Minimnya Perlindungan, Eksploitasi ABK Terus Berulang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nurul Aqidah (Anggota Komunitas Aktif Menulis, Bogor)

Setelah sebelumnya tedapat kasus pelarungan jenazah Anak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) dari kapal pencari ikan China menjadi berita viral dan trending. Saat ini ramai diberitakan kembali dua orang ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan China, terjun ke laut demi melarikan diri. Mereka mengaku tak kuat bekerja, lantaran kerap mendapatkan kekerasan fisik. Agar tak ketahuan, mereka kabur saat jam makan. Salah satu ABK kapal, Andry Juniansyah menyebut, dirinya sudah berada di kapal tersebut selama 5 bulan. Saat berusaha kabur dari kapal, Andry menyebut, ia dibantu oleh beberapa orang kru Indonesia. Sebelum terjun ke laut, mereka membawa perbekalan makanan untuk bertahan hidup. Beruntung, mereka ditemukan oleh nelayan dan kemudian diselamatkan. Saat sampai di wilayah Tanjung Balai Karimun, kesehatan mereka diperiksa oleh tim Gugus Tugas Covid-19 (www.kompas.tv, 7/6/2020).

Senada dengan berita di atas, lembaga Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengatakan ada dua ABK harus melompat ke laut karena tidak tahan dengan kerja paksa mirip perbudakan di kapal ikan berbendera China. Koordinator DFW Indonesia Muh Abdi Suhufan, di Jakarta, Senin 8 Juni 2020, mengatakan berdasar data yang dihimpun, laporan terbaru menyebutkan pada Jumat (5/6), dua orang awak kapal perikanan Indonesia atas nama Reynalfi dan Andri Juniansyah melompat dari kapal ikan China Lu Qian Yua Yu 901 saat kapal melintasi Selat Malaka. Mereka melompat karena tidak tahan dengan perlakuan dan kondisi kerja di atas kapal yang sering mendapatkan intimidasi, kekerasan fisik dari kapten dan sesama ABK asal China. Setelah mengapung selama tujuh jam di laut Selat Malaka, mereka akhirnya ditolong nelayan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau.

Koordinator Nasional DFW Indonesia itu juga mengatakan bahwa kejadian ini merupakan insiden ke 6 dalam kurun waktu 8 bulan ini. Dalam periode November-Juni 2020 tercatat 30 orang awak kapal Indonesia yang menjadi korban kekerasan dalam bekerja di kapal China dengan rincian 7 orang meninggal, 3 orang hilang dan 20 orang selamat. Menurut Abdi, dalam kasus yang menimpa Andri Juniansyah dan Reynalfi berdasarkan hasil screening yang dilakukan oleh Fisher Centre Bitung terhadap aduan yang disampaikan keluarga korban, bahwa sejak bekerja 5 bulan lalu, mereka tidak pernah menerima gaji. Sejak berangkat tanggal 24 Januari 2020, mereka tidak pernah menerima upah dari perusahaan perekrut dan bahkan mengalami tindak kekerasan fisik dan intimidasi di atas kapal (tribunmanado.co.id, 8/6/2020).

Lemahnya Peran Negara

Banyak laporan menyebutkan bahwa kapal-kapal China memperlakukan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan cara tidak manusiawi. Ada dugaan telah terjadi perbudakan modern di kapal nelayan asal China terhadap sejumlah tenaga kerja asal Indonesia. Pihak Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bahkan tak ragu menyebut apa yang terjadi di kapal itu sebagai perbudakan, pelanggaran HAM berat.

Pengacara dari lembaga non-pemerintah yang mengadvokasi para ABK WNI, yakni Advokat untuk Kepentingan Publik (APIL), menyebut ini hanyalah pucuk gunung es dari pelanggaran HAM. Sedangkan Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF) menduga awak senior kapal telah melakukan kekerasan fisik setidaknya kepada ABK asal Indonesia. Mereka bekerja 18 jam sehari, dan pada keadaan tertentu bisa bekerja dua hari tanpa istirahat. MBC News menyampaikan dalam liputan eksklusifnya, salah satu ABK mengaku bekerja 30 jam dan hanya boleh istirahat setiap 6 jam sekali. Selain itu, gaji yang diterima ABK WNI sangat kecil. Ditambah lagi ada dugaan diskriminasi. ABK WNI tidak diberi air minum selayaknya ABK China. ABK Indonesia disuruh minum air laut yang telah melalui proses penyaringan, namun efeknya membuat pusing kepala dan memunculkan dahak dari tenggorokan. Sedangkan ABK China bisa minum air mineral kemasan botol.

Ketika ada ABK yang sakit, kapten kapal dilaporkan menolak untuk sandar ke pelabuhan supaya para WNI mendapat pertolongan medis (m.detik.com, 8/5/2020).

Berbagai kasus yang menimpa ABK di kapal China hanya menambah rentetan minimnya perlindungan negara terhadap warga yang mencari nafkah di negeri orang karena kesulitan mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri. Padahal mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa, namun perlindungan terhadap TKI dirasa masih sangat kurang. Negara masih sangat sulit memberikan perlindungan dan pembelaan kepada para TKI, termasuk pada ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal milik perusahaan asal China. Lemahnya pengawasan dan kebijakan pemerintah mengenai pekerja migran, semakin mempermudah praktik eksploitasi buruh oleh majikan.

Pemerintah seharusnya membuat aturan dan pengawasan ketat terhadap perusahaan atau agen yang melayani pengiriman pekerja migran ke luar negeri. Perlu ada sanksi yang tegas dan berefek jera terhadap perusahaan yang melakukan eksploitasi dan tidak memberikan hak terhadap pekerjanya. Adapun dari sisi tenaga kerja, pemerintah semestinya juga berperan dalam memberi pelatihan dan pembekalan dasar bagi pekerja.

Tujuannya, agar mereka memiliki kompetensi yang mahir dalam mengarungi pekerjaan yang akan mereka lakukan. Bukan berbekal nekat atau minim kemampuan dan pengalaman.

Fakta perbudakan modern atau eksploitasi manusia yang masih terus terjadi hingga kini, tentunya diakibatkan oleh sistem kapitalisme yang dianut sebagian besar negara.

Sistem yang hanya mengutamakan keuntungan belaka. Sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia hanya untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal (perusahaan atau perorangan). Buruh atau pekerja tidak memiliki hak apapun atas nilai lebih yang dihasilkannya.

Islam Solusi Terbaik

Adapun dalam sistem Islam, mewajibkan kepala negara untuk melindungi rakyatnya dimanapun berada. Sebagaimana hadits Rasulullah saw. yang mengatakan, “Sesungguhnya imam/kepala negara itu adalah perisai, orang berperang dibaliknya dan berlindung menggunakannya.” (HR. Muslim)

Sehingga ketika ada dugaan perbudakan atau eksploitasi yang terjadi, maka negara akan menjadi garda terdepan dalam melindungi rakyatnya. Sejarah Islam mencatat pembelaan Khalifah Mu’tashim Billah terhadap seorang muslimah yang dirusak kehormatannya oleh Gubernur Amuria di wilayah Romawi. Saat itu pasukan Islam dikerahkan untuk menggempur Amuria dan mereka berhasil menaklukkannya.

Bagaimanapun, Islam melarang praktik eksploitasi buruh oleh majikan. Islam memandang baik buruh maupun majikan sama-sama tidak diistimewakan. Keduanya tetap berkedudukan sebagai makhluk yang berhak memperoleh rezeki dari Allah Swt. sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Islam memerintahkan sikap peduli dan tolong menolong (ta’awun) artinya tidak dirugikan juga tidak merugikan orang lain. Sejatinya apa-apa yang kita miliki di dunia, baik itu yang berbentuk wujud jasmani hingga materi, semata-mata adalah titipan Allah Swt. yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Islam memiliki seperangkat solusi yang lengkap. Tenaga kerja tak akan diperbudak sedemikian rupa. Apa yang menjadi kewajiban harus segera ditunaikan. Dan apa yang menjadi hak pekerja harus direalisasikan. Sebab, Islam melarang Erbakan sebagaimana Islam juga melarang menahan gaji pekerja. Rasulullah saw bersabda, “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah)

Lebih dari itu, Islam memandang nyawa seorang manusia jauh lebih bernilai dari seluruh isi dunia. Sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. An-Nasa’i)

Oleh karenanya, tatkala semua aturan Islam diterapkan dalam bernegara maka tidak akan ada lagi nasib-nasib tragis seperti eksploitasi atau perbudakan modern yang terjadi pada pekerja yang mungkin bisa berujung pada kematian.
Wallahu’alam bisshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *