Mengembalikan Peran Negara dalam Pengelolaan SDA Air

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nay Beiskara (Kontributor Media)

 

“Air merupakan hajat hidup manusia. Tanpa air, manusia dan lingkungan akan mati kekeringan. Karena itu, masalah pengelolaan air dan distribusinya tak boleh luput dari perhatian Negara. Namun di alam Kapitalisme seperti saat ini, air kerap menjadi permasalahan. Hal ini tak lepas dari paradigma kapitalis yang menganggapnya sebagai barang ekonomi. Boleh diperjualbelikan dan bahkan pengelolaannya dapat diserahkan pada individu atau swasta. Padahal, air merupakan kepemilikan umum yang pengelolaannya harus dilakukan oleh Negara.”

Permasalahan air ini menarik untuk dibahas. Bagaimana tidak, barang kepemilikan umum ini kini sudah beralih menjadi kepemilikan pribadi. Pengelolaannya banyak dilakukan oleh perusahaan swasta dan telah diperjualbelikan kepada masyarakat dengan berbagai merk.

Keberadaan perusahaan air minum swasta ini disinyalir banyak memberikan manfaat bagi masyarakat. Misal, dengan adanya perusahaan air minum itu sangat mempermudah masyarakat tuk mendapatkan air bersih. Tanpa harus menyaring atau memasak terlebih dahulu. Pendapatan dan konsumsi masyarakat pun meningkat karena perusahaan banyak merekrut pekerja. Bila pendapatan meningkat, maka kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Pada akhirnya, investasi untuk pendidikan anak-anak mereka pun turut meningkat.

Namun di sisi lain, Pengelolaan air oleh perusahaan swasta ini ternyata menyimpan beragam permasalahan di masyarakat. Mulai dari krisis air bersih, kekeringan, limbah, hingga monopoli mata air. Salah satu dampak yang terasa adalah banyaknya sumber mata air yang hilang. Pada Lokakarya Nasional Konservasi Air Tanah melalui Sumur Resapan itu, Yuliarto mengungkapkan, inventarisasi terakhir jumlah mata air di Indonesia tercatat 10.321 mata air, namun laju hilangnya mata air mencapai 20% sampai 40% dalam kurun waktu 10 tahun (Bisnis.com, 22/03/2018).

Hilangnya sumber-sumber mata air ini  diduga karena banyaknya penggundulan hutan di daerah hulu sehingga tak ada lagi daerah resapan air. Berkurangnya daerah resapan ini berpengaruh pada banyaknya mata air dan debit sungai. Tak hanya itu, yang lebih berpotensi menghilangkan mata air adalah keberadaan perusahaan-perusahaan air minum swasta yang sifatnya eksploitatif. Tanpa mengindahkan konservasi lahan hutan agar daerah tangkapan air tetap terjaga.

Seorang warga yang pernah diwawancarai -Bokti- perihal keinginan perusahaan air minum terkenal membeli lahan yang ada sumber mata airnya mengungkapkan bahwa warga satu desa di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, menolak tawaran perusahaan itu karena sumber mata air lebih penting daripada uang (Detiknews.com, 01/08/11). Bokti menambahkan, “Kita tolak. Sebab kalau mereka membeli sumber mata air ini, maka semuanya dikuasai. Kita tidak bisa apa-apa lagi. Bisa jadi untuk memenuhi kebutuhan sendiri kita malah membeli air dari mereka.”

Benar. Dengan dikuasainya sumber-sumber mata air oleh perusahaan, bisa jadi rakyat yang membutuhkan harus membeli dari mereka. Padahal sejatinya air itu milik mereka. Itu baru sekelumit fakta yang dapat masyarakat indera. Bisa jadi ada dampak lanjutan dari banyaknya perusahaan swasta yang jumlahnya sudah mencapai 500 lebih perusahaan pada 2020 ini (Pasardana.com, 10/07/2020).

Komersialisasi Air di Sistem Kapitalis

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Abdul Rochim memaparkan bahwa industri AMDK di Indonesia memiliki pangsa pasar yang cukup besar dari kelompok industri minuman ringan, dengan market share mencapai 85 persen (Pasardana.com, 10/07/2020). Itu artinya peluang bertumbuh perusahaan air minum ini tiap tahunnya melonjak pesat. Potensi mendapatkan keuntungan dari penjualan air minum kemasan juga besar, melihat gaya hidup masyarakat yang berubah menyukai yang serba instan. Namun, di sini kita perlu mengkaji dampak turunan yang ditimbulkan dari komersialisasi air ini.

Dalam sistem Kapitalisme, penyediaan barang dan jasa itu ditentukan oleh permintaan konsumen. Perusahaan yang mengadakan barang dan jasa itu dibiarkan bersaing secara sehat sesuai mekanisme pasar. Itu berarti bahwa perusahaan Negara harus bersaing dengan perusahaan swasta, baik lokal maupun asing.

Perusahaan dalam negeri misalnya diwakili oleh PDAM akan bersaing dengan perusahaan bermodal besar seperti Aqua, Le Mineral, Nestle Purelife, Club, Super O2, dan Equil. Perusahaan-perusahaan asing tersebut diberi izin oleh Negara tuk memanfaatkan mata air yang ada di Indonesia. Mereka mengelola SDA air di negeri ini kemudian menjualnya kembali pada masyarakat. Tentu yang mendapatkan keuntungan adalah pihak asing. Sedangkan masyarakat hanya menjadi penikmat.

Jamak diketahui, dalam sistem ini yang dapat mendominasi pasar adalah perusahaan yang memiliki modal yang besar. Sedang perusahaan Negara (PDAM) biasanya memiliki modal yang kecil. Dilihat dari modal itu, tentu perusahaan Negara tersebut akan kalah bersaing. Seharusnya PDAMlah yang mendominasib pasar dalam negeri, bukan perusahaan-perusahaan asing itu.

Hal ini tak lepas dari paradigma kapitalisme yang bersarang di benak pemerintah saat ini. Kapitalisme memandang bahwa individu siapapun itu, asalkan memiliki modal yang besar, maka dapat menguasai semuanya. Tak ada batasan kepemilikan sebagaimana diatur dalam Islam. Termasuk memiliki barang yang merupakan hajat hidup orang banyak seperti air, barang tambang dalam jumlah besar, dan SDA lainnya. Di sinilah letak kekeliruan paradigma ini dalam pengelolaan SDA air. Mereka menganggap air sebagai barang ekonomi yang bisa dikuasai dan diperjualbelikan.

Pemerintah saat ini memang telah berupaya tuk mengembalikan lahan yang kritis. Misalnya dengan melakukan penanaman pohon dan sumur artesis di setiap desa. Namun, upaya ini saja tak cukup tuk mengatasi persoalan pengelolaan SDA air. Selama yang menjadi akar masalahnya tak diselesaikan, yakni diterapkannya sistem sekular kapitalis yang melahirkan paradigma yang keliru tentang pengelolaan SDA.

Optimalisasi Pengelolaan Air oleh Negara

Islam sebagai Dien yang sempurna memiliki pandangan yang khas mengenai sumber daya alam beserta pengelolaannya. Begitu pula dengan sumber daya alam air. Islam memandang air merupakan bagian dari kepemilikan umum (milkiyah ‘amah), yaitu barang kebutuhan umum.

Barang kebutuhan umum adalah segala barang atau harta yang masuk kategori fasilitas umum, yang jika tak ada dalam suatu negeri atau dalam komunitas tertentu, maka akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya. Air merupakan hajat hidup manusia secara umum. Dalilnya adalah sebagai berikut :

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah).

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Ada kalimat tambahan sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah, “… dan harganya adalah haram.”

Air sebagaimana yang telah ditetapkan oleh As Syari’ Allah Swt. dan Rasul-Nya adalah barang kepemilikan umum. Individu atau kelompok tak boleh menguasainya. Pengelolaannya haruslah dilakukan oleh Negara. Negara kemudian mengembalikan hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.

Jelas di sini perusahaan swasta, baik lokal maupun asing, tak diizinkan tuk mengelola dan mengambil keuntungan dari penjualannya. Hadits di atas juga dengan gamblang menyatakan bahwa haram mengambil keuntungan darinya dan tak boleh pula dimonopoli oleh satu perusahaan.

Karena itu, pengelolaannya haruslah dikembalikan seutuhnya kepada Negara. Negara berupaya seoptimal mungkin tuk bisa mengelola sehingga dapat mendistribusikannya secara gratis. Karena itu semua adalah hak rakyat. Optimalisasi dapat dilakukan dengan menyiapkan SDM yang cakap, baik secara manajerial maupun teknis. Kemudian melakukan konservasi terhadap lahan-lahan kritis agar bisa menjadi daerah resapan air kembali. Tak memberikan izin pada perusahaan asing tuk mengomersialisasi air pada masyarakat.

Namun, bagi Negara yang tak kalah penting adalah memberlakukan sistem ekonomi politik Islam dalam mengatur sumber daya alam. Dengan sistem ini, SDA akan menjadi jelas kepemilikannya. Mana sekiranya SDA yang boleh dimiliki oleh individu, masyarakat umum, dana negara. Selanjutnya, persoalan pengelolaan air pun dapat diatasi.

Wallahua’lam bishshowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *