Pinjol Menjadi Lifestyle di Era Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pinjol Menjadi Lifestyle di Era Kapitalisme

 

Oleh Dian Nur Hakiki

(Komunitas Tinta Pelopor Ngawi)

Tidak hutang, tidak makan. Mantra tersebut seolah dengan mudah keluar dan berseliweran di tengah-tengah masyarakat. Hal ini diperkuat dengan hasil pencatatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa data pinjaman online (pinjol) pada bulan Mei 2023 meningkat sekitar kurang lebih 28,11%, yakni mencapai Rp. 51,46 triliun (kabarbisnis.com, 10/7/2023).

Angka tersebut tentu adalah nilai yang fantastis bahkan dapat mengalami peningkatan setiap harinya. Angka tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin banyak yang menjadikan pinjol sebagai lifestyle (gaya hidup) yang tumbuh dan berkembang. Alhasil, ini menjadi hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat.

Maraknya pinjol di kalangan masyarakat tentu bukan tanpa sebab. Kebutuhan hidup di era kapitalisme yang semakin lama semakin menghimpit, kadang memaksa masyarakat menjadikan hutang sebagai jalan keluar. Biaya sekolah yang semakin tinggi, mulai dari biaya masuk sekolah, buku, seragam sekolah, uang gedung, ditambah dengan biaya SPP setiap bulan.

Bukan hanya kebutuhan akan pendidikan saja. Kesehatan di era kapitalisme ini pun juga sangat mahal. Di mana jaminan kesehatan juga memiliki tingkatan sesuai seberapa besar uang yang mampu dikeluarkan oleh setiap kantong masyarakat. Jika ingin mendapat pelayanan kesehatan yang baik maka uang yang dikeluarkan juga tentu tak sedikit.

Ditambah lagi hembusan liberalisme semakin kuat terasa. Perilaku hedon menjadi lifestyle yang merajalela. Malu kalau pakai baju itu-itu saja. Malu kalau pakai kendaraan yang tidak keren. Risau jika tidak bisa liburan ke tempat-tempat yang estetik dan makan di kafe-kafe. Apalagi semakin kesini wajah glowing karena skincare menjadi dambaan. Tentunya agar mendapat hasil yang optimal uang yang dikeluarkan pun juga harus optimal.

Semua hal tersebut tentu memerlukan uang yang tak sedikit. Namun, kenyataannya keadaan ekonomi masyarakat Indonesia tak sejalan dengan uang yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidup bahkan gaya hidup yang diinginkan. Akhirnya, pinjol menjadi solusi termudah yang bisa didapatkan. Apalagi tawaran pinjol banyak berseliweran di media sosial dengan jumlah yang menggiurkan dan dengan syarat yang sangat mudah, yakni hanya memerlukan KTP.

Ulah Kapitalisme

Pinjol marak dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini melegalkan liberalisasi ekonomi. Alhasil, segala komoditi dikapitalisasi dan dibisniskan. Sistem ini juga memandang bahwa materi adalah sumber kebahagiaan. Sehingga, wajar jika masyarakat saat ini cenderung untuk mendapatkan materi yang berupa uang itu dengan berbagai cara, salah satunya berhutang.

Transaksi hutang yang ada saat ini adalah hutang ribawi. Konsep hutang seperti ini jelas lahir dari pandangan manusia yang hanya memikirkan keuntungan semata. Bahaya dan kerugian yang diakibatkan oleh hutang ribawi juga sudah dirasakan oleh para pelakunya.

Bahkan, pemerintah seolah mendukung budaya hutang ribawi ini. Terbukti dengan adanya tumpukan hutang luar negeri melalui badan keuangan internasional IMF dan pemerintah juga memfasilitasi hutang ribawi ini melalui OJK. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa budaya rusak ini merajalela karena diregulasi dan direstui oleh pemilik kekuasaan. Jelaslah, masyarakat menyambut realita ini dengan tangan terbuka.

Kapitalisme menjadikan manusia melakukan segala hal berdasarkan materi dan manfaat yang diperoleh dari aktivitas tersebut. Di dalam memenuhi segala kebutuhannya pun tidak melihat halal dan haramnya. Hanya sebatas mengikuti yang sedang tren atau viral. Budaya mengekor seperti ini juga marak dilakukan seperti halnya pinjaman online.

Islam Punya Solusi 

Di dalam alam pinjol tersebut ada hal yang diharamkan oleh Allah SWT yaitu riba, sebagaimana firman Allah :

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ”

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah: 275).

Bahkan, bukan hanya penerima riba saja yang berdosa namun pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut juga mendapat dosa, sebagaiman sabda Rasulullah saw:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ ”

“Rasulullah ﷺ mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa).” (HR Muslim).

Riba adalah sesuatu yang dibenci dan dilarang oleh Allah yang seharusnya dijauhi dan jangan sampai kita terjerumus di dalamnya. Namun, saat ini menjamur dan bahkan menjadi sesuatu hal yang umum dan biasa. Tentu hal semacam ini tidak akan terjadi apabila ada solusi-solusi yang tuntas menyelesaikan masalah yang dialami oleh masyarakat.

Negara berpengaruh paling besar dalam hal tersebut. Pinjol tidak akan menjadi gaya hidup ketika sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem pemerintahan Islam. Di mana pendidikan dan kesehatan dijamin oleh negara. Tidak akan ada lagi perbedaan pelayanan yang didasarkan kepada seberapa banyak uang yang dikeluarkan.

Karena, dalam sistem pemerintahan Islam semua memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Kemudian, dalam sistem pemerintahan Islam mengharuskan laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk mencari nafkah dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup, disertai dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang luas bagi laki-laki.

Tentu juga dengan penanganan yang tuntas kepada pelaku riba. Sistem pemerintahan Islam memberikan sanksi tegas kepada pelaku riba, baik orang yang memakan riba, yang memberikan riba, pencatat riba dan saksi riba. Negara Islam pun juga akan membina ketakwaan setiap indivu dengan memberikan pemahaman haramnya riba dan memberi sanksi tegas kepada pelaku riba.

Sistem pemerintahan Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh tentu menjadi solusi tuntas untuk menyelesaikan permasalahan pinjol yang meradang dan menjangkiti masyarakat saat ini. Sehingga, apa yang menjadi alasan untuk tidak menerapkan sistem pemerintahan Islam di tengah-tengah masyarakat yang sangat membutuhkan pertolongan secara cepat?. Sedangkan untuk penerapan Islam secara menyeluruh membutuhkan institusi negara Islam.

 

Wallahualam bish-Shawaab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *