Polemik Edaran Selamat Natal, Toleransi Berselimut Moderasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

 

Staf Khusus Menteri Agama Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme, dan Pesantren yakni Nuruzzaman,  membantah kabar yang beredar di sosial media tentang kabar Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Selatan telah mencabut edaran tentang pemasangan spanduk ucapan Natal dan Tahun Baru. Menurutnya, Kemenag adalah instansi vertikal dan juga menjadi representasi dari negara yang berkewajiban untuk mengayomi, melayani, dan menjaga seluruh agama, termasuk merawat kerukunan umat beragama (republika.co.id)

Sebelumnya, pada tanggal 14 Desember yang lalu, Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan mengeluarkan surat imbauan dengan no B-9379/Kw.21.1/II M.00 /12/2021 agar instansi di bawah Kemenag dan madrasah-madrasah untuk memasang spanduk ucapan selamat natal dan tahun baru. Surat imbauan tersebut kemudian menuai protes keras dari beberapa tokoh agama dan ormas kota Makassar. Sekretaris Wilayah FPI Makassar, Sayful Al-Ayubbi pun mengatakan, bagi umat Islam merujuk secara konstitusi pada fatwa MUI nomor 5 tahun 1981 tentang natal, haram bagi umat Islam mengucapkan dan merayakan natal (hops.id)

Jika kita menarik benang merah dari polemik ini, bahwa edaran spanduk ucapan yang menuai protes pada akhirnya tetap dilanjutkan, untuk menegaskan sikap pemerintah terhadap isu ucapan perayaan natal. Imbauan tersebut akan menimbulkan multitafsir di tengah-tengah masyarakat, terlebih bisa jadi masyarakat pada akhirnya menafsirkan bahwa merayakan natal adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk umat muslim. Terlebih hal ini secara langsung dalam bentuk instruksi resmi.

Tentu ini menegaskan bahwa semakin masif dan gencarnya kebijakan pro-moderasi beragama. Juga membuktikan bahwa program moderasi semakin nyata mendorong muslim meremehkan urusan prinsip agama bahkan dalam hal yang berkaitan dengan akidah sekalipun. Lantas bagaimana seharusnya sikap seorang muslim menghadapi polemik yang selalu muncul menjelang tanggal 25 Desember dan akhir tahun? Lantas toleransi yang benar itu seperti apa?

Sebenarnya, toleransi dalam Islam ialah sesederhana prinsip, “Lakum diinukum wa liya diin“. Yakni sebuah prinsip beragama yang diturunkan langsung oleh Sang Pencipta. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Toleransi adalah ketika kita melakukan apa yang kita yakini, lalu mampu menerima apabila orang lain tidak melakukan apa yang kita yakini. Bukan sebuah toleransi namanya apabila kita melihat keyakinan orang lain, lalu dipaksa atau terpaksa mengikuti perbuatan mereka supaya disebut sebagai warga negara yang toleran. Ini namanya bukan toleran, namun inilah yang disebut kebablasan.

Lantas, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan toleransi? Toleransi sejatinya adalah kita mengetahui dan memahami ibadah-ibadah kita, mengetahui mengapa kita harus melakukan aktivitas tersebut, lalu membiarkan atau tidak memaksakan orang lain di luar kepercayaan kita untuk mengikuti perbuatan kita. Jadi, toleransi merujuk kepada bagaimana sikap kita terhadap orang lain, bukan memaksa orang lain mengkuti sikap atau kepercayaan kita. Inilah hakikat menghormati yang sesungguhnya.

Maka sebuah hal yang aneh ketika dikatakan bahwa toleransi seorang muslim terhadap orang nasrani yang merayakan natal adalah dengan turut mengucapkan selamat untuk mereka, atau mengikuti perayaan mereka, bahkan turut bergembira memakai atribut-atribut yang mereka pakai ketika merayakan hari raya nasrani. Tentu saja ini bukanlah bentuk dari sikap toleransi, tetapi hal ini dapat disebut sebagai sikap yang mencampur adukkan antara yang haq dan yang bathil. Ibarat minyak dan air yang memiliki perbedaan molekul dan tidak dapat menyatu, itulah batasan jelas antara yang haq dan bathil.

Toleransi di dalam Islam ialah kita meyakini bahwa Allah itu satu. Allah itu Esa. Tetapi kita tidak pula memaksa mereka yang di luar muslim untuk mengakui Tuhan itu satu. Mereka berdiri dengan pemahamannya sendiri, kita pun tetap teguh dengan apa yang telah kita genggam. Adapun ketika kita mengajak mereka ke dalam Islam, itu adalah salah satu bentu dari dakwah.

Toleransi ialah membiarkan mereka merayakan apa yang mereka yakini, tanpa perlu ikut campur ataupun mengintervensi di dalamnya. Kenapa? Karena ini adalah permasalahan akidah yang tentu setiap agama memiliki akidahnya masing-masing, serta memegang teguh kepercayaan yang dianggap benar versi masing-masing penganut. Pun segala sesuatu yang terpancar melalui akidah, termasuk dalam perkara ibadah seperti perayaan hari besar keagamaan di luar Islam, ialah haram untuk diikuti. Sebab kita kembali pada prinsip di awal, bahwa “Lakum diinukum wa liya diin“.

Memberikan penghormatan tidak harus dalam bentuk ucapan, atau larut dengan perayaan orang lain. Karena pada hakikatnya, seseorang yang mengikuti ajaran agamanya, bukanlah seseorang yang fanatik, melainkan ia punya prinsip teguh. Begitu pula sebaliknya. Ketika seseorang abai terhadap aturan agamanya sendiri, namun begitu mudah untuk mengikuti ajaran agama orang lain, maka bisa dikatakan ia tak memiliki prinsip.

Apakah kita tidak menyadari bahwa setan menyesatkan umat manusia tidak langsung secara serta merta? Setan dengan tipu dayanya yang halus selalu mendorong manusia ke arah jurang kesesatan dengan sedikit demi sedikit. Dan tanpa sadar kita telah berada di ujung tebing jurang dan bersiap terjerembab ke dasarnya.

Jika dikatakan bahwa boleh mengucapkan selamat natal dengan dalih bahwa itu hanyalah sebatas “kata-kata” atau “ucapan” tanpa turut melakukan perayaan, maka hal ini juga termasuk perkara yang keliru. Jika ucapan hanya sebatas kata, lantas apakah hal ini menjadikannya boleh atau mubah untuk diucapkan dengan dalih toleransi?

Dua kalimat syahadat pun ialah sebuah kata. Namun di dalamnya mengandung makna, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, serta meyakini bahwa nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Begitu pula dengan ucapan selamat natal. Sebuah ucapan yang mengandung konsekuensi ketika seorang Muslim mengucapkannya bagi kaum nasrani, salah satunya adalah mengakui Tuhan punya anak. Padahal dalam Qur’an Surat Al-Ikhlas ayat 3, Allah berfirman, “Lam yalid walam yulad”, “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan”.

Karena setiap kata atau kalimat punya konsekuensi, maka kita tidak boleh memandang rendah hanya karena sebuah “kata-kata”. Bukankah batas antara mukmin dan kafir juga berawal dari sebuah kata-kata? Maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjaga setiap perkataannya, ucapan, dan juga tingkah lakunya. Kehati-hatian dalam bertindak ini juga menjadi salah satu sifat yang diajarkan Rasulullah SAW agar menjadi muslim yang tak mudah terbawa arus moderasi beragama.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *