Malapetaka Pergantian Tahun

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ika Rini Puspita  (PegiatLiterasi, dari Makassar)

Hingar bingar penyambutan tahun baru 2020 kian memuncak, tak terkecuali di Indonesia.  Pergantian tahun pada kalender Masehi itu hampir selalu menjadi rutinitas perayaan yang tidak boleh terlewatkan oleh semua kalangan. Libur panjang yang beriringan dengan Natal bertepatan dengan liburan sekolah menambah riuh, orang-orang yang berkeinginan bertahun baru. Mereka umumnya beralasan bahwa pergantian tahun adalah kesempatan yang hanya datang setahun sekali. Apa salahnya jika dirayakan atau diisi dengan kegembiraan melebihi hari-hari biasanya.

Menjelang pergantian tahun baru, manusia akan lebih dominan menghabiskan waktu bersama orang yang dianggapnya spesial. Maka, perayaan tahun baru dijadikan sebagai ajang melepas rindu, sayang dan rasa-rasa sejenis lainnya. Tentang rasa ini tidak ada yang menyalahkan malah rasa ini adalah suatu kewajaran yang dimiliki oleh setiap manusia (gharizatu an-nau’) yang kapan saja, bisa teransang dan menuntut untuk dipenuhi. Namun, jika pemenuhannya kurang tepat ini yang dikatakan tidak sesuai.

Sebab, perayaan seperti ini dari fakta yang ada, para muda-mudi melampiaskan rasa sayangnya tidak sesuai dengan tuntunan syariat-Nya. Seperti pacaran yang sudah melibihi batas (pegangan tangan, pelukan, ciuman, bahkan berhubungan layaknya pasangan suami istri sudah dianggap biasa). Sama halnya mengenai virus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) sudah menjangkiti sebahagian masyarakat. Bisa dibayangkan betapa rusaknya pemenuhan gharizatu an-nau’ tersebut. Jika ini terus berlanjut entah bagaimana nasib Negara tercinta kita Indonesia.

Malapetaka

Adapun arti dari kata malapetaka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu kecelakaan, kesengsaraan dan musibah. Siapa pun tidak mengharapkan datang menimpanya. Mengenai tahun baru mengapa dikatakan malapetaka.

Sebab, perayaan-perayaan tersebut sangat kental dengan ajang maksiat. Mulai dari sekedar meniup terompet, pesta kembang api, acara musik, pesta miras dan narkoba hingga diidentikkan dengan pesta seks.

Dari fakta yang ada jelang tahun baru kondom laris terjual di sejumlah apotek, toko obat dan mini market di kota Makassar. Menurut salah seorang penjaga toko di Jalan Veteran Utara “ia tak tahu menahu mengenai larisnya pembelian kondom menjelang malam tahun baru. Laris manisnya layaknya seperti ‘kacang goreng’ saja” katanya kepada Makassar Terkini, 6/12/2016.
Menjelang tahun baru 2020 polisi pun mengamankan mobil pic-up berisi 182 kardus yang menampung 2.000 botol minuman keras merk Anker Bir di jalan TransSulawesi Polewali Mandar untuk pesta malam tahun baru 2020 (Kompas.com, 25/12/2019). Selanjutnya di media yang sama Kompas.com (24/12) sejumlah promo pun telah disedikan oleh sejumlah Hotel menyemarakkan penyambutan Tahun Baru 2020 degan harga kurang dari Rp 1 Juta. Lalu bagimana keadaan penginapan seperti Wisma dan tempat-tempat kecil lainnya. Tentu juga gencar melakukan promosi. Untuk apa? tidak lain untuk mempermudah pesta seks dengan orang tersayang.

Belum lagi pesta narkoba dan miras yang berlangsung di malam tahun baru pasti mendapatkan omset lebih. Perayaan di atas tidak dipungkiri mendapatkan pemasukan bagi negara. Maka, jangan heran jika perkara di atas tidak terjadi pertentangan keras layaknya kasus-kasus pada umumnya.
Pesta demi pesta digelar pastinya menghabiskan uang yang tidak sedikit.

Jangan salah, jika sebahagian orang melakukan cara-cara instant demi mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti baru-baru ini, yang dialami penulis menjelang pergantian tahun kejadiannya tidak lain adalah pencurian ‘penjambretan’. Pada hari Selasa 17 Desember 2019 bertempat di Dusun Sailong Desa Sunggumanai Kec. Pattallassang Kab. Gowa atau arah dekat Kampus 2 UIN Alauddin Makassar sekitar Jam 19.40 Wita. Barang berharga penulis semuanya diambil ATM, uang tunai jutaan, SIM, STNK, dan kartu-kartu penting lainnya. Penulis merasa keberatan dengan melaporkannya kepihak berwajib, namun sampai hari ini belum menemukan titik kejelasan kelanjutannya. Teman sempat berbisik ‘jangan terlalu berharap, ikhlaskan saja semoga dapat penggantinya’. Penulis sebenarnya sudah ikhlas namun yang disayangkan pelakunya itu, yang buat geram. Ternyata masih ada manusia tak berurani seperti itu.

Lanjut, mengenai perayaan tahun baru, pelaku utamanya pun dari kalangan pemuda. Maka jika perayaan tahun baru identik dengan ajang maksiat apa jadinya Indonesia kelak jika para penerus generasi seperti ini?

Menyikapi perayaan tahun baru pun menuai kontropersi boleh tidaknya perayaan tersebut. Tapi, jangan sampai kita mendukung dan membela mati-matian kebolehan tahun baru karena apa? kita menjadi salah satu penikmat, atau penyokong di dalamnya. Boleh jadi. Sedangkan jika kita berbicara sistem Islam ia amat tegas dengan perkara-perkara seperti ini.

Tahun baru tidak termasuk salah satu hari raya Islam sebagaimana ‘Iedul Fitri, ‘Iedul Adha ataupun hari Jum’at. Bahkan hari tersebut tergolong rangkaian kegiatan hari raya orang-orang kafir yang tidak boleh diperingati oleh seorang muslim.

Suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menanyakan kepadanya: “Apakah disana ada berhala sesembahan orang Jahiliyah?” Dia menjawab, “Tidak”.

Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dirayakannya hari raya mereka?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Tunaikan nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”. (Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan terlarangnya menyembelih untuk Allah di tempat yang bertepatan dengan tempat yang digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah. Atau di tempat orang-orang selain Islam merayakan pesta atau hari raya. Sebab itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Apalagi ikut merayakan hari raya mereka, maka di dalamnya terdapat wala’ (loyalitas) dan dukungan dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar kekufuran. WallahuA’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *