Maraknya Mahasiswa Bunuh Diri, Salah Siapa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Maraknya Mahasiswa Bunuh Diri, Salah Siapa?

Oleh Supartini Gusniawati,S.Pd

(Praktisi Pendidikan)

 

Belakangan ini, Fenomena bunuh diri menjadi marak di kalangan mahasiswa. Pada Oktober ini, sudah ada empat kasus mahasiswa yang diduga bunuh diri. Kasus terakhir terjadi pada mahasiswi Universitas Dian Nuswantoro pada Rabu malam, 11 Oktober 2023. Korban EB yang berusia 24 tahun ditemukan tewas di kamar indekosnya di daerah Tembalang, Semarang. Sehari sebelumnya, mahasiswi Universitas Negeri Semarang ditemukan tewas di area pintu keluar parkir Mall Paragon Semarang Diduga korban NJW bunuh diri dengan jatuh dari lantai empat area parkir. Polisi menemukan tas milik korban, tanda pengenal, kartu mahasiswa, serta secarik surat yang berisi permohonan maaf kepada keluarganya. (tekno.tempo.co, 14/10/2023)

Jika ditelusuri lebih dalam, motif kasus bunuh diri ini sangat beragam dan kompleks. Namun, hal itu dapat dikelompokkan menjadi motif internal dan eksternal. Pertama, motif internal seringkali dipicu oleh stres, depresi, _insecure_ (rasa tidak percaya diri berlebihan), penyakit mental, putus asa dan lemahnya keimanan seseorang. Sehingga mengguncang ketahanan mental individu.

Namun mirisnya, motif internal ini seringkali dipicu oleh faktor eksternal. Seperti putus cinta, tekanan ekonomi dalam keluarga, terjerat pinjol, tuntutan akademik seperti tugas yang menumpuk, bullying dan body shaming, pelecehan seksual serta masih banyak lagi hal yang serupa. Dengan pandangan yang terbuka akan nampak bahwa saat ini semua lini kehidupan dapat memicu bunuh diri.

Lantas, siapakah yang bersalah jika terjadi kasus bunuh diri? Apakah semata-mata kesalahan individu? Atau menjadi masalah bagi kita semua? Jika melihat dari berbagai faktor yang menjadi pemicu bunuh diri, maka semua orang ikut terlibat dalam permasalah ini, mulai dari masyarakat dan lingkungan, serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh negara.

Dengan penerapan sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan agama dari negara, aktivitas bunuh diri adalah buah pahit yang harus diterima oleh masyarakatnya. Kapitalisme memandang bahwa kebahagian tertinggi adalah semata-mata karena materi. Pemahaman ini berpengaruh terhadap ’cara pandang’ seseorang dalam menghadapi kehidupan. Akibatnya, individu yang mengalami ketidakberdayaan dalam menghadapi beratnya masalah hidup, seringkali menyikapi dengan langkah membunuh ataupun bunuh diri. Sehingga bunuh diri dianggap sebagai solusi, keimanan tak lagi menjadi tameng dari kemaksiatan. Pikirannya terlampau buta dengan deraan ujian kehidupan. Termasuk pun akademisi seperti mahasiswa, meski ia adalah kaum terpelajar nyatanya mengalami efek domino dari penerapan sistem kapitalisme sekuler ini.

Berbeda dengan Islam yang berbasis kepada akidah yang mewajibkan pemeluknya untuk menjalankan syariat Islam sebagai konsekuensi dari keimanan. Islam menjadikan solusi hidup berbasis kepada suka dan bencinya menurut Allah, halal dan haramnya pun menurut Allah. Sehingga konsep bunuh diri sebagai solusi hidup adalah ilusi yang mesti dijauhi. Karena bunuh diri menurut Islam adalah termasuk dosa besar.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, “Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. An-Nisa: 29-30).

Diperkuat oleh sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari No. 6105, Muslim No. 110).

Selain itu, Islam sebagai sebuah ideologi memiliki peran untuk menjaga fitrah manusia agar tidak terjerumus kepada bunuh diri. Nilai nyawa dalam Islam begitu tinggi. Nyawa bahkan dalam ranah ushul fiqih masuk dalam kategori “al-Dharūriyāt al-Khamsah” (lima hal primer yang wajib dipelihara). Artinya, nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tak peduli, nyawa orang muslim maupun kafir.

Dengan demikian, negara dalam Islam akan berusaha sedemikian rupa untuk mewujudkan masyarakat yang kondusif agar kesehatan mental masyarakat terjaga. Sistem pendidikan Islam berorientasi kepada terwujudnya individu yang berkepribadian Islam. Ditopang dengan keterampilan untuk mempermudah kehidupan. Sistem pergaulan Islam menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai jamaah yang terpisah, kecuali dalam hal-hal yang diperbolehkan oleh syariat (kesehatan, ekonomi, pendidikan dst) atau jalur pernikahan.

Begitupun dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup. Sandang, pangan, dan papan adalah hal yang diperhatikan oleh negara. Pelayanan umum seperti pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas utama negara terhadap rakyatnya. Semua itu dilakukan berdasarkan perintah syariat Islam dalam bernegara. Jika negara sudah sedemikian rupa menjaga kesehatan mental masyarakat, pemicu apakah yang akan membuat seseorang bunuh diri? Maka hanya dengan penerapan sistem Islamlah faktor-faktor pemicu bunuh diri di tengah masyarakan akan hilang dan permasalah bunuh diri akan teratasi.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *