Oleh : Yani Rusliani
Pendidik Generasi dan Pengemban Dakwah
Baru-baru ini Menkeu Sri Mulyani kembali meraih penghargaan sebagai Finance Minister Of The Year for East Asia Pasific. Ini merupakan penghargaan kedua yang diterima Sri Mulyani dari Global Market setelah terakhir di tahun 2018 memperoleh penghargaan serupa.
Menurut Global Market, Sri Mulyani layak mendapatkan penghargaan tersebut atas prestasinya dalam menangani ekonomi Indonesia di masa pandemi (Covid-19). Selain itu keputusan untuk memperlebar defisit melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan langkah yang tidak mudah dilakukan, juga menjadi alasan lain Sri Mulyani memperoleh penghargaan bergengsi tersebut. (trbunpalu.com, 17/10/2020).
Tentu saja, penghargaan yang diberikan kepada menteri keuangan tersebut banyak menuai pro dan kontra. Pasalnya, kondisi perekonomian Indonesia sedang berada di tengah guncangan hebat. Tata kelola dan solusi yang amburadul menjadikan kondisi saat ini menjadi kondisi terburuk sepanjang sejarah negeri ini.
Menurut Sri Mulyani, utang Indonesia yang sudah mencapai ribuan triliun itu merupakan warisan Belanda. Sehingga Belanda yang menjajah selama 3,5 abad itu tidak hanya memberi warisan ekonomi yang rusak tetapi juga utang.
Pernyataan menkeu Sri Mulyani itu cukup menggelitik. Pasalnya kecenderungan utang luar negeri Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya, pemerintah dalam hal ini menteri keuangan sebagai eksekutor menjadikan utang sebagai agenda rutin dalam pembangunan ekonominya. Alhasil, ketergantungan Indonesia kepada utang dan investor asing semakin tinggi. Hal ini akan mengakibatkan sejumlah kebijakan disetir oleh investor asing.
Berbicara utang luar negeri tak bisa dipisahkan dari politik luar negeri suatu negara. Utang tanpa riba dalam syariat Islam, boleh hukumnya. Namun jika masalah utang luar negeri yang merupakan kebijakan suatu negara, maka harus memperhatikan kedaulatan negaranya atas semua kebijakan yang dilakukan.
Sistem keuangan negara berdasarkan syariat Islam disebut baitulmal.
Ada 3 pos pendapatan yang sangat besar, bukan bersumber dari pajak dan juga utang sebagaimana kondisi keuangan negara kapitalis liberal.
Pertama, pos fa’i dan kharaj. Meliputi harta yang tergolong fa’i bagi seluruh kaum muslim dan pemasukan dari sektor pajak (dharibah) yang diwajibkan bagi kaum muslim ketika sumber-sumber pemasukan baitumal tidak mencukupi.
Kedua, pos pemilikan umum. Meliputi sumber daya alam yang melimpah digolongkan menjadi kepemilikan umum, bukan milik negara dan tidak boleh diprivatisasi. Hasilnya pun diperuntukkan bagi kemaslahatan umat.
Ketiga, pos sedekah. Pos ini menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan.
Sungguh jika negeri ini bebas dari jeratan ekonomi kapitalis liberal dalam pembiayaan pembangunannya, lalu beralih menggunakan sistem keuangan Islam baitulmal, Insya Allah negeri ini akan terbebas dari intervensi asing yang terbukti mendzalimi umat.
Wallahu’alam bi shawab.