Mampukah Indonesia Mewujudkan Zero Stunting?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Mampukah Indonesia Mewujudkan Zero Stunting?

Oleh Ila Marsila

(Aktivis Muslimah Kab. Bandung)

 

Menurut laporan Surveilans Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 mengenai data stunting secara nasional, terjadi penurunan prevalensi stunting secara keseluruhan pada anak-anak di Indonesia dari 24,4% (2021) menjadi 21,6% (2022) (kumparan.com, 21/6/2023). Dari 34 provinsi, hanya 2 yang mampu menurunkan prevalensi stunting di bawah 14%, yakni DKI Jakarta dan Bali. Ada 11 provinsi dengan prevalensi stunting antara 14-20%. Bahkan, ada 5 provinsi dengan prevalensi 30-35% berturut-turut, yakni Aceh, NTB, Papua, Sulawesi Barat, dan NTT. NTT menjadi provinsi dengan prevelsi tertinggi. Angka ini mencapai 35,3%, melebihi target nasional 14% yang ditetapkan untuk 2024.

Stunting berdampak besar terhadap terhambatnya pertumbuhan ekonomi, peningkatan kemiskinan, dan melebarnya ketimpangan. Bank Dunia (2016) menyatakan bahwa dalam jangka panjang stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pertahun. Dalam laporan perekonomian Indonesia 2022, tercatat PDB Indonesia sebesar Rp16.970 triliun, sehingga potensi kerugian akibat stunting mencapai Rp339,4-509,1 triliun pertahun (harianbhirawa.co.id, 24/1/2023). Stunting dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia ketika berada pada usia produktif sebesar 2-9% (Horton, 1999).

Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan APBN untuk mendukung kesejahteraan anak di bidang kesehatan dan perlindungan anak sebesar Rp48,3 triliun (2022) dan Rp49,4 triliun (2023). Sementara itu, anggaran belanja pemerintah untuk mendukung percepatan penurunan stunting adalah sebesar Rp34,15 triliun (2022) dan Rp30,4 triliun (2023). Besaran tersebut diperuntukkan pada tiga jenis intervensi (spesifik, sensitif, dan dukungan) yang melibatkan berbagai instansi dan lintas sektor.

Menyadari penurunan stunting menjadi berat, pemerintah merencanakan anggaran kesehatan sebesar Rp186,4 triliun, ekuivalen dengan 5,6%. Kebijakan anggaran fungsi kesehatan pada 2024 diarahkan untuk akselerasi penurunan stunting dan melanjutkan transformasi sistem kesehatan.

Menurut Menkeu Sri Mulyani, dari total anggaran subkegiatan penanganan stunting senilai Rp77 triliun, Rp34 triliunnya langsung masuk ke mulut bayi. Selebihnya habis untuk kegiatan nirfaedah, seperti rapat koordinasi dan pembangunan pagar puskesmas. Sumber lain menyatakan bahwa anggaran Rp34,1 triliun itu tersebar di 17 kementrian, lembaga, dan pemda melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik sebesar Rp8,9 triliun. Dari total alokasi anggaran itu, saat dibedah lebih detail, sebagian besar malah untuk rapat dan perjalanan dinas.

Apabila diperinci kembali, justru anggaran intervensi spesifik hanya sekitar Rp4 triliun. Artinya dengan prevalensi stunting nasional 21,6%, alokasi peningkatan gizi dan kesehatan sangat minim anggaran. Sementara itu, intervensi sensitif sendiri berhubungan dengan penyebab stunting secara tidak langsung yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan.

Stunting adalah masalah serius dalam pembangunan generasi. Anak stunting membutuhkan asupan protein hewani yang mencukupi kebutuhan gizi mereka. Oleh karena itu, negara perlu memberikan sosialisasi massif hidup sehat dan pentingnya protein hewani kepada orang tua. Misalnya anak-anak penting mengonsumsi satu butir telur sehari dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi. Namun ketika orang tua tidak punya penghasilan untuk beli beras, dari mana uang untuk beli telur dan susu? Sosialisasi dan edukasi melek protein hewani memang perlu, tetapi perhatian negara terhadap daya beli keluarga agar mampu mengakses berbagai bahan makanan bergizi, tentu itu lebih prioritas.

Pangkal problem stunting adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun belum bisa mengatasi masalah kemiskinan yang menyebabkan gizi buruk terhadap generasi. Mengapa Indonesia tidak mengambil inisiatif menetapkan target zero stunting? Karena Indonesia bukan negara mandiri melainkan negara yang mengambil keputusan dan kebijakan bergantung pada negara adidaya (global). Indonesia terikat dengan beberapa komitmen global. Diantaranya The World Healt Assembly 2012, Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan The UN Decade of Action on Nutrition 2016-2025. RAN Pangan ini menjadi elemen penting yang berkaitan erat dengan penanganan stunting suatu negara.

Meski selama ini Indonesia berkomitmen menjalankan arahan global dalam penanganan stunting, nyatanya Indonesia tidak juga mampu mengatasi problem ini. Posisi Indonesia sebagai negara berkembang tetap berada di bawah hegemoni negara-negara adidaya para pemegang kuasa lembaga-lembaga internasional. Resep tawaran lembaga internasional itu hanya modus imperialisme korporasi global. Sedangkan Allah Ta’ala mengamankan generasi di pundak negara agar tidak ada satu jiwa pun yang menderita karena kelalaian negara.

Islam telah menyediakan sistem sahih yang akan mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi individu-individu rakyat. Islam telah Allah sempurnakan dan membawa rahmat bagi semsta alam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kesejahteraan generasi penerus Muhammad SAW, bahkan mengharamkan negara menyerahkan kehidupan generasi pada kekufuran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “…Dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman” (Q.S. An-Nisa’: 141).

Wallahu’alam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *