Pekatnya Aroma Politik Balas Budi Dalam Sistem Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Tita Rahayu Sulaeman

 

Abdi Negara Nurdin atau yang lebih dikenal dengan Abdee Slank tengah banyak diperbincangkan publik. Bukan karena prestasinya bersama grup Band yang telah membesarkan namanya. Melainkan karena telah ditetapkan sebagai Komisaris Independen PT. Telekomunikasi Indonesia (persero) Tbk (Telkom). Keputusan ini diambil berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Telkom pada 28 Mei 2021. Ercik Thohir selaku menteri BUMN berharap, Telkom di masa depan mampu berkembang menjadi perusahaan digital, tidak terjebak dalam teknologi konvensional seperti telepon dan sms (cnnindonesia.com 2/06).

Keputusan ini menjadi sorotan banyak pihak. Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf menyatakan, penempatan Abdee Slank sebagai komisaris Telkom hanya akan merugikan Telkom karena latar belakang profesi yang tidak sesuai.

Menurutnya, jika Telkom dirugikan, maka negara juga dirugikan.  Bukhori juga menyinggung orang yang selama ini menjadi tim pemenangan Jokowi pada pilpres sebelumnya kerap diberikan posisi. Hal ini dikhawatirkan akan merusak tatanan pemerintahan (detik.com 30/05).

Tak bisa dipungkiri memang, masyarakat mencium aroma politik balas budi disini. Ada 13 nama yang  mendukung pencalonan Presiden Jokowi dalam Pilpres sebelumnya yang kini menjabat komisaris di perusahaan milik negara (cnnindonesia.com 29/5).
Dalam sistem demokrasi, politik balas budi bukanlah hal yang baru. Mahalnya biaya berdemokrasi, memberikan celah bagi para pemilik modal untuk memberikan dukungannya pada para calon pemimpin. Sayangnya dalam kehidupan kapitalis saat ini, materi adalah segalanya. Dukungan berupa materi yang diberikan tidaklah cuma-cuma. Hubungan saling menguntungkan bagi kedua pihaklah yang tengah dibangun.

Pemimpin yang lahir dari sistem Demokrasi adalah mereka meraih suara terbanyak melalui proses pemilihan langsung. Dibutuhkan usaha yang tak mudah bagi para calon pemimpin untuk bisa dikenal dan meraih simpati masyarakat luas agar lolos dalam pemilihan. Dukungan dari pihak-pihak tertentu dibutuhkan oleh calon pemimpin untuk mempengaruhi masyarakat dalam memberikan suaranya. Tanpa bantuan pihak-pihak yang berpengaruh hampir dipastikan calon pemimpin dalam sistem Demokrasi akan sulit untuk lolos sebagai calon terpilih. Maka balas budi di kemudian hari seolah hal yang tak terelakan oleh pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi.

Inilah akibat diterapkannya sistem Demokrasi. Keniscayaan adanya politik balas budi menjadikan kepentingan masyarakat bukan lagi menjadi prioritas. Kebijakan yang diambil bukan lagi keputusan yang mandiri. Karena sedikit banyak terpengaruh oleh kepentingan para pendukung maupun pemilik modal. Hal ini dapat merusak tatanan pemerintahan. Posisi-posisi strategis yang seharusnya dipegang oleh orang-orang yang ahli dibidangnya, justru diberikan pada orang-orang yang tak seharusnya.

Berbeda dengan sistem Islam dalam melahirkan pemimpin. Pemimpin dalam Islam dipilih dari kalangan tokoh umat. Umat mengenal mereka karena mereka senantiasa hadir di tengah umat untuk menyelesaikan masalah umat. Sehingga calon pemimpin tidak perlu melakukan kampanye dan pencitraan di tengah-tengah umat. Tidak dibutuhkan pihak-pihak berpengaruh untuk membantu mengumpulkan suara. Sehingga ketika seseorang diberikan amanah sebagai pemimpin, ia akan menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan tuntunan syar’i.

Demikian halnya posisi strategis dalam kenegaraan. Pemimpin dalam posisi strategis diberikan hanya pada ahlinya. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dalam memilih pemimpin.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “jika telah disia-siakan (yakni) amanat maka tunggulah waktunya (menuju kehancuran).” Seseorang berkata, “Bagaimana (maksud) disia-siakan padanya Yaa Rasulullah ?”, beliau bersabda ,”jika ditetapkan suatu urusan kepada selain ahlinya maka tunggulah waktunya (menuju kehancuran).”
Pemimpin yang lahir dalam sistem Islam akan memandang kekuasaan yang diberikan padanya sebagai sebuah amanah. Amanah yang kelak akan dipertanggunhjawabkan di hadapan Allah SWT. Tidak akan ada keinginan menggunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Karena tentu saja, ketakutan terhadap Allah akan mencegahnya dari sikap tidak amanah.
Menurut Syaikh Taqiyudin an Nabhani, setidaknya seorang pejabat negata harus memiliki tiga kriteria. Pertama Al-quwwah (kekuatan), At-taqwa (ketaqwaan), dan Al-rifq bi arra’iyah (lembut terhadap rakyat). Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan aqliyah dan nafsiyah.

Kekuatan aqliyah mampu menjadikan dirinya mengambil keputusan yang tepat. Sedangkan Kekuatan nafsiyah ialah semacam sabar, tidak mudah emosional, tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang bertaqwa akan berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Apakah sesuai dengan syariat atau tidak. Serta akan senantiasa berusaha menerapkan hukum-hukum Allah. Pemimpin yang lemah lembut terhadap rakyatnya, akan semakin dicintai oleh rakyatnya.
Aisyah RA berkata, “saya mendengar Rasulullah berdo’a di rumah ini, “Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia membebaninya, maka bebanilah dirinya. Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurus umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya. (HR. Muslim)
Kriteria seperti inilah yang harus dipenuhi oleh seorang pimimpin. Pemimpin seperti ini tidak lahir dari sistem demokrasi yang meniscayakan politik balas budi. Namun pemimpin seperti ini lahir dari sebuah sistem kehidupan dan kenegaraan yang hanya berlandaskan aqidah Islam.

Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *