Politisasi Agama Menjelang Pilpres

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Politisasi Agama Menjelang Pilpres

Oleh Ummu Afkar
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah

Jelang Pilpres 2024, hiruk pikuk dan hawa panasnya sudah bisa dirasakan. Mulai tampak kubu-kubu yang bergabung demi satu kepentingan. Baik di tingkat elit, parpol, maupun masyarakat secara umum serta massa pendukungnya pun mulai saling mengunggulkan. Bahkan kampanye hitam mulai muncul di mana-mana, terutama di media sosial.

Di tengah panasnya bursa pencalonan capres-cawapres, Menteri Agama Yaqut Cholil memperingatkan masyarakat agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan, melainkan untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat. Menurutnya, umat diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam, bukan rahmatan lil Islami. (suarapemerintah.id, 4/9/2023).

Pernyataan Menag ini bisa menyesatkan umat karena menuduh Islam sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan dan seolah tidak boleh hadir dalam kancah politik karena akan dimanfaatkan sebagai alat semata. Pernyataan ini jelas menunjukkan paradigma sekuler yang ingin menjauhkan agama dari kehidupan dan bernegara.

Pernyataan Menteri Agama soal Islam rahmat lil alamin juga keliru. Seolah jika kaum Muslim menegakkan akidah dan syariat, nantinya akan mengancam umat lain. Ucapan ini berbahaya dan sangat menyudutkan juga bertentangan dengan makna yang dikandung dalam ayat tersebut serta hukum-hukum, realita sejarah dan fakta kekinian. Karena faktanya, Islam menjadi rahmat untuk semesta alam karena memang demikianlah ketetapan risalah, yakni akidah dan syariahnya, menjadi rahmat bagi semua makhluk. Pada awalnya, penggambaran negatif syariat dalam politik dan pemerintahan bermula dari Barat, utamanya kaum orientalis. Tujuannya untuk menciptakan Islamofobia. Namun sayangnya hari ini justru tuduhan tersebut datang dari mulut umat muslim sendiri.

Sementara itu, realitas di lapangan menunjukkan hal yang paradoks. Di satu sisi para politisi sekuler enggan mengusung Islam politik, tetapi di sisi lain, pada saat mengais dukungan umat, mereka tampil Islami. Inilah yang pantas disebut mempolitisasi agama, yaitu mereka yang berkamuflase menjelang Pemilu. Tetiba mereka berpenampilan syar’i, bersorban, berkerudung, sowan kepada para ulama, dan sebagainya. Berlomba-lomba menunjukkan citra bahwa dirinya sosok yang religius dengan tujuan meraih dukungan masyarakat, sebagai pencitraan agar menjadi yang terpilih.

Inilah nasib masyarakat di tengah sistem demokrasi sekuler. Islam hanya menjadi aksesori dan alat pencitraan bagi politisi sekuler untuk membohongi dan membodohi umat, seolah-olah sang calon pemimpin adalah sosok yang salih. Nyatanya, setelah duduk di kursi kekuasaan, agama ini mereka campakkan. Sungguh ironi memang.
Islam, politik dan kekuasaan adalah bagian yang terintegrasi. Para ulama sudah membahas tentang pentingnya agama dan kekuasaan itu bersatu. Dalam kitab al-Majmû’ al-Fatâwâ (28/394), Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”
Dalam Islam menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal salih untuk mengurus umat dengan penerapan syariat dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Allah Swt. telah memerintahkan para pemimpin untuk menunaikan amanahnya dalam berhukum dengan syariat-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

“Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil.” (TQS an-Nisa’ [4]: 58).

Adapun tujuan aktivitas politik umat saat ini adalah untuk menegakkan syariat yakni mewujudkan kehidupan Islam dengan menerapkannya di dalam sebuah naungan kepemimpinan. Adapun kekuasaan bukan menjadi tujuan, melainkan wasilah untuk menerapkan aturan Allah. Dengan demikian, yang harus kita lakukan adalah islamisasi politik, yaitu menjadikan aktivitas politik umat hanya untuk Islam.
Sudah seharusnya umat meluruskan pandangannya terkait politik dan kepemimpinan. Jangan sampai alergi terhadap Islam politik dan tidak boleh tertipu oleh pencitraan para politisi sekuler serta strategi jahat Barat. Umat justru harus menjadi bagian darinya karena demikianlah Rasulullah saw. mencontohkan. Bahwa seorang pemimpin yang amanah bukan hanya salih secara personal, tetapi juga menciptakan kesalihan secara menyeluruh. Ia tidak akan membiarkan satu aspek kehidupan bernegara pun yang tidak diatur oleh hukum-hukum Allah. Karena tidak ada aturan yang terbaik melainkan yang datang dari risalah Islam yang dapat membawa keberkahan di dunia dan akhirat.

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *