Pencegahan Kekerasan Seksual, Cukupkah dengan Peran Keluarga?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pencegahan Kekerasan Seksual, Cukupkah dengan Peran Keluarga?

oleh Sherlina Dwi Ariyanti, A.Md.Farm. 

(Aktivis Dakwah Remaja)

Kasus kekerasan seksual memang kian marak terjadi. Dilansir oleh Metrotvnews.com (04/06/2023) bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus. Itu terjadi sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023. Data ini menunjukkan bahwa kasus ini bukan permasalahan kecil. Berapa banyak generasi yang dihancurkan dampak trauma dari kekerasan seksual yang dialami.

Tingginya kasus, memicu berbagai pihak membawa solusi untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di Indonesia. Salah satunya yang beberapa waktu menjadi langkah yang dianggap trobosan untuk mengatasi masalah ini adalah memaksimalkan peran keluarga dalam pencegahan kekerasan seksual.

Tak Cukup Keluarga Sebagai Solusi 

Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan menyampaikan bahwa peran keluarga dalam pencegahan dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga. Kemudian, dibangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga terkait kekerasan seksual. Disamping itu, harapannya dengan kontribusi keluarga sebagai wadah terkecil seorang anak untuk bercerita maka anak tidak akan takut bercerita tentang kekerasan seksual yang mungkin terjadi karena takut aib.

Jika dianggap faktor dasarnya adalah tidak ada keberanian dari korban untuk melapor lalu bagaimana kasus yang dilaporkan namun tidak mendapatkan respon. Seperti yang terjadi pada mahasiswa Universitas Negeri di kota Malang. Dilansir dari Hariane.com(14/08/2023) pasalnya kasus kekerasan seksual hingga pemerkos4an pada beberapa mahasiswi, telah dilaporkan sejak bulan Maret namun ternyata tidak ada titik terang hingga saat ini.

Jika para ahli menganggap bahwa harus mengutamakan keberanian anak atau perempuan dalam berkolaborasi mengatasi kasus kekerasan seksual faktanya tidak demikian. Buktinya, sudah dilaporkan kasus sodomi yang dilakukan oleh pengajar disalah satu pesantren provinsi Aceh dan pelaku mendapat vonis 15tahun dikurangi masa tahanan. Vonis ini memang terlihat berat sekalipun ini tidak seimbang dengan trauma mental yang dialami oleh korban. Namun ternyata Tindakan seperti ini tidak bisa menurunkan angka kekerasan seksual. Bahkan ancaman kekerasan seksual untuk anak dan juga perempuan semakin menghantui.

Sejatinya ini hanya solusi parsial. Dimana menganggap keberanian korban kekerasan seksual untuk melapor adalah langkah terbaik untuk membasmi kasus ini. Faktanya kasus ini kian menjamur karena adanya kerusakan karakter dari pelakunya. Kerusakan karakter itu bisa dilihat dari kekejian yang dilakukan oleh para pelaku. Dengan keji mereka melakukan kekerasan seksual kepada anak-anak hingga perempuan dewasa demi memuaskan nafsu orang bi4ad4b tersebut.

Kerusakan karakter ini bukan terjadi secara alamiah yang bisa menjadi suatu kewajaran. Karakter bi4d4b ini terjadi karena pembentukan yang direncanakan. Perencanaan yang dilakukan secara sistematis oleh barat. Perusakan karakter ini tidak dilakukan secara fisik melainkan melalui penjajahan dari segi konsep pemikiran. Penerapan sistem kapitalisme-sekularisme di negeri ini yang membentuk konsep pemikiran individu hingga masyarakat adalah bukti penjajahan barat atas rakyat Indonesia.

Dengan pembentukan karakter rakyat yang bersumber dari kapitalisme-sekularisme maka tidak aneh ketika generasi yang terlahir jauh dari ketaqwaan dan kemanusiaan. Dengan kondisi memisahkan Islam dari kehidupan manusia, dan menjadikan materi di dunia sebagai tujuan utama, maka segala cara akan ditempuh untuk mendapatkannya. Termasuk didalamnya adalah kenikmatan seksual yang bisa didapatkan dengan berbagai hal. Mereka tidak menghadirkan Allah atas disetiap aktivitasnya. Dampak besarnya adalah pelaku ini tidak ada keraguan untuk melanggar hukum syara’ Allah. Ketika mereka kepada pemiliki dunia saja tidak ada rasa patuh atas aturan yang diturunkan, suatu hal yang mustahil mereka bisa diatur oleh aturan manusia. Dengan fakta seperti ini jelas sejatinya, peran keluarga untuk edukasi anak-anak agar lebih aktif dalam melaporkan kekerasan seksual bukanlah solusi komprehensif atas masalah ini.

Hanya Islam Penghapus Kekerasan Seksual. Buktinya telah nyata bahwa kasus kekerasan seksual tidak bisa diatasi hanya sekedar peranan keluarga dalam mendidik agar berani melapor. Faktanya menunjukkan bahwa faktor dasarnya adalah kerusakan karakter manusianya yang jauh dari agama dan kerusakan sistem pengaturan kehidupan masyarakat sehingga konsep pemikiran individu-masyarakat menjadi rusak.

Solusi yang begitu nyata bisa mengatasi masalah ini adalah dengan perubahan sistem kehidupan. membuang sistem kapitalisme-sekularisme dan mengganti dengan Islam dalam mengatur kehidupan. Solusi ini adalah solusi praktis dan komprehensif untuk mengatasi masalah kekerasan seksual dari akar masalah. Kehebatan Islam dalam mengatasi masalah adalah mampu menjadi pencegah tidak hanya menjadi solusi jika sudah terjadi.

Penerapan sistem islam yang shohih adalah melalui negara. Islam adalah sebuah agama dan sistem kehidupan yang bisa mengatur segala persoalan umat. Ketika Islam diterapkan menjadi sistem negara maka segala kebijakan akan diambil berdasarkan hukum syara’ dalam Islam. Termasuk dalam penghapusan kekerasan seksual.

Pada kasus ini, Islam sangat rinci dalam mengatasi segala macam persoalan umat termasuk persoalan besar kekerasan seksual seperti saat inj. Islam akan melakukan pembinaan pada seluruh rakyat di negara yang dibawah naungannya. Sebelum membahas tentang sanksi, pada sistem Islam negara berkewajiban untuk mendidik dan menjamin setiap individu agar terbangun ketaqwaan kepada Allah. Ketaqwaan yang tertancap kuat akan menuntun seseorang untuk menegakkan hukum syara’ berdasarkan ketaqwaan kepada Allah. Bukan pembinaan yang membentuk individu semata, ketaqwaan ini akan berdampak pada karakter masyarakatnya.

Sistem Islam akan membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah melalui penerapan syariat Allah dikehidupan bermasyarakat. Dengan kondisi masyarakat yang taat, maka ketika anak-anak ataupun perempuan keluar rumah tidak akan takut ancaman kekerasan seksual lagi. Segala aspek kehidupan bermasyarakat akan diatur menurut Islam termasuk aspek pergaulan. Selain itu, terkait tontonan media yang berpengaruh pada konsep pemikiran umat akan dijaga oleh negara. Dengan berdasar ketaqwaan maka tidak ada sedikitpun celah umat untuk melakukan pelanggaran hukum syara.

Ketika individu dan masyarakat telah dididik menjadi manusia bertaqwa maka hanya kemungkinan kecil mereka kekerasan seksual karena hal tersebut merupakan pelanggaran hukum syariat Allah. Jika memang ada kasus terjadi ketika Islam diterapkan menjadi sistem negara maka jelas hukumannya tidak setara dengan hukuman yang disusun oleh akal manusia. Sanksi dalam Islam bisa dikenai hukuman mati (rajam). Bahkan sekadar pelecehan verbal saja bisa terkena ta’zîr penjara 6 bulan atau cambukan(alwaie.net, 2019). Ini hanya gambaran singkat sanksi yang bisa diberikan.

Namun perlu dipahami bahwa penerapan sistem Islam ini tidak bisa dilaksakan dengan pilih-pilih hukum melainkan secara keseluruhan dan sistem ini telah dilaksanakan selama 1300tahun lamanya setelah kepergian Rasulullah. Negara yang menerapkan sistem Islam dikenal sebagai khil4f4h. Tidak ada jalan lain untuk menyelamtkan generasi selain dengan penerapan Islam Kaffah.

Wallahu A’lam Bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *