Pemberdayaan Difabel, Antara Tuntutan Mandiri dan Eksploitasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pemberdayaan Difabel, Antara Tuntutan Mandiri dan Eksploitasi

Oleh Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif

“Para difabel bisa menjadi pahlawan ekonomi Nusantara.” Demikianlah pesan yang disampaikan Friderica Widyasari, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Pernyataan itu diungkapkan dalam kegiatan Edukasi Keuangan bagi para Penyandang Disabilitas di Aula Serbaguna, Perpustakaan Nasional Jakarta.

Menurutnya, kaum difabel dapat menjalani serangkaian profesi seperti penjual di pasar, tukang foto keliling di perkantoran, hingga menjadi desainer. Mereka dianggap telah siap mencapai apapun yang diinginkan. Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pelaku usaha jasa keuangan agar memberi kemudahan bagi mereka dalam membuka rekening, pembiayaan kredit juga perolehan produk asuransi. Penyandang disabilitas adalah satu dari 10 target yang dituju untuk literasi dan inklusi keuangan, selain perempuan, anak-anak, daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) dan lain sebagainya. (www.antaranews.com, 15 Agustus 2023)

Lebih lanjut, perempuan yang akrab disapa Kiki itu meminta pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk memberi fasilitas bagi para difabel. Keberadaan OJK akan memberikan pendampingan agar penyandang disabilitas bisa mengelola akses tabungan, kredit dan asuransi dengan baik. Untuk itu akan diadakan program untuk mendampingi mereka agar bisa mengatur keuangan dengan baik dan tidak terjebak utang. Dengan adanya kesetaraan literasi diharapkan mampu menjadikan masyarakat lebih mandiri secara finansial.

Dengan adanya OJK, program peningkatan literasi dan inklusi keuangan serta pemberdayaan penyandang disabilitas akan difokuskan di kantor regional fan daerah. Pepen Nazaruddin selaku Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia menyatakan bahwa Kemensos dan Otoritas Jasa Keuangan sendiri saat ini telah menetapkan teknis operasional serta layanan yang bisa diakses, agar bisa memberikan pelayanan yang baik dalam pelaksanaannya.

Memang diakui, kaum disabilitas sangat membutuhkan kemudahan dan fasilitas dalam menjalankan aktivitas ekonomi sehingga perlu dilatih kemandiriannya. Tapi program pemberdayaan yang dilakukan tidak boleh memberi kesan eksploitasi. Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan juga keamanan. Dan pengayoman ini berlaku menyeluruh, baik bagi yang normal (memiliki organ tubuh sempurna) ataupun mereka yang berkebutuhan khusus (disabilitas).

Setiap warga negara adalah tanggung jawab negara, tanpa memandang kondisi fisiknya. Para difabel pun harus diperlakukan sama, tidak boleh menganggap mereka sebagai beban ekonomi atau APBN. Mereka juga tidak boleh dijadikan sebagai penopang perekonomian nasional. Kehadiran penyandang disabilitas dalam UMKM adalah upaya satu-satunya yang bisa mereka lakukan, mengingat tidak banyak lapangan kerja bagi mereka yang berkebutuhan khusus.

Justru negara harus memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam baik migas maupun non migas sebagai sumber ekonomi strategis. Tapi alih-alih dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, penguasa justru menjualnya dengan murah pada swasta baik asing maupun lokal. Sementara target pertumbuhan ekonomi dibebankan pada para pelaku UMKM dan para difabel, sungguh sangat memalukan.

Para penyandang disabilitas adalah pihak yang layak dibantu. Bantuan yang diberikan pun tidak akan membuat mereka manja dan tidak mandiri, justru akan semakin memicu semangat untuk berkarya dan lebih produktif lagi. Maka ketika negara hanya mencukupkan dengan pelatihan dan pemberian modal, serta membiarkan kaum difabel bersaing dengan korporasi raksasa di tengah sistem kapitalis yang kejam, itu akan membuatnya lebih tidak manusiawi. Mereka bersusah payah melakukan produksi barang-barang, tapi pada akhirnya harus bersaing dengan produk sejenis buatan pabrik atau impor yang harganya jauh lebih murah dengan pemasaran yang sangat masif. Inilah yang dimaksud dengan eksploitasi yang dilakukan terhadap mereka yang berkebutuhan khusus.

Sejatinya, kaum difabel adalah hamba yang juga memiliki kedudukan yang sama di mata Penciptanya. Allah Swt. berfirman dalam QS. an-Nur ayat 61 yang artinya:
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu, atau di rumah bapak-bapakmu……”

Oleh karenanya, dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap rakyatnya, negara tidak boleh membeda-bedakan dengan warga lain pada umumnya. Kebutuhan dasar mereka harus terpenuhi. Begitu pula dalam penyediaan infrastruktur, mesti tersedia berbagai fasilitas yang sesuai dengan kondisi fisiknya agar bisa menjalankan aktivitas secara mandiri. Misalnya, penyediaan penanda khusus agar penyandang tunanetra mengetahui batas tepi jalan dan bisa terhindar dari resiko tertabrak.

Dengan kondisi yang dimilikinya, para difabel akan mendapat pelayanan yang istimewa, karena keadaan fisik mereka memang berbeda dan membutuhkan penanganan ekstra. Negara akan menyediakan sekolah dan rumah sakit khusus, dan memberikan santunan serta alat bantu yang sesuai dengan kekurangan yang dimiliki, seperti kaki palsu, alat dengar dan lain sebagainya.

Dalam memenuhi kebutuhan pokok yang bersifat individual, negara juga akan memberi kemudahan dengan memberi lapangan pekerjaan sesuai kemampuannya. Sementara bagi yang sudah tidak mampu atau tidak wajib bekerja seperti: orang tua, wanita, anak-anak, akan dilihat apakah ada pihak keluarga yang bisa menanggungnya. Jika tidak ada maka penguasa lah yang akan menanggungnya dengan memberi santunan kepada mereka.

Di masa kejayaan Islam, tepatnya di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau pernah memerintahkan para pejabat Syam untuk mendata para tunanetra, orang sakit, dan jompo untuk diberi santunan. Bahkan khusus bagi orang-yang tidak bisa melihat, diberikan pelayan untuk menemaninya. Bahkan di Baghdad, Abu Ja’far al-Manshur pernah mendirikan rumah sakit khusus bagi penyandang cacat.

Demikianlah, dalam Islam para difabel akan dimuliakan dan diperlakukan sama sebagaimana warga lainnya, tanpa ada sedikitpun upaya untuk mengeksploitasinya. Semua hanya bisa terjadi saat syariat Allah diterapkan secara menyeluruh di setiap sendi kehidupan, di bawah naungan sebuah kepemimpinan.

Wallahu alam Bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *