Lenyapnya Bahagia, Akibat Pembagian THR Tidak Merata

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Lenyapnya Bahagia, Akibat Pembagian THR Tidak Merata

Irma Faryanti

Pegiat Literasi 

Tunjangan Hari Raya (THR) adalah hal yang sangat didambakan menjelang akhir Ramadan. Keberadaannya dinanti untuk memenuhi berbagai kebutuhan idul fitri, mulai dari makanan, pakaian, membayar zakat dan lain sebagainya. Namun apa jadinya jika harapan ini harus pupus karena ditiadakan? Tentu rasa kecewa yang akan dirasakan.

Beberapa waktu lalu, Pemerintah menetapkan bahwa perangkat desa dan honorer tidak akan mendapatkan THR dan gaji ke-13 pada tahun ini. Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri menjelaskan bahwa mereka tidak termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana yang telah ditetapkan Undang-undang, sehingga tidak ada anggaran bagi mereka. Pun jika sebelumnya ada tunjangan, hal itu diambil dari dana desa. (antaranews.com, 15 Maret 2024)

Lebih lanjut Tito menyatakan bahwa ketetapan itu akan dibahas lebih lanjut bersama asosiasi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sementara itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas juga menegaskan bahwa tenaga honorer tidak akan mendapatkan THR dan gaji ke-13 kecuali yang telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa APBN terkuras Rp48,7 triliun untuk membayar THR para ASN, dan rencananya dibayarkan paling cepat pada H-10 hari raya Idul Fitri. Adapun alokasi anggaran untuk tahun ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (Rp38,8 triliun) meliputi komponen gaji pokok dan tunjangan kinerja 50 persen. Pencairannya naik menjadi 100%. Terlebih, naiknya gaji PNS beberapa waktu lalu sebesar 8 persen akan ikut mengalami penyesuaian.

Lebih lanjut ia berharap THR 2024 akan meningkatkan daya beli masyarakat. Terlebih jika PNS tersebut membelanjakannya dengan membeli produk-produk dalam negeri, sehingga dapat mendorong ekonomi lokal. Adapun alokasinya ditujukan bagi para Aparatur Sipil Negara, PPPK, Prajurit TNI, anggota Polri, Pejabat Negara, Dewan pengawas KPK, pimpinan Lembaga Penyiaran publik beserta non-pegawai ASN yang ada di dalamnya.

Febrio Kacaribu selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu menegaskan bahwa pada tahun 2024 ini pemerintah memutuskan memberi THR dan gaji ke-13 pada ASN, TNI dan Polri secara penuh, selain karena alasan keuangan APBN mulai membaik, juga sebagai apresiasi negara karena ketiganya dianggap telah berkontribusi saat kontraksi pada masa pandemi. Di mana selama itu hak mereka tersebut dipangkas dan direalokasikan untuk untuk penanganan Covid-19.

Pemilahan objek penerima THR tidak seharusnya terjadi, karena setiap orang berhak merasakan kebahagiaan di hari raya. Para pegawai yang mengabdi pada negara, sudah seharusnya mereka mendapat tunjangan yang sama tanpa dipilah dan dipilih. Karena seluruh pekerja termasuk tenaga honorer yang selama ini mendapat gaji di bawah ASN juga berharap mendapatkan tunjangan yang sama. Pembedaan yang dilakukan tidak lebih merupakan suatu kezaliman.

Namun demikian lah duka berada dalam naungan kapitalis. Perbedaan perlakuan pada yang lemah sering lebih kuat mendominasi. Minimnya anggaran menjadi alasan klise yang sering dilontarkan. Padahal negeri ini dikenal dengan kekayaannya yang melimpah, namun sayang semua itu dibiarkan dikuasai oleh para oligarki. Sehingga SDA yang seharusnya bisa menjadi pemasukan bagi negara justru dikeruk habis oleh para korporat. Tidak heran jika kondisi APBN semakin menyusut bahkan menjadikan utang luar negeri sebagai andalan dalam mengatasi krisis pendapatan.

Maka tidak heran jika masalah kemiskinan menjadi hal yang tidak kunjung tersolusikan dalam sebuah negara yang menerapkan kapitalis. Karena jurang pembatas antara si kaya dan si miskin dibiarkan menganga lebar. Alih-alih teratasi, kesengsaraan lah yang mereka dapati, karena penguasa lebih cenderung mengurusi kepentingan para pemilik modal dan mempertahankan mereka sekuat tenaga untuk menanamkan investasi.

Berbeda dengan Islam, sistem ini menetapkan 3 pemasukan bagi negara, yaitu: Pertama, fai, kharaj, ganimah, khumus, status tanah, jizyah dan dharibah (pajak). Kedua, bagian kepemilikan umum, meliputi seksi migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang rumput, juga aset-aset yang dilindungi negara untuk keperluan khusus. Ketiga, sedekah; zakat uang, perdagangan, pertanian dan ternak.

Itulah 15 seksi pemasukan untuk baitulmal. Dengan jumlahnya yang sangat besar, memungkinkan bagi penguasa untuk menyejahterakan rakyatnya, memenuhi seluruh kebutuhan mereka secara terus menerus tanpa harus menunggu momen tertentu seperti hari raya. Bukan hanya untuk pegawai negara saja melainkan seluruh warga, termasuk non muslim. Semuanya berhak mendapatkan jaminan kesejahteraan.

Sementara untuk masalah pegawai negara, syariat telah menetapkan bagi mereka hukum terkait pengupahan (ijarah). Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS ath Thalaq ayat 6 yang artinya:

“Berikanlah kepada mereka upahnya.”

Mereka akan mendapatkan gaji sesuai akad yang telah disepakati.

Dalam sebuah pemerintahan Islam, sukacita di bulan puasa dan hari raya mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi pada masa kepemimpinan Ustmaniyah, sang penguasa membuka pintu rumahnya selama Ramadan dan menyediakan hidangan berbuka bagi seluruh rakyatnya. Penguasa juga mengadakan perayaan hari raya selama tiga hari berturut-turut, agar umat ikut merasakan kebahagiaannya.

Demikianlah gambaran kebahagiaan yang dirasakan umat saat berada dalam naungan Islam. Kesejahteraan akan dirasakan oleh masyarakat secara menyeluruh, tanpa harus membedakan objek penerima.

Wallahu alam Bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *