Pemerintahan Joe Biden Jadi Angin Segar Bagi Perdamaian Palestina-Israel, Benarkah ?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Arsyila (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Terpilihnya Joe Biden dan Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden AS untuk periode 4 tahun ke depan memberikan sebuah harapan besar bahwa pemerintahan baru AS dapat memperbaiki kebijakan dan proses yang tak berfungsi serta terlibat dalam proses politik yang bermanfaat dengan dukungan pihak-pihak regional dan internasional berpengaruh.

Pekan lalu, Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit berharap pemerintahan Joe Biden bakal mengubah kebijakan Timur Tengahnya. Ia secara khusus menyinggung tentang penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Gheit mengungkapkan, upaya pencapaian solusi dua Israel-Palestina telah termarginalkan oleh mediator utama dalam konflik. Pernyataannya mengacu kepada AS di bawah pemerintahan mantan presiden Donald Trump.

Pernyataan Gheit muncul setelah Israel baru-baru ini menyetujui pembangunan 800 rumah di wilayah Tepi Barat yang diduduki. Gheit mengatakan upaya signifikan perlu dilakukan oleh semua pihak dalam beberapa bulan mendatang guna menegaskan kembali solusi dua negara Israel-Palestina.

Selama masa pemerintahan Trump, peluang Palestina untuk dapat menjadi negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya kian tergerus. “Malapetaka” dimulai pada Desember 2017, yakni ketika Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Keputusan itu tak hanya dikutuk Palestina, tapi juga negara-negara Arab dan Muslim. Alih-alih mendengar protes serta kecaman, pemerintahan Trump justru melanjutkan kebijakannya dengan memindahkan kedutaan besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018.

Sebelum 2018 berakhir, pemerintahan Trump memutuskan menghentikan pendanaan rutin bagi Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Keputusan itu seketika menyebabkan UNRWA dilanda krisis keuangan. AS merupakan penyandang dana terbesar UNRWA dengan kontribusi rata-rata 300 juta dolar AS per tahun.

Tak berhenti di sana, pemerintahan Trump pun menghentikan bantuan United States Agency for International Development (USAID) untuk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Langkah-langkah itu dipandang secara luas sebagai cara untuk menekan kepemimpinan agar bersedia terlibat dalam pembicaraan damai dengan Israel.

Setelah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Palestina memang mundur dari perundingan damai yang dimediasi Washington. AS dianggap sudah tidak lagi menjadi mediator yang netral karena memihak pada kepentingan politik Israel.

Daniel Estrin, koresponden NPR di Yerusalem menyatakan, warga Palestina sangat ingin membuka lembaran baru karena Trump telah berulang kali menghina kepemimpinan Palestina. Kata Estrin, Biden pun berjanji mengembalikan bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Selain itu, Biden juga menentang aktivitas pemukiman Israel di Tepi Barat yang mereka duduki.

Akan tetapi, sebagian warga Palestina kecewa karena tim Biden mengatakan bahwa mereka tidak akan memindahkan kedutaan keluar dari Yerusalem. Namun, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas memberi selamat kepada Biden dan dia berharap presiden AS itu bisa membina hubungan yang baik dengan Palestina.

Seperti diwartakan Aljazeera, beberapa kantor berita Palestina memuat pernyataan pejabat Palestina tentang arti kemenangan Biden sebagai presiden terpilih.

Nabil Shaath, perwakilan khusus Presiden Mahmoud Abbas, mengatakan kepemimpinan Palestina tidak mengharapkan perubahan strategis dalam kebijakan AS terhadap Palestina, tetapi hanya ingin menyingkirkan rezim Trump–yang dia gambarkan sebagai “yang terburuk”. Itu adalah keuntungan.

“Dari apa yang kami dengar dari Joe Biden dan wakilnya Kamala Harris, saya pikir dia akan lebih seimbang dan tidak terlalu tunduk pada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu – sehingga tidak berbahaya bagi kami dibandingkan Trump,” katanya.

Sementara Hanan Ashrawi, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengatakan, langkah pertama mereka adalah “menyingkirkan Trump dan bahaya yang ditimbulkannya”. Namun, dia menekankan bahwa Biden pun tidak akan menjadi penyelamat bagi Palestina.

Akan tetapi, kata dia, mereka sedang berdiskusi dan melakukan evaluasi untuk pemulihan hubungan Otoritas Palestina dengan AS setelah kemenangan Biden. Selama beberapa dekade, Ashrawi bilang, kebijakan AS pro-Israel telah menghasilkan kebijakan Trump.

“Apa yang dibutuhkan adalah mengubah apa yang telah dilakukan Trump dengan secara radikal mengubah rasisme dan politik yang dia wakili, dan membangun hubungan berdasarkan visi baru, keadilan, rasa hormat, dan kejelasan,” katanya.

 

Sementara itu, kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyeh, meminta Biden untuk melakukan “koreksi historis atas jalannya kebijakan AS yang tidak adil terhadap rakyat kita, yang telah menjadikan Amerika Serikat sebagai mitra ketidakadilan dan agresi, dan merusak stabilitas di kawasan dan dunia.”

Haniyeh juga meminta Biden membatalkan keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (Tirto.id, 21/01/2021)

Namun ternyata setelah Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan melakukan pembicaraan dengan Penasihat Keamanan Nasional Israel Meir Ben Shabbat, Sabtu (23/1). Sullivan menegaskan komitmen pemerintahan Presiden Joe Biden terhadap keamanan Israel.

“Mereka membahas peluang meningkatkan kemitraan selama beberapa bulan mendatang, termasuk dengan membangun keberhasilan pengaturan normalisasi Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko,” kata Gedung Putih dalam keterangannya yang dirilis, Ahad (24/1).

Sullivan mengatakan AS akan berkonsultasi erat dengan Israel tentang semua masalah keamanan regional.

“Dia (Sullivan) juga menyampaikan undangan memulai dialog strategis dalam waktu dekat untuk melanjutkan diskusi substantif,” kata Gedung Putih.

Hal ini membuktikan bahwa suatu kemustahilan secara empiris dan keharaman secara normatif untuk menggantungkan penyelesaian pendudukan Israel terhadap Palestina pada pemerintah AS.

Karena selama sistem yang digunakan belum diganti, mau berapa kali pun penguasanya diganti maka tidak akan mungkin mampu mengatasi perselisihan yang terjadi. Hanya Islamlah  satu-satunya sistem yang mampu memecahkan segala problematika umat. Menyelesaikan masalah dari akarnya secara komprehensif, tidak seperti sistem sekarang yang hanya menyelesaikan masalah hanya secara parsial dan sering kali menimbulkan masalah-masalah baru.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *