menjadi payung kehidupan hari ini ialah sistem yang menjadikan materi sebagai tujuan pencapaian manusia. Sehingga, manusia khususnya pemerintah amat giat menyelamatkan ekonomi ketimbang nyawa rakyat.

Hal ini terbukti dengan berbondong-bondong masuknya TKA Cina ke negeri ini, bertepatan dengan diberlakukannya PPKM Darurat. Para TKA Cina akan bekerja di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, yang mana investornya adalah orang China. Kabag Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arya Pradhana Anggakara menegaskan bahwa pelarangan orang asing yang masuk Indonesia tidak berlaku salah satunya bagi orang asing yang bekerja di proyek strategis nasional.
Sungguh, PPKM Darurat hanyalah kebijakan-kebijakan sebelumnya yang berganti nama. Alih-alih menjadi solusi, justru sekadar basa-basi penguasa.

Lain halnya dengan sistem Islam, dimana meyakini bahwa amanah kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan kelak. Maka pemimpin betul-betul menjadi raa’in, mengurus rakyatnya. Walau diyakini pula bahwa perkara ajal adalah keputusan-Nya, tentu saja rakyat terlebih penguasa mengoptimalkan apapun pada ranah yang dikuasai.

Penguasa tak tanggung-tanggung dalam membuat kebijakan. Tak lagi berpikir keras untuk menyelamatkan ekonomi di tengah gempuran dari berbagai arah menumbangkan nyawa manusia. Misalnya segera memberlakukan lockdown bagi wilayah yang terkena wabah. Seperti sabda Rasulullah saw., “Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tentunya penguasa pun tak berpikir panjang terkait pembiayaan untuk orang-orang yang berada di wilayah lockdown. Karena segalanya diambil dari kas baitulmal, dimana didapat dari pengelolaan terhadap harta milik umum. Pemerintah yang notabenenya pelayan rakyat tentu bertindak sesuai syariat Islam, yang pada akhirnya menjaga nyawa rakyat.

Sungguh, tampak jelas perbedaan antara sistem hari ini dan sistem Islam. Sistem Islam dengan segala kesempurnaannya karena berasal dari Sang Maha Sempurna, sebaliknya sistem hari ini berasal dari kelemahan dan kekurangan sang pembuatnya, manusia.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *