Menyoal Korupsi Minyak Goreng 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Menyoal Korupsi Minyak Goreng 

 

Oleh Apt. Marlina, S.Farm

(Pegiat Literasi)

Kasus korupsi minyak goreng sejatinya sudah lama terjadi, tepatnya sejak 2021 hingga 2022. Namun penetapan tersangka kasus ini baru saja ditetapkan oleh pemerintah pada 4 Januari .Kasus korupsi ini ternyata tidak hanya melibatkan tiga koorporasi besar, namun juga melibatkan lima pejabat.

Dilansir dari CNBCIndonesia.co.id (16/06/2023), Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga perusahaan minyak sawit sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi minyak goreng (Migor). Ketiga perusahaan tersebut adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group. Ketiga perusahaan ini telah membuat rugi negara sebesar Rp 6,67 Triliun.

Kasus korupsi minyak goreng yang terjadi dalam negeri ini membuktikan betapa rusaknya para pejabat dan pengusaha oligarki. Kasus ini mulai muncul pada tahun 2021 lalu. Dimana pada tahun tersebut telah terjadi kenaikan harga minyak goreng. Pada saat bersamaan, pemerintah juga memberlakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi kasus ini, salah satunya wajib pemenuhan domestik (Domestik Market Obligation/DMO) bagi eksportir minyak sawit.

Namun pemenuhan domestik ini tidak memenuhi syarat dikarenakan dalam pelaksanaan ekspor minyak kelapa sawit oleh eksportir tidak memenuhi DPO dan eksportir tetap mendapatkan persetujuan dari pemerintah.

Eksportir telah mendistribusikan CPO dam RBD Olein dengan harga tidak sesuai dengan standar harga penjualan dalam negeri (DPO). Hal inilah yang menyebabkan kelangkaan dan kemahalan minyak goreng dalam negeri. Untuk menangani hal tersebut, negara terpaksa memberi bantuan dana langsung kepada masyarakat sebanyak Rp 6,19 triliun.

Pandangan Islam

Dalam Islam, setiap pemikiran dan perbuatan yang dilakukan harus sejalan dengan perintah dan larangan Allah SWT, agar mendapatkam RidhoNya. Yang menjadi penyebab terjadinya tindakan korupsi adalah tidak adanya takwa dalam diri seseorang, sehingga ketika melakukan suatu tindakan korupsi tidak ada rasa takut sedikipun kepada Allah SWT.

Dalam Islam ada tiga istilah dalam penanganan kasus korupsi yaitu, pertama Al-rishwah (suap meyuap dam gratifikasi), kedua al-shut (gratifikasi atas suap), dan ketiga Al-ghul (menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya). Islam sangat tegas memberi sanksi terhadap tindakan pelaku kasus korupsi.

Dari Jabir bin Abdullah ra. berkata, Rasulullah saw pernah bersabda,

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam mencari harta, karena sesungguhnya jiwa manusia tidak akan puas/mati hingga terpenuhi rejekinya walaupun ia telah mampu mengendalikannya (mengekangnya), maka bertakwalah kepada Allah SWT dan berbuat baiklah dalam mencari harta, ambillah yang halal dam tinggalkanlah yang haram” (HR. Ibnu Majah).

Dalam Islam, sawit merupakan hasil perkebunan termasuk dalam kepemilikan umum karena merupakan barang kebutuhan umum. Olehnya itu pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta asing/aseng, tetapi harus dikelola oleh negara, kemudian hasilnya dikembalikan kepada masyarakat.

Rasulullah saw. Bersabda :

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang gembalaan dan api”(HR Abu Dawud).

“… dan harganya adalah haram”(HR Imam Ibnu Majjah).

Yang terjadi pada sistem Kapitalis-Sekuler saat ini, pengelolaan minyak sawit diserahkan kepada perusahaan swasta. Perusahaan tersebut mengekpor minyak sawit tidak sesuai dengan standar. Andaikan sistem Islam yang diterapkan, tentunya hal ini tidak akan terjadi.

Sistem Kapitalis-Sekuler menjadikan materi sebagai asasnya, sehingga wajar sering terjadi korupsi. Apalagi pada sistem ini agama dipisahkan dari kehidupan. Berbeda dengan Islam yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat karena asasnya yaitu halal haram sesuai syariat.

Pemimpin pada sistem Kapitalis-Sekuler hanya bersifat regulator dan fasilitator bagi kepentingan swasta, sehingga tidak dapat menjalankan amanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara gratis dan berkualiats, begitu pula pemenuhan layanan publik.

Sebaliknya, pemimpin pada sistem Islam akan menjalankan kebijakan sesuai syariat. Pemimpin Islam akan mengurusi kebutuhan (meri’ayah) masyarakat sebaik mungkin karena sadar akan dimintai pertanggung jawaban dunia dan akhirat. Mereka menjalankan amanah pemerintahan untuk mendapatkan ridha Allah swt.

Rasulullah saw bersabda,

”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Begitu pula dengan masyarakat yang hidup sesuai syariat. Ketaatan individu dan pemimpin negara tentunya akan mewujudkan keamanan dan kesejahteraan.

Jika terjadi penyimpangan, pemerintah Islam akan memberikan sanksi sesuai syariat, yang tentunya berkeadilan dan berefek jera.

Semoga saja sistem Islam kembali diterapkan di muka bumi ini, sehingga masyarakat akan hidup tenteram dan sejahtera.

Wallahu’alam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *