Pajak Sembako, Ide Absurd di Tengah Himpitan Ekonomi 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

 

Oleh : Heny Era

 

Rencana pemerintah untuk menambah objek pajak di beberapa komoditi membuat gempar masyarakat, terutama rakyat kecil. Pasalnya penarikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) ini dikenai pada kebutuhan pokok masyarakat secara umum yaitu sembako, termasuk pendidikan sampai biaya melahirkan.

 

Tentu saja wacana ini menuai polemik di masyarakat luas karena hal tersebut merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat, bukan cuma  kalangan atas saja  tapi rakyat miskin juga membutuhkannya.

 

Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Faizal Hafan Farid menolak rencana Pemerintah mengenakan pajak untuk sembilan bahan pokok (sembako) karena akan menambah beban rakyat. (Newsbekasi.id 17/06/2021).

 

Pengenaan pajak ini juga berimbas pada para pedagang sembako, dilansir dari SuaraBekaci.id pedagang sembako di Pasar Baru Bekasi keberatan dengan rencana pemerintah untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako, yang akan dikenakan PPN sebesar 12 persen, hal itu sangat memberatkan bagi pedagang sembako.

 

Sekalipun wacana dan masih berbentuk rencana yang belum disahkan, namun tentu saja hal ini menimbulkan keresahan di kalangan rakyat kecil. Belum lagi gencetan ekonomi dampak pandemi membuat ekonomi terasa semakin sulit, rakyat harus memutar otak hanya untuk sesuap nasi.

 

Kesejahteraan Tidak Berpihak Pada Rakyat

 

Ditengah kepayahan rakyat demi memenuhi kebutuhan ekonomi akibat pandemi, kebocoran data rencana pemerintah menetapkan pajak terhadap beberapa komoditi vital sebagai objek pajak telah sampai kepada publik. Suatu kondisi yang cukup memprihatinkan, karena unsur-unsur yang akan dikenai pajak tersebut adalah kebutuhan paling mendasar bagi masyarakat seperti sembako dan pendidikan. Tak heran praduga masyarakat pun mencuat ke permukaan, menuai anggapan bahwa negara mengalami ambang kebangkrutan.

 

Disisi lain saat rakyat merasakan prihatin terhadap kebutuhan pokoknya, sikap pemerintah justru terlihat condong kepada para konglomerat. Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Faizal Hafan Farid mengungkapkan, belum lama ini pemerintah mengurangi pajak penjualan atas barang mewah, bahkan memangkas pajak pembelian mobil baru sampai nol persen (newsbekasi.id 17/06/2021).

 

Inilah bukti bahwa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukanlah milik rakyat seutuhnya. Penerapan sistem kapitalisme menjadikan pemerintah berpihak pada kaum kapitalis saja. Seakan-akan memberi kesan bahwa peran rakyat adalah sebagai konsumen, penetapan pajak pun diluncurkan demi mendapat keuntungan. Hal ini semakin mempertontonkan drama kebobrokan sistem kapitalisme dan ketidakseriusan negara dalam mengelola kesejahteraan ekonomi yang adil bagi rakyat.

 

Aturan Islam Untuk Kesejahteraan Rakyat

 

Berbeda dengan sistem Islam, yang memandang bahwa pemungutan pajak bagi kebutuhan pokok adalah kezaliman. Pajak bukanlah hal utama, dan tidak bersifat rutin penetapannya. Pajak hanya diambil apabila kondisi kas negara (Baitulmal) mengalami kekosongan.

 

Baitulmal adalah kas negara yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemasukan Baitulmal ada yang bersifat tetap dan tidak tetap. Pemasukan yang bersifat tetap ada tiga yaitu pertama adalah fa’i dan kharaj, fa’i adalah pendapatan negara dari hasil rampasan perang sedangkan kharaj adalah pendapatan dari hasil pengelolaan tanah kharajiyah yang dibebaskan khilafah melalui futuhat (perluasan wilayah). Kedua, kepemilikan umum yang meliputi segala sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh individu manapun salah satunya adalah hasil bumi berupa minyak, tambang emas, batu bara dan lain sebagainya yang dikelola negara untuk kepentingan umat semata, dan tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Yang ketiga pendapatan dari zakat meliputi zakat uang, harta, perdagangan, pertanian, dan peternakan yang besarnya telah ditentukan oleh Syari’at Islam.

 

Sedangkan pemasukan yang tidak tetap diperoleh dari pajak, yang dalam islam dikenal dengan nama dharibah. Akan tetapi penerapannya sangat berbeda secara diametral dengan sistem sekular kapitalisme. Pajak dalam Islam tidak akan dikenakan pada seluruh warga negaranya, ia diwajibkan hanya terhadap kaum muslim yang kaya saja.  Untuk yang kurang mampu tidak diambil pajak darinya.

 

Namun penarikan pajak dalam negara islam sangatlah minim dilakukan, karena mekanisme yang diambil membuat kas negara selalu tercukupi. Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah pada masa kejayaan kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah satu khalifah dari Dinasti Umayyah. Saat itu Baitul mal mencapai surplus atau kelebihan dana. Pengeluarannya yang diperuntukkan bagi kaum yang memerlukan sangat sulit ditemukan.  Orang-orang yang berhak menerima zakat pun sulit didapati. Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat itu, telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan dan semua kebutuhan pokok rakyatnya terpenuhi.

 

Itulah Islam dengan aturannya yang sempurna, memberikan solusi permasalahan manusia secara paripurna. Sistem yang mengatur seluruh hajat hidup orang banyak, yang mampu memberikan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.

Wallahua’lam bishawab.[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *