Penistaan Agama Berulang di Negeri Sekuler, Mengapa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

 

“Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan”.
(Buya Hamka)

Di tengah Ramadan, bulan mulia umat Islam, penistaan terhadap agama Islam terjadi. Tentu bukan kali pertama. Hal ini telah terjadi berulang-ulang, seakan telah lazim, lumrah, biasa.

Diketahui, Joseph Paul Zhang, seorang youtuber mengaku sebagai nabi yang ke-26. Ia menghina Sang Pencipta alam beserta segala isinya. Selain itu juga menghina Nabi Muhammad saw., mengolok-olok, dan menghina ajaran Islam. Bahkan Ia menantang dilaporkan ke pihak kepolisian sebagai penista agama. (fokusatu.com, 18 April 2021)

Kejadian ini tentu menampar umat Islam, sebegitu kuat dan menyakitkan. Mengapa bisa, di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kasus ini terjadi berulang-ulang? Jawabannya, karena umat diam. Terlebih, pemimpinnya bungkam, membiarkan penistaan ini terjadi, masif, merajalela.

Para penista agama pasti sadar akan diam dan bungkamnya umat juga pemimpinnnya. Tentu karena kasus-kasus sebelumnya telah menggambarkan itu semua. Apalagi, para penista dihukum alakadarnya. Dan akhirnya, para penista agama merasa berada di atas angin, terus mencaci agama yang mulia ini.

Penting ditegaskan, penistaan terhadap agama Islam yang terjadi berulang-ulang, sebenarnya disebabkan beberapa hal. Pertama, negara berlandaskan kebebasan. Atas dasar kebebasan, segala macam tindakan dan lisan yang menjatuhkan agama lain dibungkam dengan mantra, “Setiap warga negara dijamin atas hak berpendapat dan berperilaku”.

Kedua, negara tidak menjadikan Islam sebagai sumber aturan. Padahal dengan aturan Islam, semuanya terlaksana secara sempurna. Keadilan, keamanan, dan kesejahteraan dirasakan oleh tiap-tiap warganya.

Terbukti, tatkala negara menjadikan selain aturan Islam untuk mengatur kehidupan, ketidakadilan merajalela. Tampak, saat Islam dihina, umat disuruh bersabar dalam arti berdiam diri. Pelaku penistaan? Dibiarkan melanglang buana ke sana kemari. Namun, tatkala umat agama lain melaporkan mendapat kerugian, suara-suara lantang lantas menyuarakan bahwa Islam adalah agama intoleran. Sungguh miris.

Dengan diterapkannya aturan Islam, umat akan tahu lebih dalam terkait agamanya. Termasuk, bahwa diamnya mereka tatkala agama dan nabi mereka dihina adalah dosa.

Ketiga, negara tidak memberlakukan sanksi tegas pada para penista agama. Hal ini tampak dengan hukuman yang diberikan kepada para penista agama. Hanya mendekam di penjara lima tahun, bagaimana bisa menimbulkan efek jera? Selain itu, masih banyak sekali pemilik lisan yang menghina agama yang bebas berkeliaran di luar sana. Bukankah tak ada proses hukum sama sekali untuk mereka? Tentu dengan tidak adanya sanksi dan sanksi yang tidak tegas ini membuat para pelaku kebal, tak akan jera. Dan mungkin pula merencanakan aksi berikut dan berikutnya lagi.

Begitulah, sederet faktor yang menyebabkan penistaan agama terjadi berulang di negeri sekuler. Bisa ditarik benang merah bahwasanya penistaan agama tak dianggap sebuah kesalahan, tentu pula tak akan pernah berhenti mengalir di alam sekuler ini. Maka, butuh sebuah negara yang melindungi umat dan agama Islam dari penistaan, tak lain yaitu Khilafah.

Dalam Khilafah, toleransi tak sekadar bualan seperti di negeri sekuler. Para pemimpin pun bertindak tegas, tak lemah tatkala menghadapi penista agama. Pemimpin yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin yang memberi teladan luar biasa, teladan bagaimana menyikapi para penista agama.

Mulai dari Khalifah Abu Bakar ash- Shiddiq yang memerintahkan untuk membunuh penghina Rasulullah saw. Juga Sultan Abdul Hamid II yang dengan tegas menghentikan tindakan Prancis yang hendak menggelar teater yang melibatkan Rasulullah saw.

Sebagai pemimpin, sepatutnya bertindak tegas seperti itu. Masalah pribadi, maka boleh diam. Namun, apabila menyangkut Allah, Rasulullah, dan Islam maka pantang berkompromi.

Begitulah, Khilafah adalah pelindung dan perisai. Menindak tegas, memberi efek jera bagi penista agama. Maka, tetaplah teguh membumikan Islam hingga tegaknya Sang Junnah, yang dengannya minim bahkan nihil kasus penistaan agama.

Wallahu a’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *