Pemilu Untuk Kepentingan Rakyat, Benarkah ?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pemilu Untuk Kepentingan Rakyat, Benarkah ?

Oleh  Suhirnan, S.Pd

(Relawan Opini)

 

Tahun 2024 adalah puncak dimulainya kembali pemilu setelah masa berakhirnya jabatan 5 tahun kepresidenan. Para calon pemimpin mulai sibuk mempersiapkan berbagai keperluan untuk kelancaran pemilu. Tak lupa pula janji-janji yang terus disuarakan untuk dapat menarik perhatian masyarakat dengan berbagai trik agar dapat dipilih. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam sistem demokrasi kapitalisme yang diemban saat ini. Alih-alih mensejahterakan rakyat justru membohonginya dengan janji manis tersebut.

Mengutip dari (cnnindonesia, 11/01/2024) anggota dewan pembina perludem Titi Agraini mengatakan bahwa partai politik dilarang menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketentuan itu tertuang pada pasal 40 ayat (3) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik. Ia juga mengatakan partai politik yang melanggar ketentuan itu dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya, sebagai mana diatur pada pasal 48 ayat (4) UU 2/2008. Juga diatur pada pasal 339 ayat (1) huruf a UU 7/2017 tentang pemilihan umum.

Berdasarkan data yang di lansir dari cncbindonesia (12/01/2024) Pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai atau parpol. Juga ditemukan laporan transaksi besar dari luar negeri yang melibatkan para daftar caleg terdaftar (DCT) dan menemukan adanya penerimaan senilai Rp 7,7 triliun. Hal ini menandakan bahwa untuk bisa menjadi pemimpin di negeri ini dibutuhkan dana besar baik dari dana pribadi maupun bantuan dari dalam maupun luar negeri. Artinya pemilu tersebut hanyalah sebagai ajang pertarungan berbagai kepentingan untuk merealisasikan tujuan yang diinginkan para pemilik modal untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Sungguh miris, berada pada sistem demokrasi kapitalisme. Sekalipun telah dibuat peraturan perundang-undang mengenai larangan dana pemilu dari pihak asing namun ada saja dana yang masuk dalam rekening Parpol dan tidak lain dana tersebut adalah dari pihak asing. Hal ini menunjukkan pemilu berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Ada bahaya yang harus diwaspadai dibalik itu semua, yaitu tergadainya kedaulatan negara. Akibatnya Parpol dalam sistem ini kehilangan idealismenya bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal artinya siapapun terpilih, maka oligarkilah pemenangnya.

Berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam Islam pemilihan dilakukan secara sederhana, efektif, efisien dan hemat biaya. Adapun calon khalifah (pemimpin) harus memenuhi 7 syarat in’iqad yaitu harus muslim, lali-laki, baliq, berakal, adil, merdeka dan mampu menjalankan amanah sesuai tuntutan Allah dan Rasul-Nya. Khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia tetapi untuk menjalankan hukum Allah SWT. Kewajiban seorang penguasa yaitu menerapkan syariat Islam dan mengurusi umat sebagaimana sabda Rasulullah.

“Tidaklah seorang pemimpin mengurusi rakyat lalu mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan baginya surga.” (HR Al-Bukhari)

Sebagaimana juga kata Abu Bakar Ash-Shiddiq pada saat terpilih sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW bahwa hendaklah menaatinya selama ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana ia tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya maka janganlah menaatinya sekalipun ia khalifah.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *