Natuna, Kedaulatan Negara Lemah China Kembali Berulah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Juriah Zain

 

Natuna, ibarat taman bunga kaya nektar, indah dipandang dan harum nektar dari bunga-bunga tersebut seolah menarik semua lebah untuk mendatanginya. Setiap hari Natuna dilewati sekitar 1.000 kapal asing. Hal ini karena laut Natuna menyimpan beragam potensi hasil laut, dimana hasil laut tersebut merupakan komoditas andalan masyarakat disekitar Natuna. Di tahun 2019 hasil tangkapan ikan di sana mencapai 100 ribu ton lebih, tepatnya 104.879,82 ton. Mulai dari cumi-cumi yang jumlahmya mencapai 20.289,52 ton. Kemudian diikuti ikan kerapu sebesar 5.791 ton dan ikan kurisi sejumlah 5.154,55 ton. (detikfinance, 20/9/2021).

Selain kaya sumber daya perikanan dan alamnya yang indah, perairan natuna juga menyimpan “harta karun” terpendam. Dilansir dari Harian Kompas (23/7/2016), laut Natuna memiliki cadangan minyak dan gas (migas) yang sangat besar. Salah satu blok migas di Natuna yang cadangannya sangat besar adalah lapangan gas Natuna D-Alpha dan lapangan gas Dara.

Survei seismik laut berhasil menemukan cadangan migas terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia dengan cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas 25 x 15 km2 serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter (kompas.com, 4/1/2020).

China pun tergoda  “manisnya” nektar di hamparan Natuna, berniat menguasai dengan mengklaim perairan Natuna masuk wilayahnya. Bahkan baru-baru ini negara tirai bambu itu menuntut Indonesia untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim Kepulauan Natuna.

Adapun penolakan Pemerintah Cina itu  disampaikan dalam nota diplomatik dengan alasan, Indonesia melakukan pengeboran di wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari hak bersejarahnya.

Seperti dilansir The Star, Kamis (2/12/2021) bahwa nota protes Cina sudah dikirim sejak beberapa bulan lalu, saat kapal penelitiannya melintasi bagian Laut Cina Selatan yang menurut Indonesia adalah bagian dari zona ekonomi eksklusifnya di lepas pantai Kepulauan Natuna.

Sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line / NDL) menjadi dasar bagi Cina untuk menguasai Natuna. NDL merupakan garis yang dibuat sepihak oleh Cina tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

UNCLOS 1982 memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Meski Cina juga merupakan anggota UNCLOS, negara itu tidak mengakui ZEE di Laut Cina Selatan. Sikap ini menunjukkan arogansi Cina terhadap Indonesia.

Muhammad Farhan seorang anggota Komisi Keamanan Nasional DPR RI menyatakan bahwa Cina berargumen tentang lokasi pengeboran melanggar batas Nine-Dash Line, hal itu merujuk pada jalur yang digunakan Cina untuk mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan.

“Tentu saja pemerintah Indonesia menolak klaim itu karena kami berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut,” ucap Farhan. (Bisnis.Com 2/12/2021 ).

Cina melakukan invasi beruntun, bukan hanya kali ini saja,Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sekelompok kapal ikan milik Cina menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari tahun 2016 bulan Februari-Maret, lalu pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2019. Dengan demikian Cina semakin menunjukan kekuatan hegemoninya untuk menaklukan wilayah Indonesia bahkan Asia.

Sikap Cina yang sudah sejak lama mengeksploitasi perairan Natuna mengindikasikan kelemahan kedaulatan negara. Negara seolah gamang bersikap tentang masalah ini untuk menghindari konflik dan pertengkaran diplomatik. Sebab bagi pemerintahan Cina, Indonesia lunak dalam negosiasi dan senantiasa membutuhkan bantuan Cina sebagai mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi terbesar kedua.

Hal tersebut tercermin dari pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo, “Ya saya kira kita harus selesaikan dengan baik. Bagaimanapun Cina adalah negara sahabat.” (CNBC Indonesia, 3/1/2020).

Juga pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, “Sebenarnya enggak usah dibesar-besarin lah. Kalau soal kehadiran kapal itu, sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE kita itu. Sekarang memang coast guard kita itu.” (Tempo.co,5/1/2020).

Publik pun menduga pemerintah tersandera investasi Cina di Indonesia sehingga tak bersikap tegas. Seharusnya Indonesia bersikap gahar, karena kedaulatan negeri dipertaruhkan.

Lemahnya visi dalam membangun pertahanan negara dan kekeliruan dalam mendefinisikan “ancaman” atas kedaulatan, inilah yang membuat Indonesia lemah dalam mempertahankan batas teritorialnya dan tidak berdaya menghadapi kekutan negara lain seperti Cina.

Islam mewajibkan kaum muslimin untuk menjaga batas-batas negaranya dari serangan musuh. “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran: 200)

Bahkan, umat Islam wajib menjadikannya jihad amal yang utama dan agung. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Menjaga wilayah perbatasan satu hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia serta isinya.”

Kewajiban ini dilakukan oleh kaum muslimin dibawah pemerintahan Islam Khilafah Islamiyah sebagai cara untuk  merealisasikan kedaulatan dan kemandirian pertahahan dan keamanan negara. Dengan menempatkan pasukan yang andal sekaligus manuver militer yang bergigi sehingga musuh menjadi gentar.

Khalifah juga melarang setiap muslim, partai politik, atau organisasi menjalin hubungan dengan negara asing. Hanya Khilafah yang boleh melakukan hubungan luar negeri,  itu pun harus berdasarkan syariat Islam. Begitupun terkait pelanggaran kriminal berbagai negara Khilafah tak tinggal diam, dengan berani Khilafah akan mengungkap kejahatan dan bahaya politik yang dilakukan negara lain seperti Cina.

Semua itu mampu dilaksanakan karena dasar utama politik luar negeri Khilafah adalah jihad fi sabilillah.  Semangat membela negeri Islam yang lahir dari perintah jihad akan menjadi kekuatan yang arogan di depan musuh yang mengancam Islam dan negara serta mengembalikan haibah kaum muslimin.

Melalui jihad sebagai aktivitas utama, supremasi Khilafah mampu menghalau semua gangguan yang mengancam, sebagaimana Khalifah Salim II—pengganti Khalifah Sulaiman al-Qanuni—mengabulkan permohonan Sultan Aceh Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (berkuasa pada 1537—1571) dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh sebagai tanggung jawabnya melindungi negeri-negeri Islam.

Kala itu, Panglima Kurdoglu Hizir Reis dari Alexandria, Mesir, memimpin armada Khilafah Utsmaniyah demi memerangi kaum kafir Portugis di Malaka pada 20 Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 Jannisaries Utsmaniyah, dan 200 meriam perunggu.

Inilah wujud hakiki yang dibutuhkan negeri Muslim mana pun, sehingga mampu membebaskan mereka dari jenis-jenis penjajahan dan ancaman dari negara asing. Mempertahankan hak miliknya hingga titik darah penghabisan melalui jihad fi sabilillah.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *