PHK Massal, Imbas Penerapan Sistem Ekonomi Kapital

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PHK Massal, Imbas Penerapan Sistem Ekonomi Kapital

Suaibah, S.Pd.I, 

(Pegiat Literasi) 

 

Pengangguran merupakan persoalan krusial bagi sebuah bangsa, pasalnya dampak yang ditimbulkannya bisa menyebabkan adanya konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat. Banyaknya kejahatan yang muncul bisa jadi karena seretnya perekonomian dan susahnya mencari pekerjaan, hal ini bisa dilihat banyaknya motif tindak kriminal disebabkan tak terpenuhinya kebutuhan keluarga. Lantas, apajadinya ketika pengangguran ini terjadi secara massal?

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih berlanjut di tahun 2023. Satu per satu pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri padat karya lainnya melakukan pemangkasan pekerja, merumahkan karyawan, bahkan ada yang tutup permanen.

Alasannya, karena tak sanggup menghadapi serbuan produk impor, baik legal maupun ilegal, ke pasar dalam negeri. Hingga menyebabkan stok pabrik dalam negeri menumpuk lalu berujung pada pengurangan produksi hingga PHK. Penyebab lain, perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan utama pasar ekspor Indonesia, seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS). Mengutip catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sejak awal tahun 2023, setidaknya sekitar 7.200 buruh telah jadi korban PHK. Di mana, 700-an orang diantaranya terkena PHK karena pabrik tutup. Pabrik TPT itu berlokasi di di Jawa Barat.

“Dengan PHK ini, menambah jumlah karyawan yang jadi korban PHK di industri TPT nasional tak hanya perusahaan swasta, ada tujuh BUMN yang resmi ditutup pada 29 Desember 2023 lalu. Satu dari enam BUMN itu masih dalam proses. Pada saat yang sama, setidaknya sudah ada 15 BUMN yang menjalani pemeriksaan PT PPA untuk direstrukturisasi, disehatkan, atau dibubarkan. Alasan penutupan ini akibat dari kinerja yang buruk atau financial distress dan highly over-leverage (Tirto, 29-12-2023).

Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat bahwa sejak awal 2023 sudah ada 7.200 buruh menjadi korban PHK. Namun, jika ditotal dari 2020—2023, sudah ada sekitar 56.976 orang korban PHK. Mayoritas berasal dari pabrik garmen, tekstil, ekspedisi, kulit, mebel, ritel, sepatu, dan suku cadang.

Meminimalkan Kerugian

Ketidakpastian ekonomi global menyebabkan masalah besar bagi pabrik-pabrik yang mengakibatkan ketakstabilan politik sebagai imbas dari Perang Rusia-Ukraina, dan lemahnya ekonomi di negara tujuan ekspor, seperti Eropa dan Amerika.

Disisi lain, pasar lokal pun menghadapi masalah dengan adanya serangan barang-barang impor yang relatif lebih murah. Ditambah lagi adanya inovasi peralatan atau mesin, membuat pabrik tidak menggunakan banyak tenaga manusia. Apabila ditelisik lebih mendalam, salah satu alasan perusahaan menempuh PHK pada masa resesi adalah untuk mengurangi kerugian. Sebagaimana kita ketahui, tujuan berdirinya perusahaan adalah memperoleh keuntunganuntung yang besar. Jika pesanan kurang ramai, tentu tidak ada produksi. Pabrik tidak produksi berarti tidak ada pemasukan, sedangkan mereka harus tetap membayar karyawan. Jadi, untuk meminimalkan pengeluaran, cara paling cepat adalah melakukan PHK.

Selain itu, serangan produk impor dengan harga relatif lebih murah merupakan bukti bahwa pasar lokal saat ini telah dikuasai kapitalis. Perdagangan bebas membuat produk mudah masuk ke dalam negeri dengan harga yang lebih terjangkau. Penduduk Indonesia yang mayoritas berpenghasilan menengah ke bawah tentu lebih memilih produk dengan harga yang murah, meskipun itu berasal dari luar. Tidak hanya itu, untuk meminimalkan ongkos produksi, pabrik-pabrik asing berseliweran ke Indonesia. Mereka membangun pabrik mendekati pasar dengan tujuan menekan biaya, mulai tenaga kerja, barang mentah, hingga produksinya. Akibatnya, dari bahan baku, proses, hingga tenaga kerja, semua dari Indonesia, dan orang Indonesia jugalah yang menjadi target marketnya.

Inilah bukti keegoisan pengusaha. Prinsip “yang kuat ialah yang berkuasa” membuat para pengusaha mengeluarkan kebijakan seenaknya. Mereka yang punya uang mudah sekali merekrut pekerja. Akan tetapi setelah tidak berharga, para pekerja dibuang begitu saja. Ironisnya, sikap egois ini nyatanya karena disokong oleh regulasi negara, khususnya UU Cipta Kerja. Sedangkan para pekerja hanya mengharapkan pemasukan dari satu kantong saja.

Abainya Peran Negara

Negara sebagai pengayom rakyat nyatanya tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Seharusnya negaralah yang menyiapkan lapangan kerja, bukan malah memberikannya pada swasta. Berbagai kebijakan yang lahir pun justru membuat rakyat terhimpit dan sulit mencari lapangan kerja. Contohnya, betapa banyak SDA yang asing kelola, tetapi negara tidak bisa berbuat apa-apa. Perusahaan asing itu juga mudah menentukan siapa yang dipekerjakan, bahkan bisa mendatangkan pekerja dari negaranya. Akhirnya, rakyat lokal tidak memperoleh lapangan kerja, kalaupun ada, hanya sebagian kecil saja.

Belum lagi terkait kebijakan investasi. Imbas dari aturan investasi, terjadi banyak pengalihfungsian lahan sehingga para petani yang kehilangan mata pencarian. Berdirinya pabrik-pabrik juga akhirnya memaksa rakyat bekerja menjadi buruh saja. Negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas rakyat seharusnya bisa memenuhi kebutuhannya, termasuk menyiapkan lapangan kerja.

Solusi Islam

Islam sebagai agama yang Haq memiliki seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan umat termasuk masalah ketenagakerjaan. Islam, dengan sistem ekonominya, mampu menyelesaikan seluruh masalah tersebut. Dalam Islam, SDA adalah milik umum maka haram bagi negara memberikannya kepada swasta atau asing. Negara harus mengelola sendiri sehingga bisa membuka banyak lapangan kerja bagi rakyat.

Bagi masyarakat yang mampu mengelola tanah (lahan pertanian), negara akan memberikan tanah tersebut agar para petani bisa mengolah sawah dan keuntungannya adalah hak mereka. Tidak hanya diberi tanah, negara bahkan akan memberikan modal jika diperlukan.

Negara akan menetapkan akad yang jelas antara pekerja dan yang memberi kerja. Tidak boleh ada yang menzalimi. Bahkan, negara akan menunjuk seseorang yang bertugas menentukannya.

Mengenai teknologi AI, negara akan memanfaatkannya secara maksimal untuk kemaslahatan rakyat dan negara. Misalnya dengan menyediakan pelatihan agar para pekerja tidak gagap teknologi. Namun, semua itu hanya bisa terealisasi jika diterapkan Islam secara kaffah dalam bingkai daulah khilafah.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *