Oleh : Susi Herawati (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Pilkada telah dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, tepatnya pada tanggal 9 Desember 2020, walaupun di tengah mewabahnya kasus Covid-19.
Hampir setiap pasangan calon bupati dan wakilnya melakukan kampanye, baik itu melalui media maupun spanduk gambar pasangan calon (paslon) beserta partai yang mengusungnya.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bandung, Jawa Barat mengungkap adanya modus baru praktik politik uang. Dugaan penyelenggara modus pemilu ini dilakukan oleh salah satu paslon bupati dan wakil bupati di ajang Pemilihan Bupati (Pilbup) Bandung 2020.
Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan antar Lembaga Bawaslu Kabupaten Bandung, Hedi Ardia mengatakan bahwa modus yang dilakukan dalam kasus tersebut yakni pembagian kupon yang menampilkan nama paslon, dimana kupon itu bisa digunakan untuk berbelanja di warung-warung yang telah ditunjuk. “Untuk setiap kuponnya apabila dinominalkan dalam rupiah sebesar 35.000. Pembagian kupon ini terjadi di empat kecamatan,” kata Hedi di Soreang kabupaten Bandung (2/12/2020). Keempat kecamatan itu antara lain Pangalengan, Rancaekek, Dayeuh kolot dan Anjarsari. Bahkan tidak menutup kemungkinan kasus yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Hedi menegaskan praktik tersebut sangat memprihatinkan lantaran hanya akan mengorbankan masyarakat. ( jabar.inews.id, 2/12/2020)
Politik uang jelang pemilu atau pilkada memang sudah lazim dan bukan hal yang aneh atau baru di tengah masyarakat. Terlebih saat kondisi pandemi Covid-19, dimana banyak masyarakat yang sangat membutuhkan biaya dan kebutuhan pokok untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Namun faktanya, kandidat paslon tidak memberikan bantuan secara cuma-cuma. Tujuan mereka hanya satu, yaitu terpilih dalam pemilu atau pilkada. Mereka berharap akan mendapatkan dukungan yang lebih luas sehingga kemungkinan terpilih akan lebih besar.
Di negara kita, proses pengangkatan pemimpin melalui proses pemilu atau pilkada dengan menggunakan mekanisme satu orang satu suara dalam pemilu, telah mendorong para kandidat paslon untuk meraup simpati dan dukungan suara. Adapun demi meraih suara tersebut, tidak sedikit yang menempuh jalan instan dengan mengobral janji manis hingga menebar suap atau membagikan barang yang bertujuan untuk memengaruhi orang agar memilih dirinya dan pasangannya.
Politik uang, termasuk pemberian barang dengan harapan dan kepentingan terhadap suatu jabatan, jelas termasuk risywah (suap). Risywah diharamkan dalam agama Islam. Rasulullah Saw. melaknat pemberi risywah (yang menyuap) dan yang menerima suap (Risywah). (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa “Laknat Allah atas pemberi risywah (yang menyuap) dan penerima risywah (yang disuap).” (HR. Ibnu Majah)
Hadist tersebut menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya perkara memberi suap dan menerima suap. Risywah memiliki dampak negatif bagi kehidupan masyarakat diantaranya dapat menciptakan moral masyarakat yang munafik, menyuburkan budaya menjilat serta mendidik masyarakat menjadi penipu. Begitu juga halnya dengan yang menjadi mediator antara penyuap dan penerima suap. Pada prinsipnya risywah hukumnya haram karena memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan syariat.
Maka selayaknya umat Islam menjauhi perkara risywah yang jelas mengundang laknat Allah Swt. Sejatinya kita tidak melakukannya, bahkan seharusnya kita beramar ma’ruf nahi munkar terhadap para pelakunya. Amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan kita, baik dengan tangan/kekuasaan, lisan/perkataan atau paling tidak dengan hati. Jangan sampai hati kita mengikuti arus dan larut dalam kemaksiatan, karena hal itu akan menyebabkan kecelakaan baik di dunia maupun di akhirat.
Wallahu’allam bishawaab.