Ngotot Pilkada, Rakyat Bertaruh Nyawa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Tsani Tsabita Farouq
(Aktivis Dakwah Smart With Islam)

Di tengah lonjakan kasus Covid-19, pemerintah ngotot gelar pilkada serentak 9 desember 2020. Padahal jumlah kasus harian meningkat tajam, mencapai 587.000 kasus dan korban yang meninggal mencapai 18.000 orang.

Dikutip dari darabandung.co.id (4/12/2020), meskipun kasus positif Covid-19 terus bertambah, namun perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di Kabupaten Bandung tetap berjalan.

Dengan adanya berita peningkatan kasus pandemi tersebut, nyatanya tidak menyulutkan langkah presiden untuk membatalkan Pilkada serentak 2020.

Telah menjadi rahasia umum, bahwa pilkada dan pemilu menguras biaya mahal. Politik uang menjadi keharusan agar dapat menang dalam pertarungan di pemilu ini. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mengatakan “Anggaran Pilkada yang semula dialokasikan Rp 15,23 triliun dan didanai APBD, naik menjadi Rp. 20,45 trilliun akibat adanya kebutuhan protokol kesehatan.”

Sugguh miris. Anggaran sebesar ini seharusnya dipakai untuk kebutuhan rakyat di tengah kesulitan pandemi, bukan malah melakukan pesta demokrasi. Disisi lain, perhelatan pilkada berpotensi menyebarkan klaster baru penyebaran Covid-19. Bagaimanapun upaya pemerintah menjalankan protokol kesehatan, tetapi ada ribuan titik kumpul masa baik persiapan pra kampanye, masa pencoblosan, hingga pada masa perhitungan suara.

Faktanya, sebanyak 1.500 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Kabupaten Bandung dinyatakan reaktif usai menjalani tes rapid. Hasil tersebut didapatkan dari tes rapid yang dilakukan kepada 61.866 petugas KPPS jelang pemungutan dan penghitungan suara Pillbup Bandung pada 9 Desember 2020.
“Hasil rapid ini kita sedang menunggu hasil rekapnya, memang ada sekitar 1.500-an kalau tidak salah yang reaktif,” ujar Ketua KPU Kabupaten Bandung, Agus Baroya. (detiknews.com, 3/12/2020)

Pemerintah dengan tega mengorbankan nyawa rakyat demi menjaga kursi kekuasaan mereka. Pilkada selalu menjadi momentum untuk memanaskan mesin politik agar mendorong kadernya menduduki kursi kekuasaan. Selalu saja rakyat yang menjadi tumbal kerakusan para penguasa.

Sesungguhnya realitas ini merupakan tabiat bobroknya sistem demokrasi yang dianut di negeri ini. Demokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh akal manusia yang lemah. Terpancar dari asas yang diembannya, yaitu memisahan aturan agama dari kehidupan. Maka konsekuensinya, agama tidak boleh terlibat dalam urusan negara. Kedaulatan rakyat ditempatkan diatas segalanya, maka yang berhak menetapkan benar dan salah, terpuji dan tercela adalah dari manusia itu sendiri, kemudian keputusan terakhir pun diambil dari suara mayoritas di parlemen tanpa peduli lagi tentang halal haram.

Maka tak heran jika peraturan yang dikeluarkan oleh sistem demokrasi selalu saja menyengsarakan dan menimbulkan kerusakan. Mau berganti rezim hingga beberapa kalipun tak akan mampu menghasilkan peraturan yang baik apalagi berkah. Sebab kesalahannya bukan dari siapa yang berkuasa tetapi sistem demokrasi itulah yang menjadi biang kerok kerusakan negeri ini.

Masihkah kita mempertahankan sistem demokrasi yang tidak manusiawi ini?

Padahal, sistem Islam lah yang seharusnya kita upayakan dengan daya upaya karena sistem ini berasal dari Allah Swt. Dimana Allah Swt. telah menjamin adanya keberkahan dan ketentraman jika Islam diterapkan secara sempurna di seluruh aspek kehidupan.

Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *