Menyorot Agenda Terselubung di Balik Narasi “A New Normal Life”

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Zayyan

Kompas.com pada Senin, 18 Mei 2020 memberitakan bahwa Presiden Joko Widodo meminta masyarakat bersiap untuk menghadapi era normal baru. “Bapak Presiden menekankan pentingnya kita harus bersiap siaga untuk menghadapi era normal baru, kehidupan normal baru,” kata Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy usai rapat dengan Presiden, Senin (18/5/2020).

Sebelumnya dilansir oleh CNBC Indonesia (20 April 2020) – Para pengusaha yang terhimpun dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memperkirakan kemampuan arus kas atau cashflow dunia hanya bisa bertahan hingga Juni 2020. Dampak pandemi Covid-19 hanya memungkinkan dunia usaha sanggup menyediakan arus kas hanya tiga bulan di tengah bisnis tanpa pemasukan.

Inilah rupanya rahasia di balik kebijakan plinplan penguasa. Mereka takut dengan ‘ancaman’ pengusaha yang sudah memberi ‘sedekah’ politik bagi kekuasannya. Inilah kapitalisme sejati, penguasa tidak memikirkan keselamatan rakyat tapi kepentingan para kapitalis yang telah menguntungkan mereka. Kekuasaan mereka selama ini tegak di atas satu kepentingan, yaitu melanggengkan sekularisme dan hegemoni liberalisme kapitalisme global. Rumah ibadah minta dikosongkan, tapi mal-mal dibiarkan ramai. Kebijakan mudik pun tak serius ditegakkan hingga lalu lintas orang tak bisa dikendalikan.

Bisa dibayangkan, saat wabah tetap dianggap bencana, maka rakyat harus ada di bawah tanggung jawab mereka. Sementara semua sumberdaya sudah nyaris tak ada. Sampai-sampai menteri keuangan “terbaik sedunia” pun begitu kebingungan mengatur anggaran negara. Berkali-kali mengambil jalan pintas membebani rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tak pantas.

Maka tak heran, jika bagi para penguasa, “berdamai dengan corona” menjadi pilihan “terbaik” di tengah rasa putus asa atas ketidakmampuan memberi jalan keluar. Dalihnya, wabah corona adalah wabah tak biasa. Dia merebak sejalan dengan pergerakan manusia. Maka apa boleh buat, kita harus berdamai, bahkan bersahabat dengan corona.

Bila dikaitkan dengan pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya, sepertinya era normal baru (new normal) ini adalah bentuk cara berdamai dengan virus corona. Dalam bahasa lain, setiap orang dipaksa beradaptasi dengan covid-19 yang terus menginfeksi dan bermutasi.

Sebagai tahap awal adalah proses pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang akan semakin diperluas. Hal ini sangat berbahaya, terutama untuk kelompok rentan di tengah Indonesia tidak memiliki peta yang jelas terkait dengan penyebaran Covid-19.

Era normal baru hanya akan menambah penyebaran Covid-19 lebih luas. Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, Indonesia harus bersiap menghadapi pandemi Covid-19 gelombang kedua jika pemerintah menerapkan era normal baru saat angka penularan virus corona masih tinggi. Efek lanjutannya tentu adalah beban sangat berat untuk tenaga kesehatan. Kondisi saat ini beban tugas tenaga kesehatan sudah berat dengan keterbatasan APD dan fasilitas rumah sakit, apalagi era normal baru tentu beban tugas dari tenaga kesehatan semakin tak terbayang. (Kompas.com)
Wabah corona memang telah memberi kita banyak pelajaran. Salah satunya bahwa kekuasaan yang tak berbasis pada akidah Islam hanya akan melahirkan kefasadan. Bahkan kefasadan yang jauh di luar nalar.

Berbeda jauh dengan kekuasaan yang tegak di atas landasan iman. Kekuasaan Islam telah terbukti membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam. Karena sistem hidup yang diterapkannya berasal dari Sang Maha Pencipta Kehidupan, sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al A’raf : 96

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Kekuasaan Islam yang disebut sebagai Khilafah, senantiasa menempatkan urusan umat sebagai urusan utama. Harta, kehormatan, akal, dan nyawa rakyatnya dipandang begitu berharga. Pencederaan terhadap salah satu di antaranya, dipandang sebagai pencederaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena semuanya adalah jaminan dari penegakan hukum syara’.
Itulah yang sempat digambarkan sejarawan Will Durant secara jelas dan lugas dalam bukunya:

“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka.“ Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya adalah al-Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. (Will Durant – The Story of Civilization).

Maka alangkah naif, jika umat Islam hari ini masih belum sadar juga dari tidur panjangnya. Berlama-lama mengharap sistem kapitalisme ini akan memberi kebaikan pada mereka. Padahal berbagai bukti bertebaran di depan mata, bahwa sistem ini jelas-jelas hanya menempatkan maslahat umat sebagai ladang untuk mencari keuntungan semata.

Bahkan sekularisme yang menjadi asasnya telah menjadikan negara dan rezim penguasanya kehilangan rasa welas. Hingga tega menempatkan rakyat hanya sebagai objek pemerasan dan seolah nyawa pun siap “diperdagangkan”.

Sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem Islam, dimana negara dan penguasanya siap menjalankan amanah sebagai pengurus dan perisai umat dengan akidah dan syariat. Hingga kehidupan akan kembali dilingkupi keberkahan dan kemuliaan. Sebagaimana Allah SWT telah memberi mereka predikat bergengsi, sebagai sebaik-baik umat.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *