Nilai Impor Indonesia Mengalami Peningkatan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Aziz (Ibu Rumah Tangga)

 

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Syailendra mengatakan industri peternakan ayam lokal harus segera berbenah untuk mengatasi persoalan biaya produksi yang masih relatif mahal. Menurut Syailendra kehadiran daging ayam impor, terutama dari Brasil sudah semakin dekat dan berpotensi mengalahkan daging ayam dalam negeri yang tak mampu bersaing. “Kalau tidak meningkatkan daya saing seperti disampaikan tadi, ini Brasil sudah di depan mata,” ucap Syailendra dalam diskusi virtual bertajuk ‘Harga Jagung Melambung’, Selasa (20/4/2021). Syailendra mengatakan daging ayam impor dari Brasil seharusnya sudah masuk dalam waktu dekat, tetapi tertunda karena Indonesia masih mengupayakan banding. Sayangnya, Syailendra tak begitu yakin bila banding akan membuahkan hasil signifikan. Ia bilang, “Tapi kalau melihat tren, ini akan kalah tetap pak. ini hanya soal mengulur waktu saja. Kita tidak tahu apakah mampu mengulur waktu dalam setahun, satu setengah atau dua tahun tetapi daging ayam yang murah akan masuk.” Kondisi dalam negeri, kata Syailendra masih jauh dari siap untuk menghadapi daging ayam impor yang cukup murah hingga bisa dibandrol dengan harga Rp14.000/kg. Ia mencontohkan harga ayam di Indonesia saat ini malah cukup mahal bahkan berada di kisaran Rp30.000-44.000/kg lantaran harga pokok produksi yang terus naik. Salah satu kenaikan terbesar dirasakan pada biaya pakan yang menyumbang 66% biaya pokok produksi daging ayam. Kenaikan harga pakan ini tak lepas dari lonjakan harga jagung yang berkontribusi pada 45-50% bahan baku pakan. Ia mencatat kenaikan harga jagung sudah hampir mencapai 30% dari kisaran Rp4.200/kg. (Tirto.id)

 

Sementara persentase nilai impor menurut penggunaan barang masih didominasi oleh bahan baku atau penolong. Diikuti barang modal dan barang konsumsi. Artinya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif pun, rezim pemerintahan negeri ini membangun ketergantungan kepada negara lain. Bukan membangun kemandirian.

 

Jargon ekonomi kerakyatan, ekonomi pancasila, dan semacamnya terbantahkan oleh fakta implementatif berjalannya ekonomi neoliberalisme di negeri ini. Kebijakan impor ini tak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang diambil rezim. Ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsip dasarnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi.

 

Ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk perjanjian perdagangan bebas.

 

Berbagai bentuk perjanjian perdagangan bebas tersebut dipaksakan melalui lembaga dunia- World Trade Organization (WTO). Sejak WTO digagas di Peru tahun 1994, dominasi AS dan Uni Eropa nampak dominan dalam setiap pengambilan keputusan WTO.

 

Masih tingginya dukungan dari negara maju dan kuatnya tekanan kepada negara berkembang untuk membuka pasar membuat negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian harus menghadapi pertarungan yang tidak jelas dengan negara maju.

 

Institusi tersebut telah memaksa negara-negara miskin untuk membuka pasar mereka sebelum produsen lokal memiliki kapasitas untuk berkompetisi. Konsekuensinya kekuatan ekonomi yang timpang antarnegara maju dan negara-negara berkembang dan miskin yang tergabung dalam WTO didorong untuk beradu dalam ring pasar bebas. Ibarat petinju kelas berat yang berhadapan dengan petinju kelas bulu, negara-negara maju dengan mudah menganvaskan negara berkembang ke sudut ring.

 

Menurut Abdul Qadir Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas dari negara-negara berkembang.

 

Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat struktur perekonomian negara-negara berkembang sangat sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.

 

Ekonomi Mandiri dengan Syariah Kaffah

Sebagaimana negara berkembang lainnya, tsunami impor akan terus menggerus negeri ini selama rezim tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neolib. Untuk menghentikannya dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang prokapitalis.

 

Khilafah Menjamin Ketahanan Keluarga

Kenapa ekonomi syariah? Karena ekonomi syariat bebas kepentingan manusia dan terbukti 1.300 tahun lebih berhasil meratakan kesejahteraan, adil, dan stabil. Ekonomi syariah bukan hanya bermakna pengaturan financing dan semacamnya, tapi berupa pengaturan makro dan mikro ekonomi yang mengacu kepada syariat Islam. Syariat kafah ini hanya bisa diterapkan dalam bingkai Negara Khilafah Islam.

 

Dalam ekonomi syariah, kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Di dalamnya praktik jual-beli (buyû) dengan berbagai bentuk dan derivasinya dilakukan. Karena itu, hukum asal perdagangan, baik domestik maupun luar negeri adalah mubah sebagaimana hukum umum perdagangan.

 

Hanya saja, ada perbedaan fakta antara perdagangan domestik dengan perdagangan luar negeri. Karena Khilafah adalah negara yang menerapkan hukum Islam, baik ke dalam maupun ke luar, maka perdagangan luar negeri ini pun harus diatur dengan hukum Islam.

 

Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan.

 

Adapun terkait dengan status halal dan haram, sepenuhnya juga tergantung pada pengaturan syariat. Impor daging dan produk terkait, misalnya. Daging hewan yang diimpor terkait dengan barang sembelihan (dzabîha).

 

Kriteria penyembelihan penting diperhatikan, karena ini menentukan status hukum kehalalannya. Jika tidak bisa dipastikan, maka daging tersebut tidak boleh diperjualbelikan, termasuk diimpor ke wilayah Negara Khilafah.

 

Karena alasan syubhat, Khilafah bisa melarang impor daging ini. Jika barang syubhat ini sudah masuk di wilayah Negara Khilafah, maka qadhi hisbah, harus menghentikan distribusi dan konsumsi daging seperti ini.

 

Qadhi hisbah juga bisa mengusut dari mana sumber distribusinya. Tindakan ini harus dilakukan karena Islam menetapkan standar halal-haram terhadap barang dan jasa yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi di tengah-tengah masyarakat. Jika terbukti haram atau setidaknya syubhat, maka tidak boleh diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi.

 

Adapun terkait dengan praktik makelar (samsarah), di mana makelar ini bekerja menghubungkan perusahaan importir dengan pembuat kebijakan, yang dengannya makelar tersebut mendapatkan fee (komisi), hal ini menyalahi hukum Islam.

 

Dari sini tergambar jelas begitu sempurna dan utuhnya pengaturan negara khilafah dalam aspek perdagangan luar negerinya. Negara bervisi besar dan lengkapnya pengaturan yang digali dari Alquran dan Sunah ini pasti mampu mengatasi karut marut yang biasa terjadi pada urusan ekspor impor.

 

Hanya negara khilafah yang mampu menghadapi secara berimbang kepongahan negara-negara industri hari ini. Khilafah tak akan mungkin bisa dikendalikan oleh negara lain atau kesepakatan bathil karena haram hukumnya tunduk pada kesepakatan asing.

 

Sebagaimana firman Allah Swt., “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS Al-Nisâ’ ayat141).

 

Keterikatan pada syariat Islam kaffahlah yang mampu menjamin stabilitas ekonomi. Dijamin tak akan terjadi tsunami impor macam hari ini. Hadirnya kekuatan besar ini makin kuat dirasakan seiring dengan makin tampaknya kebobrokan sistem ekonomi kapitalis liberal.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *