PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DALAM PEMILU, SEBUAH KENISCAYAAN DALAM DEMOKRASI KAPITALISTIK

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DALAM PEMILU, SEBUAH KENISCAYAAN DALAM DEMOKRASI KAPITALISTIK

Oleh Endah Yuli Wulandari

 (Kelompok Penulis Peduli Umat)

Sejumlah figur yang menduduki posisi sebagai menteri, kepala daerah, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turut meramaikan kontestasi pemilihan presiden 2024. Penyalahgunaan fasilitas negara, termasuk penggunaanya untuk keperluan kampanye, rawan terjadi. Tanpa pengawasan dan pencegahan, kontestan Pilpres 2024 mungkin saja berkompetisi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dari tiga pasangan bakal capres dan cawapres yang telah diumumkan saat ini, hanya dua nama figur yang sudah nonaktif sebagai pejabat. Ada Anies Rasyid Baswedan, yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Kemudian, Ganjar Pranowo eks Gubernur Jawa Tengah dua periode yang aktif sejak 23 Agustus 2013 – 5 September 2023. Sisanya, termasuk cawapres dari Anies dan Ganjar, merupakan figur pejabat aktif. (tito.id,25/10/2023)

Anggota Komite Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik mengatakan bakal calon presiden dan wakil presiden yang masih berstatus sebagai Menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin cuti dari presiden.( Antara.com, 4/11/2023)

Aturan KPU ini jelas akan memberikan ruang penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan fasilitas negara dan aggarannya. Di sisi lain memungkinkan pula terjadi pengabaian tanggung jawab sebagai pengurus rakyat.

Inilah buah dari kedaulatan di tangan rakyat ala demokrasi. Dimana aturan atau kebijakan diambil dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Yang tidak akan mampu mencapai kebenaran mutlak.Slogan rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat hanyalah bualan tak berarti.sebab sejatinya suara rakyat yang dimaksud hanyalah suara segelintir orang saja. Yakni mereka yang terpilih dari proses pemilu dan menduduki kursi kekuasaan.

Belum lagi proses pemilu yang mahal dalam demokrasi kapitalistik menjadikan penguasa yang terpilih tunduk pada partai pengusungnya maupun korporasi yang mendanainya. Melalui demokrasi inilah lahir negeri-negeri yang dikontrol oleh korporasi. Alhasil, dari demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih melainkan kedaulatan di tangan pemilik modal atau korporasi.semakin lama negara demokrasi berjalan, semakin dalam ketundukannya pada para pemilik modal.

Jauh berbeda dengan sistem islam atau sistem khilafah. Dalam konsep islam, kedaulatan tertinggi adalah di tangan syariat bukan di tangan manusia atau penguasa. Inilah pilar utama negara khilafah.Dengan pilar ini UU dan UUD dan semua kebijakan derifatnya digali dari Al qur’an, as sunah, ijma’sahabat dan qiyas. Peran manusia hanyalah melakukan proses ijtihad atau menggali hukum dari dalil-dalil tersebut.

Sistem islam akan secara otomatis menutup peran manusia untuk mempengaruhi regulasi yang bias pada kepentingan pada kepentingan mereka.Sementara itu, kekuasaan tertinggi dalam sistem islam diberikan kepada penguasa atau khalifah. Namun ia wajib taat pada pada aturan islam sebagai aturan yang dilegitimasi dalam negara islam.

Peran khalifah dan pejabat pemerintah hanyalah melaksanakan hukum syariat. Pejabat daerah, seperti wali, juga ditunjuk langsung oleh khalifah berdasarkan masukan majelis umat di tiap wilayah. Oleh karenanya, model pemilihan umum yang mahal seperti dalam sistem demokrasi yang menjadi pintu gerbang masuknya oligarki dan korporasi dapat dihindarkan. Partai politik dan umat akan secara konsisten mengawasi jalannya pemerintahan. Sehingga kebijakan yang bertentangan dengan syariat islam dapat segera diidentifikasi dan dihilangkan. Termasuk penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi atau golongan.

Pengangkatan khalifah dalam islam adalah dengan metode baiat. Ini adalah satu-satunya metode baku dalam pengangkatan khalifah. Baiat adalah istilah lain dari akad atau kontrak politik antara dua pihak. Yakni pihak umat islam atau wakil rakyat dan khalifah atau penguasa.

Namun teknis pemilihan khalifah bersifat tidak baku. Perbedaan teknis pra-baiat khalifah bisa kita contoh dari teknis pemilihan khalifah sebelum terjadi baiat di masa Khulafaur Rasyidin.

Pada masa Abu Bakar Ashidiq dan Umar Bin Khathab sebelum pembaiatan dilakukan dengan cara pemilihan yang berlangsung sangat singkat dengan memakan waktu maksimal tiga hari. Setelah itu khalifah yang terpilih langsung menjalankan tanggungjawabnya mengurusi kemashlahatan rakyat.

Jika calon khalifah berasal dari pejabat pemerintahan sebelumnya, maka tugasnya akan digantikan pihak lain di masa kekosongan khalifah tersebut. Hanya saja perlu dicatat bahwa kondisi demikian tidak berlangsung lama. Dan menutup celah terjadinya penyalahguanaan kekuasaan oleh calon khalifah.

Islam juga memberikan ketegasan akan adanya pertanggungjawaban di akhirat yang akan menjaga setiap orang termasuk calon pemimpin untuk mentaati aturan Allah dan rasulNya. Termasuk di dalamnya adalah mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin. Maka hanya khilafah yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Wallahu’alam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *