Mengulik Akar Permasalahan Bencana Banjir

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Mengulik Akar Permasalahan Bencana Banjir


Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Politik Islam)

Berada di tengah musim hujan dimana hujan deras sering tak terelakan, bencana banjir pun melanda wilayah-wilayah yang dijuluki langganan banjir. Seperti yang dialami oleh warga di beberapa daerah di Kabupaten Bandung, setelah berhari-hari dilanda hujan deras mengakibatkan rumah-rumah warga tenggelam oleh genangan air. Setidaknya terdapat sekitar 2.334 rumah di Kabupaten Bandung dilaporkan masih tergenang banjir hingga Jumat siang, 12 Januari 2024. Rumah-rumah tersebut mayoritas berada di Kecamatan Dayeuhkolot. Banjir diketahui mulai terjadi sejak Kamis sore, 11 Januari 2024. Bahkan pemerintah Kabupaten Bandung pun menetapkan status tanggap darurat bencana. Sebagaimana dikutip oleh media online Liputan6.com Selasa (16/1/2024), Bupati Bandung, Dadang Supriatna, mengeluarkan Surat Keputusan tentang Penetapan Starus Tanggap Darurat Bencana Banjir, Longsor, dan Angin Kencang di Wilayah Kabupaten Bandung. Surat Keputusan Bupati bernomor: 300.2.1/KEP.3-BPBD/2024, tersebut ditandatangani tanggal Jumat lalu, 13 Januari 2024. Status tersebut akan berlaku hingga tanggal 26 Januari 2024 mendatang.

Berdasarkan asesmen atas bencana banjir yang melanda daerah-daerah di Jawa Barat yang dilakukan oleh pemerintah Jabar sendiri mengungkapkan bahwa penyebab bencana banjir yang terjadi beberapa waktu lalu diduga akibat kerusakan alam di Kawasan Bandung Utara (KBU). Ditulis Antara News Selasa (16/1/2024), Penjabat (Pj) Gubernur Provinsi Jawa Barat Bey Triadi Machmudin mengatakan bahwa asesmen dilakukan juga dalam rangka evaluasi pembangunan di Bandung Utara yang diduga terjadi alih fungsi lahan. Disamping itu, Kepala Badan Pengelola Cekungan Bandung Tatang Rustandar mengatakan resapan air di wilayah Kawasan Bandung Utara mengalami kerusakan yang cukup parah, yang ditandai dengan tingginya kiriman debit air yang berasal dari kawasan hulu. Dengan kondisi seperti itu, Tatang menyarankan untuk menghentikan pembangunan di wilayah hulu, utamanya Bandung Utara, sebagai resapan bagi Kota Bandung.

Hakikatnya bencana banjir melanda kawasan Kab. Bandung secara rutin tiap kali memasuki musim hujan diakibatkan oleh beberapa faktor, selain permasalahan drainase dan aliran sungai yang seringkali dipenuhi tumpukan sampah dan limbah industri, berkurangnya lahan resapan air menjadi salah satu faktor penyabab bencana banjir, tapi tak pernah tersentush solusi. Tampak kian hari lahan resapan air kian berkurang seiring dengan dialihfungsikan menjadi pemukiman maupun kawasan industri. Di Kota Bandung, wilayah bagian utara yang mestinya menjadi daerah serapan, ternyata sudah dipenuhi permukiman. Pembangunan properti telah mengubah bentang alam di daerah hulu sehingga terjadi degradasi atau deforestasi kawasan hutan. Begitu juga dengan pembangunan fasilitas umum, seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit.

Berbagai pembangunan tersebut dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Demi mengejar cuan, pembangunan dilakukan secara serampangan. Inilah model pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan dan abai atas dampak terhadap lingkungan dan tata kota secara keseluruhan. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban. Terjadi korban jiwa, rumah warga terendam, penduduk harus mengungsi.

Hakikatnya, dalam melakukan sebuah pembangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan, dan lahan serta keseimbangan alam dan lingkungan. Jika tidak, kemungkinan bisa terjadinya bencana seperti banjir dan tanah longsor. Tampaknya inilah yang menjadi penyebab permasalahan banjir di Indonesia tidak pernah terselesaikan. Di mana adanya alih fungsi lahan menjadi permukiman maupun kawasan industri yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip tersebut. Hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang senantiasa mengacu pada ‘profit oriented’. Di mana, hutan dan lahan hanyalah dilihat sebagai komoditas, yang bebas dimiliki dan dimanfaatkan oleh siapa saja bagi kepentingan apa saja, sekalipun berakibat buruk pada rusaknya lingkungan alam dan mengorbankan kepentingan hajat hidup manusia.

Disisi lain pada aspek birokrasi pun acap kali terjadi kongkalikong yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Izin lingkungan, dan Analisis Dampak Lingkungan yang dipandang sebagai pengendali, terbukti begitu mudah dimanipulasi dan diperjualbelikan. Hal ini menunjukan para pemangku kebijakan dan birokrasi seperti dikendalikan oleh para korporasi. Dalam sistem kapitalis keberadaan para korporasi ini memang dispesialkan. Inilah yang menjadi akar permasalahan banjir yang tidak pernah terselesaikan yakni sistem kapitalisme yang dijadikan sebagai rujukan dan landasan dalam berbagai menetapkan berbagai kebijakan dan politik negara.

Sungguh jauh berbeda dengan pembangunan di dalam Islam. Aspek keuntungan materi tidak menjadi tujuan satu-satunya dalam paradigma pembangunan Islam. Acuan dalam kebijakan pembangunan adalah kesesuaian dengan syariat Islam dan terwujudnya kemaslahatan rakyat. Paradigma pembangunan dalam Islam akan memperhatikan penjagaan terhadap lingkungan sehingga alam tetap harmonis. Meski sebuah rencana pembangunan seolah menguntungkan, seperti pembangunan kawasan industri, permukiman, atau kawasan wisata, jika ternyata merusak alam dan merugikan masyarakat, akan dilarang.

Dalam pandangan Islam, air, hutan, dan lahan adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, diciptakan-Nya untuk kesejahteraan manusia, bukan komoditas. Disebutkan dalam ayatnya pada surah al-Baqarah ayat 29 “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk mu..”. dengan menjadikan ayat ini sebagai landasan maka dalam Islam kebijakan-kebijakan ditetapkan tidak lain untuk menjamin kesejahteraan manusia bukan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pihak tertentu.

Disamping itu Allah Swt. juga menciptakan alam semesta ini dengan berada dalam keseimbangan dan keserasian satu sama lain dan manusia diperintahkan untuk menjaganya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya “…Dan Dia menciptakan keseimbangan.” (TQS Ar Rahman: 7). “Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (TQS Ar Rahman: 8). Apabila firman Allah Swt. ini dijadikan sebagai rujukan, tentulah akan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, dengan kongkalikong yang membuat kebijakan-kebijakan yang ditetapkan mengenai penjagaan lingkungan alam dilanggar.

Sesungguhnya kebijakan-kebijakan yang berlandaskan dan merujuk pada aturan Sang Pencipta ini hanya terdapat pada sistem Islam. Sehingga solusi tuntas untuk permasalahan banjir yang selama ini tidak dapat teratasi dan masih saja menjadi bencana ditengah masyarakat adalah tidak lain dengan mengganti sistem kapitalisme dengan sistem hidup yang berasal dari Allah Swt. yaitu sistem Islam.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *