Oleh: Iffah Komalasari, S.Pd
(Pengajar Tsaqafah Islam)
Miris, pembelajaran daring diduga menuai korban jiwa. Dilansir dari sulsel.suara.com (19/10/2020), seorang siswi SMA di Gowa Sulawesi Selatan bunuh diri dengan menenggak racun rumput.
Ironisnya, korban mengabadikan aksinya tersebut dalam rekaman video berdurasi 32 detik. Diduga, korban bunuh diri akibat depresi akibat banyaknya tugas daring dari sekolah. Korban kerap mengeluh kepada teman-temannya tentang sulitnya akses internet di kampung sehingga tugas-tugas daringnya menumpuk.
Kondisi di atas disinyalir berdasar survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April lalu yang menunjukkan 79,9% anak stres dengan pembelajaran jarak jauh.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan sebanyak 77 persen mengakui kesulitan tertinggi adalah tugas yang menumpuk (liputan6.com, 13/5).
KPAI juga menyebutkan banyak siswa mengalami tekanan secara psikologis hingga putus sekolah karena berbagai masalah yang muncul selama mengikuti PJJ daring di masa pandemi. Mayoritas karena tidak bisa mengakses pembelajaran daring (medcom.id, 24/7).
Sungguh memprihatinkan. Program belajar daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah menelan nyawa siswa Indonesia. Bahkan menurut Jaringan-Jaringan Sekolah Digital Indonesia, ini bukan kejadian tunggal.
Bagaimanapun selama pandemi ini, siswa mengalami stres akibat pembelajaran jarak jauh yang tidak memiliki standar khusus bahkan cenderung sangat memberatkan. Akhirnya siswa menjadi depresi dan kali ini sampai berujung bunuh diri.
Dengan adanya kejadian ini, sudah seharusnya dunia pendidikan Indonesia mengevaluasi diri. Ada apa dengan pembelajaran dating ini?Karena berbagai keluhan terkait pembelajaran daring bukan hanya berasal dari para siswa tetapi juga orang tua, bahkan guru.
Seperti diketahui, program ini sudah berlangsung lebih dari enam bulan namun keluhan demi keluhan terus saja mengemuka. Benar-benar kesehatan mental para siswa, orang tua, dan guru menjadi taruhannya.
Disisi lain kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seolah merasa cukup setelah memberikan bantuan pengadaan pulsa kuota internet bagi siswa dan guru. Namun fakta dilapangan berbicara lain. Peristiwa tragis yang dialami siswi di Gowa ini membuktikan, bukan pulsa/kuota yang menjadi masalah bagi sang korban, melainkan sulitnya akses internet di kampungnya yang menyebabkan tugas-tugas daring menumpuk, hingga menimbulkan depresi.
Memang sudah menjadi rahasia umum, bagaimana sulitnya masyarakat di pedesaan mengakses internet. Begitu juga guru yang tidak siap melakukan proses PJJ karena kurangnya pelatihan program pengajaran daring. Walhasil, sering kali siswalah yang menjadi korban.
Negara Lepas Tangan
Lebih dari itu, jika dicermati lebih dalam sebenarnya kapitalisme sekulerlah biang kerok berbagai permasalahan yang mewarnai kebijakan pendidikan di Indonesia.
Karena dalam pendidikan kapitalis, paradigma penguasa bukanlah meriayah (bertanggung jawab penuh) terhadap warga negaranya. Hitung-hitungan kapitalis senantiasa mendominasi hubungan penguasa dengan rakyat.
Hal ini tentu saja sangat berbeda jauh dengan paradigma penguasa dalam sistem Islam yang senantiasa meriayah rakyatnya.
Semua pihak seharusnya memahami bahwa PJJ yang diterapkan di masa pandemi seperti ini butuh kesiapan sistem, mulai dari infrastruktur (seperti jaringan internet), fasilitas gawai, kuota internet, seperangkat program pengajaran yang tepat di masa pandemi, hingga kesiapan SDM guru yang mengawal proses PJJ. Tentunya semua itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Sistem kapitalisme hanya setengah hati memenuhi hal itu semua. Bahkan sebagai solusi, pemerintah harus menggandeng pihak swasta yang notabene akan ambil untung.
Akibatnya, permasalahan PJJ tak kunjung usai karena pemerintah tidak mengambil peran penuh dalam penyelenggaraannya.
Pendidikan di Sistem Islam
Apa yang terjadi di sistem kapitalis sekuler tentu saja begitu berbeda dengan sistem Khilafah Islam. Khalifah akan bertanggung jawab memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyatnya.
Seorang Khalifah sangat paham perannya dalam menyejahterakan rakyatnya, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Rabb-nya.
Setiap peristiwa tentu ada hikmah pelajaran bagi kaum yang mau berfikir. Kita berharap peristiwa tragis ini membuka mata masyarakat tentang bobroknya sistem kapitalisme yang terus memakan korban rakyatnya, tak terkecuali generasi muda harapan bangsa.
Dengan peristiwa ini pula, semoga masyarakat semakin rindu akan hadirnya kembali sistem Islam yang akan menjamin kehidupan rakyatnya melalui kebijakan aturan yang paripurna dan kemudian tergerak untuk berpartisipasi dalam perjuangan menegakkannya.
Aammiin Yaa Rabbal ‘Aalaamiin.