Penolakan UU Ciptaker, Masyarakat Tak Percaya DPR RI?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Muthmainnah Ilham, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)

Senin, 5 Oktober 2020 UU Ciptaker telah disahkan di tengah banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Selain itu, sebanyak 257 orang anggota DPR RI tidak hadir dalam rapat paripurna DPR RI. Yang hadir hanya 318 anggota DPR. Akan tetapi, rapat paripurna tetap digelar.

Setelah disahkannya UU Ciptaker, terjadi aksi penolakan di berbagai wilayah. Forum Cipayung Plus nasional terdiri dari GMNI, HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM, KAMMI, KMHDI, LMND dan HIKMABUDI melakukan aksi unjuk rasa di Istana Negara pada Kamis, (8/10). Pendemo menyatakan sikap menolak UU Ciptaker yang baru disahkan karena dianggap lebih memihak ke investor daripada rakyat kecil.

Sekretaris Jenderal DPP GMNI Sujahri Somar menyampaikan terjadinya aksi massa yang cukup besar menandakan masyarakat sudah tidak percaya kepada pemerintah dan DPR.

“Terlihat dengan disahkannya UU Cipta Kerja ini justru menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat dalam skala nasional, dari tingkat daerah sampai ke pusat. Kami (DPP GMNI) juga mengeluarkan surat instruksi agar DPC dan DPD di seluruh tanah air ikut menyikapi terbitnya UU Ciptaker,” kata Sujahri.

GMNI bersama forum Cipayung Plus nasional melakukan aksi karena menganggap UU Ciptaker tidak sesuai dengan semangat Pancasila, khususnya sila ke-5. GMNI mendesak pemerintah untuk segera mencabut UU tersebut. (Republika.co.id, 5/10/2020)

Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah dan DPR RI mencabut UU tersebut. Apalagi UU Ciptaker ini jelas merugikan masyarakat, khususnya para buruh. Upah per jam akan menyengsarakan buruh karena nilai total per bulannya di bawah upah minimum. Padahal di masa pandemi ini kebutuhan hidup sangat besar. Hal ini, dapat mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan.

Pemerintah dan DPR RI sebagai wakil rakyat, sudah seharusnya mendengarkan tuntutan masyarakat. Bukan justru membuat aturan yang merugikan masyarakat. Demokrasi yang dikatakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kini lebih mementingkan para pemilik modal.

Inilah buah dari sistem kapitalisme. Pemerintah dan DPR RI mensahkan UU Ciptaker yang justru mempermudah tenaga kerja asing termasuk buruh kasar untuk masuk dan bekerja. Ditambah sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan malah dihapuskan.

Hal ini menunjukkan pemerintah dan DPR RI tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Masyarakat pun tidak percaya lagi kepada pemerintah dan DPR untuk mewakili aspirasi mereka.

Mengapa masyarakat tidak lagi percaya kepada Pemerintah dan DPR? Karena kinerja mereka yang buruk. Pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi masyarakat dan tuntutan mereka. Bahkan, mensahkan UU Ciptaker yang sejak awal ditolak berbagai kalangan. Selain itu, nampak bahwa Pemerintah dan DPR lebih mementingkan para pemilik modal dari pada rakyat kecil. Sehingga masyarakat telah dikhianati oleh wakil mereka sendiri.

Berbeda halnya dalam Islam. Dalam struktur Negara Islam terdapat Majelis Umat. Yaitu orang-orang yang mewakili kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan bagi Khalifah.

Orang-orang yang mewakili penduduk wilayah disebut Majelis Wilayah. Orang-orang non-Muslim dibolehkan menjadi anggota Majelis Umat untuk menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa atau penyimpangan pelaksanaan hukum-hukum Islam.

Keberadaan Majelis Umat secara syar’i ditetapkan berdasarkan perilaku Rasulullah saw. dan para sahabat. Rasulullah saw. dalam urusan-urusan tertentu bermusyawarah dengan para sahabat besar. Beliau sering meminta saran dan pendapat mereka dalam urusan-urusan tertentu. Hanya saja, ada beberapa sahabat yang sering diajak bermusyawarah dan dimintai pendapat oleh Nabi saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah, dan lain sebagainya.

Nabi saw. merupakan pemimpin yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Beliau tidak pernah lepas dari saran-saran ahlul ra’yi (para pemikir) serta orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan dan kelebihan berpikir. Mereka memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketakwaan mereka dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah tujuh dari kaum Anshar dan tujuh lainnya dari kaum Muhajirin. Di antaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Umar, ‘Ali, Hasan, Husein, Ibnu Mas’ud, Salman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal.

Menyampaikan pendapat, aspirasi, koreksi (muhâsabah) dan usulan kepada pemerintahan Khilafah merupakan hak setiap warga negara. Mereka berhak menggunakan hak itu secara langsung, atau mewakilkannya kepada orang lain.

Adapun konteks memberikan pengaduan dan penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai Daulah Khilafah, maka orang-orang kafir diberi hak. Banyak riwayat sahih yang menuturkan pengaduan orang-orang kafir terhadap penyimpangan, kezaliman, atau buruknya pelayanan mereka kepada rakyat.

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menerima pengaduan dari orang Yahudi atas apa yang dilakukan oleh Amru bin Ash saat menjabat amil di Mesir (Lihat: Al-Muwatha‘, karya Imam Malik).

Sudah saatnya kita kembali kepada aturan dari Allah Swt. yang memberi penghidupan. Allah Swt. berfirman: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-araf : 96)
Wallahu’alam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *