Kriminalitas Merajalela, Di Mana Jaminan Keamanan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kriminalitas Merajalela, Di Mana Jaminan Keamanan?

 

Oleh Vikhabie Yolanda Muslim

Kontributor Suara Inqilabi

Kasus kriminalitas semakin hari semakin mengerikan. Tampaknya saat ini, angka kriminalitas terus meningkat dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Rentetan pembunuhan sadis disertai mutilasi terjadi di Sleman, Tangerang hingga Bekasi. Terjadinya rentetan pembunuhan mutilasi ini pun mendapat atensi dari ahli. Kriminologi Universitas Indonesia, Yogo Tri Hendiarto, menjelaskan pembunuhan yang diikuti mutilasi, bukan suatu proses yang bersifat spontan, melainkan didahului oleh proses interaksi antara kedua belah pihak, yang terkait hubungan asmara, finansial, sakit hati, dan beragam faktor lainnya. Bahkan Yogo menambahkan, kasus pembunuhan disertai mutilasi tidak dapat dihentikan dan bisa jadi akan terus terjadi (bbc.com, 12/07/2023).

Faktanya, faktor penyebab kriminalitas yang diungkap para ahli menunjukkan kejahatan berasal dari faktor individu, seperti kemiskinan, kerakusan, maupun lemah iman yang membuat orang mudah sakit hati. Padahal, faktor ini bukan muncul secara acak dan tiba-tiba, melainkan karena cara pandang hidup masyarakat saat ini dipengaruhi oleh sistem sekularisme-kapitalisme. Sistem kehidupan yang memisahkan agama, sehingga manusia hanya mengedepankan ego dan capaian materi sebagai standar kepuasan diri.

Tak hanya faktor individu yang sekuler, hukum sekularisme-kapitalisme yang lemah, juga memberi andil terhadap meningkatnya kasus kriminalitas. Sistem sanksi yang ada pada saat ini, nyatanya tidak memberi efek jera dan bersifat tebang pilih. Hal ini terjadi karena sanksi dalam sistem kapitalisme adalah hasil kesepakatan manusia yang berlindung di balik nama HAM. Padahal faktanya, jelas-jelas pembunuhan, pencurian, dan sebagainya membahayakan masyarakat. Namun para pelaku rata-rata hanya dihukum kurungan penjara.

Lantas yang kita rasakan saat ini ketika berada di bawah sistem sekuler, begitu banyak kasus mengerikan yang mengancam jiwa, hingga menghilangkan nyawa sesama manusia terasa begitu lazim. Hingga akhirnya pada saat ini kita hidup jauh dari rasa aman.

Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan ideologi Islam ketika diterapkan menjadi ideologi global. Ideologi Islam yang secara praktis diterapkan oleh sebuah negara, terbukti mampu memberi keamanan yang luar biasa kepada masyarakat. Hal ini pun telah diakui oleh sejarawan barat, Will Durant, dalam bukunya The Story of Civilization volume XIII, halaman 151. Beliau menyampaikan,

“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang melakukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Di mana fenomena seperti itu belum pernah tercatat dalam sejarah setelah zaman mereka”.

Apa yang ditulis oleh Will Durant ialah hasil dari penerapan hukum syariat Islam, bahwa keamanan sebagai kebutuhan dasar publik yang wajib dijamin oleh negara secara langsung.

Salah satu fakta yang mengejutkan ialah tahukah kamu berapa angka kriminalitas yang terjadi dalam pemerintahan Khilafah Utsmaniyah selama beratus-ratus tahun lamanya? Menurut catatan sejarah dari Universitas Malaya Malaysia, sepanjang kurun waktu tersebut, hanya ada sekitar 200 kasus kriminal yang diajukan ke pengadilan. Tentu jumlah ini sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan tindak kriminalitas yang terjadi di sistem kehidupan kita saat ini.

Maka salah satu faktor yang menyebabkan terganggunya keamanan adalah terjadinya kriminalitas di tengah masyarakat. Karena itu, negara tidak akan tinggal diam terhadap kasus tersebut. Dalam Islam, yang dikatakan tindak kriminal adalah terjadinya pelanggaran hukum syariat. Imam Al-Mawardi menjelaskan kriminalitas adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta’zir. Maka Setiap perbuatan kriminal harus diberi sanksi (uqubat).

Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Nidhzamul Uqubat, menjelaskan bahwa sanksi Islam terbagi menjadi 4 jenis. Yang pertama yaitu hudud. Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang sanksinya telah ditetapkan oleh asy-Syari’. Kasus hudud dibagi menjadi 6, yakni zina dan liwath (homoseksual dan lesbian), al-qadzaf (menuduh zina orang lain), minum khamr, pencurian, murtad, hirabah atau bughat.

Lalu yang kedua ialah jinayat. Jinayat adalah penyerangan terhadap manusia. Kasus ini dibagi menjadi dua, yakni penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan), dan penyerangan terhadap anggota tubuh. Adapun sangsinya ada 3 macam, yakni qisash, diyat atau kafarat. Pembunuhan sendiri telah diklasifikasikan menjadi 4 jenis. Antara lain, pembunuhan disengaja, mirip disengaja, tidak sengaja, dan karena ketidaksengajaan.

Kemudian yang ketiga ialah ta’zir. Ta’zir adalah sanksi atas kemaksiatan yang didalamnya tidak ada had dan kafarah. Kasus ta’zir terbagi menjadi delapan, yakni pelanggaran terhadap kehormatan, penyerangan terhadap nama baik, tindak yang bisa merusak akal, penyerangan terhadap harta milik orang lain, gangguan terhadap keamanan (privasi), mengancam keamanan negara, kasus-kasus yang berkenaan dengan agama, kasus-kasus ta’zir lainnya. Hukuman yang diberikan ialah berdasarkan ketetapan pendapat khalifah atau qadhi (hakim) dengan mempertimbangkan kasus pelaku politik dan sebagainya.

Lalu yang keempat ialah mukhalafat. Mukhalafat adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah. Jadi dalam negara yang menerapkan Islam, kasus-kasus kriminalitas seperti pembunuhan, pembunuhan mutilasi, pencurian, penipuan, akan digolongkan berdasarkan uqubat dan dihukum sesuai dengan kejahatannya. Misalnya, kasus pembunuhan akan dihukum qisash, kasus pencurian akan dihukum potong tangan, dan lain sebagainya.

Uniknya, sistem sanksi dalam Islam berbeda dengan sistem sanksi apapun di dunia ini. Penerapan sistem uqubat akan memberikan dampak khas dan efektif yakni efek jawabir dan zawajir. Efek jawabir merupakan penebus dosa bagi pelaku yang dikenai sanksi hukum Islam. Bahkan efek lanjutannya, hukuman ini tentu akan memberi efek Jera kepada pelaku. Sedangkan efek zawajir, mampu mencegah masyarakat luas berbuat kriminalitas yang serupa.

Pelaksanaan sanksi kepada pelaku kriminal, akan dilaksanakan di tengah-tengah kaum muslimin. Contohnya hukuman potong tangan terhadap pelaku pencuri. Masyarakat yang menyaksikan secara langsung hukuman tersebut, pasti akan merasa ngeri dan tidak ingin melakukan hal yang serupa. Apakah hal ini mengerikan dan melanggar hak asasi manusia? Mungkin di mata kita yang saat ini masih terpenjara dalam sistem sekulerisme, hal ini tentu terasa mengerikan. Namun, penerapan sanksi yang tegas inilah yang membuat keamanan dalam negara begitu luar biasa.

Allah telah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 179,

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”.

Dalam ayat ini, terkandung bahwa Islam sangat menjaga nyawa tiap-tiap manusia. Jika seseorang paham ayat tentang qishash ini, tentu ia akan merasa takut untuk melakukan tindak kriminal misalnya pembunuhan. Karena sanksi bagi seorang pembunuh ialah akan dibunuh juga.

Namun, sebelum penerapan hukuman ini, tentu negara akan melakukan edukasi terhadap warganya, agar senantiasa dalam ketaatan, bukan kemaksiatan. Sungguh luar biasa bukan cara Islam menuntaskan kasus kriminalitas di tengah-tengah masyarakat?

Wallahu’alam bishshawaab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *