Krisis Intelektual Mahasiswa Soal Rohingya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Krisis Intelektual Mahasiswa Soal Rohingya

Rhany

(Pemerhati Remaja Andoolo)

 

Sebuah negeri yang konon katanya dikenal dengan ramah, peduli, dan mengejutkan ketika saudaranya dijajah donasinya nomor satu di seluruh dunia dibanding negara-negara yang terbilang adi daya. Siapa itu? Siapa lagi jika bukan negeri yang kita cintai. Dan selalu dikenal di seluruh dunia sebagai bangsa yang paling menjunjung tinggi soal kemanusiaan dan sangat anti terhadap penjajahan.

Namun kenyataan ini harus dipatahkan dengan sebuah fakta bahwa warga dari negeri ini mendeskriminasi bangsa lain dan bertindak layaknya tentara Israel diujung sana, yang menindas sesama muslimnya. Sungguh ironi perilaku yang ditunjukkan bukan.

Dikutip dari MuslimahNews (5/1/2024), pengusiran paksa pengungsi Rohingya di Banda Aceh oleh sekelompok mahasiswa pada Rabu 27 Desember 2023 di Balai Meuseraya Aceh (BMA) di Lampriet, Banda Aceh, menyisakan trauma dan ketakutan bagi para pengungsi terutama wanita dan anak-anak. Mereka juga menyebut peristiwa pengusiran itu mengingatkan mereka akan trauma yang mereka alami di Myanmar saat mereka terpaksa mengungsi di Bangladesh.

Penolakan masyarakat dan oknum mahasiswa di Aceh atas muslim Rohingya beberapa waktu lalu, direspons oleh Ditjen HAM Kemenkumham Dhahana Putra. Ia meminta semua pihak untuk mengedepankan kemanusiaan dan dapat menahan diri dari berbagai tindakan provokatif agar tidak menimbulkan kondisi yang tidak kondusif di Aceh dalam penanganan para pengungsi Rohingya. Aspek kemanusiaan yang bersifat universal ia nilai harus diutamakan dengan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal. (CNN Indonesia, 2/1/2024).

Betapa malu apa yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa ini yang disebut kaum intelektual, yang justru penggerak perubahan dan agen of control tapi justru mempermalukan almamaternya sendiri. Sungguh memperihatinkan di mana kampus dalam visi misinya kerap menggaungkan bahwa generasi mampu berpikir kritis dan mengolah fakta, namun sayangnya tak seindah teorinya. Tidak lebih seorang preman jalanan yang bar-bar kelakuannya.

Sebagian kalangan mahasiswa Aceh sampai melontarkan kata-kata yang tak pantas diucapkan sebagai kaum intelektual, mengusir, menghardik. Nyatanya, muslim Rohingya hidup menjadi manusia yang terombang-ambing di lautan, ditolak oleh negeri-negeri muslim lainnya.

Padahal dengan modal berita di lapangan seringkali tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, tanpa cek dan ricek sudah termakan media yang mencoba memprovokasi. Dan tidak jarang hampir semua terbukti belum tervalidasi dan berpotensi menyebarkan hoax. Sangat berbeda bentuk perlakuan dengan warga Rohingya dibanding Palestina yang notabennya adalah sama-sama kaum muslimin, satu aqidah, satu umat, dengan kitab al-Qur’annya sama. Sungguh miris paradigma berpikir umat hari ini.

Sangat disayangkan jika banyak netizen di sosial media menyuarakan Pro Palestina dan berniat menerima warga Gaza tapi amat menolak keberadaan pengungsi Rohingya bahkan sampai membenci dan turut menyebarkan berita yang memprovokasi, dan terlintas komentar para netizen “Itu bukan urusan mita”, “Jangan sampai negera kita seperti di Gaza menerima bangsa lain seperti Israel yang tidak tau diri, eh ujungnya dijajah”.

Kata-kata di atas tidak pantas terlontar dari mulut seorang muslim yang mengaku tuhannya adalah Allah. Bukankah Allah mengingatkan kita lewat firmannya, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara…” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 103).

Musuh IsIam telah berhasil memecah belah kaum muslimin dengan nasionalisme merasa sekat negara menjadi alasan untuk tidak bersatu dan memperlakukan saudaranya hanya sebatas ego dan memilih sesuai kondisi. Padahal yang terjadi pada saudara kita di Rohingya kurang lebih sama dengan yang terjadi di Gaza.

Nasionalisme berhasil menjadi jurang pemisah antar kaum muslimin. Pemikiran yang menancap ini, berimbas kepada penguasa-penguasa muslim di penjuru dunia bukan hanya di Indonesia. Penguasa hanyalah boneka tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu. Jika ada yang menerima, itu pun dengan terpaksa dan menempatkan Rohingya di kamp-kamp yang tidak layak, bahkan menolak hak-hak dasar mereka. Rohingya akhirnya berada dalam lingkaran setan geopolitik yang melibatkan banyak kekuatan, baik regional maupun internasional.

Problematika ini tidak akan mengakar manakala seluruh umat muslim bersatu dalam satu kepemimpinan sistem Islam. Sistem paripurna yang mampu menjawab seluruh problematika hidup manusia. Sistem yang berasal dari Ilahi. Tidak mengukur batas negara dan wilayah menjadi penghalang untuk membantu saudaranya, tidak mamandang suku, ras, keturunan sebagai dasar kemuliaan. Sistem ini pernah diterapkan dan terbukti mampu bertahan selama lebih dari 12 abad lamanya.

WalLâhu a’lam Bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *