Mentalitas Penguasa Sekuler di Masa PPKM

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

 

Pandemi di Indonesia kembali mengganas. Negeri zamrud khatulistiwa ini kini menjadi episentrum Covid-19. Pemerintah “sigap” memperpanjang kebijakan PPKM Darurat. Selain itu, banyak pula tingkah penguasa yang disorot publik. Mari kita simak beragam fakta terkait mentalitas para penguasa di rezim kapitalis hari ini dalam menghadapi pandemi.

Pertama, ada pejabat sekelas menteri yang dengan antengnya menikmati sinetron di tengah PPKM Darurat. Ia dengan lugas bercerita bahwa PPKM Darurat memberinya kesempatan untuk itu. Tentu saja, hal ini menuai kritik serta cibiran dari publik. (suara.com, Sabtu 17 Juli 2021)

Salah satunya datang dari komika, Bintang Emon. Ia mengatakan, sejatinya tidak etis menteri yang mengadakan sejumlah kebijakan malah terlihat santai dan nyaman menjalani masa PPKM di kediamannya. Sementara, sebagian rakyat merana akibat kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Menurutnya seharusnya para menteri ikut turun tangan membantu masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Bukan malah memperlihatkan kehidupannya yang makmur.

Kedua, sejumlah menteri justru melakukan perjalanan ke luar negeri pada masa PPKM Darurat. Seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Padahal, Presiden Jokowi telah meminta seluruh jajarannya di kabinet untuk tidak bepergian ke luar negeri selama masa pandemi Covid-19. Sebaliknya harus memiliki sense of crisis. (bisnis.tempo.co, Minggu 18 Juli 2021)

Hal ini lantas disoroti oleh Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad. Menurutnya, ditengah lonjakan Covid-19 yang semakin parah, ditambah berbagai masalah yang dihadapi misalnya kelangkaan tabung oksigen hingga minimnya kapasitas kamar rumah sakit yang menampung pasien, perjalanan menteri tersebut seharusnya dibatasi. Kalaupun ada, sebaiknya hanya ditujukan bagi kepentingan mendapatkan vaksin atau pertemuan lain yang berhubungan dengan penanganan Covid-19.

Selanjutnya, anak dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto beserta istrinya yang juga melakukan perjalanan ke luar negeri ditengah pemberlakuan PPKM Darurat. Padahal sebelumnya, menantu menko bidang perekonomian tersebut mengampanyekan soal pentingnya pemakaian masker ditengah pandemi Covid-19. Tentu saja, hal ini juga memicu kritik pedas dari publik. Seperti Ketua Departemen Politik DPP PKS, Nabil Ahmad Fauzi. Beliau meminta agar para pejabat lebih peka, lebih sensitif terhadap situasi yang sedang dialami oleh masyarakat.

Tak kalah penting, ada pula menteri yang “bersumbangsih” meningkatkan imun masyarakat. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno meminta para komedian dalam negeri berkolaborasi menghibur masyarakat untuk meningkatkan imunitas atau kekebalan tubuh. “Kami siap berkolaborasi. Ada tiga yang kami lihat sebagai potensi, yakni edukasi, event, dan ekonomi kreatif dari pengembangan destinasi,” ujar Sandiaga. Beliau menambahkan, sektor ekonomi kreatif tak hanya mampu memberikan hiburan kepada masyarakat, tapi juga menjadi penyokong pemulihan ekonomi.

Beragam fakta tersebut memproyeksikan mentalitas penguasa di rezim sekuler kapitalis. Mereka cenderung abai, acap kali tak peduli kondisi rakyat. Segala kebijakan yang ada tidak berorientasi melayani rakyat berikut kebutuhannya. Mereka lebih menitikberatkan pada “memperkaya” dan “menyelamatkan” diri sendiri.

Ditengah PPKM Darurat, wajar apabila rakyat “keras kepala” keluar rumah. Karena mereka sadar, saat ini saatnya bertarung antara mati karena Covid-19 atau karena kelaparan. Rakyat sadar, mereka tak punya junnah, tak punya pelindung. Oleh karenanya, berusaha mencari sesuap nasi dengan tangan dan kaki sendiri lebih baik daripada mengharap belas kasih penguasa yang justru sedang santainya menikmati sinetron.

Rakyat tengah berjuang mati-matian. Namun, lihatlah potret penguasa hari ini. Lihatlah, mentalitas penguasa negeri ini.

Ada pejabat yang ke luar negeri padahal tidak dalam kondisi urgent. Ada pula yang gencar mengampanyekan masker tetapi anteng jalan-jalan, seolah Covid-19 pilih-pilih dalam menular. Ada pula yang bahkan menyarakan para komedian meghibur rakyat untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Tetapi tetap saja, apabila kita tilik pernyataannya, ekonomi menempati posisi teratas yang paling diprioritaskan.

Sungguh, mentalitas penguasa seperti ini karena dididik sedemikian lama dan telaten oleh sistem kapitalisme. Apabila kita komparasikan dengan sistem Islam, sungguh sistem hari ini tak ada apa-apanya. Ibarat kata, bak porselen dan tanah liat.

Para penguasa dalam sistem Islam sangat takut memegang amanah kekuasaan, tersebab takut akan pertanggungjawaban atasnya kelak. Bahkan ada di antara mereka yang menolak ketika diberikan jabatan. Namun, tak sedikit dari mereka harusnya menjadi contoh, menjadi teladan untuk pemimpin-pemimpin masa kini. Mereka begitu bertanggung jawab, menjadikan diri mereka pelayan bagi rakyatnya.

Di benak mereka terpatri kuat sabda Rasulullah saw. berikut. “Barang siapa yang dibebani mengurus suatu urusan kaum muslimin, maka di hari kiamat kelak ia akan diberdirikan di tepi jembatan neraka Jahanam. jika ia melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia akan selamat. Namun, jika ia tidak melaksanakannya dengan baik, ia akan dilemparkan ke bawah jembatan Jahannam itu dan akan terpelanting ke dalamnya selama 70 tahun.”

Pemimpin dalam Islam begitu menggugah. Kebaikan dalam kepemimpinan ditulis dengan tinta emas peradaban. Diberitakan terkait kepemimpinan Umat bin Khaththab ra., bahwasanya ketika beliau hendak mengunjungi kota Damaskus tetapi karena mendengar kabar adanya wabah di daerah tersebut, beliau lantas memutar haluan.

Beliau tentu ingat betul hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan untuk tidak memasuki wilayah wabah dan bagi yang di dalam daerah terjangkit, tak boleh keluar. Pemimpin seperti ini menundukkan keinginannya pada syariat Islam. Berbeda dengan hari ini, pejabat justru ke luar negeri dengan sebegitu gampang dan entengnya. Begitu tak peduli di negerinya, kasus Covid-19 sedang melonjak tajam.

Pernah ketika musim paceklik menghantam daulah Islam, Umar berazam untuk tidak mengonsumsi daging dan susu. Api dalam dapurnya senantiasa menyala, dari fajar hingga terbenamnya matahari. Tentu semata-mata, agar kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Bahkan ada ungkapan dari penduduk kala itu, bahwa mereka mengkhawatirkan Umar bin Khaththab meninggal akibat sedih terhadap kondisi umat muslim pada saat itu.

Sejatinya, masih banyak potret penguasa dalam sistem Islam yang mendahulukan kepentingan rakyatnya. Mereka jauh dari kehidupan yang serba “wah” seperti hari ini. Penguasa seperti itulah, yang sesungguhnya dinanti umat, menggantikan penguasa-penguasa didikan sekuler kapitalis yang bermental bobrok.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *