KONTROVERSI SERAGAM JILBAB, PINTU MASUK MENGGUGAT PERDA SYARIAT

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nun Ashima

 

Datang dari kasus siswi SMKN Padang yang menolak mengenakan jilbab, walaupun hal ini sudah menjadi peraturan sekolah. Ketetapan ini sudah berjalan selama 15 tahun atas Instruksi Wali Kota Padang nomor 451.442/BINSOS-iii/2005. Alasan siswi tersebut menolak mengenakan jilbab yaitu menurutnya ia tidak memiliki kewajiban karena menganut agama yang berbeda. Padahal dari dulu tidak ada yang mempermasalahkannya, bahkan banyak dari siswinya yang mengenakan dengan suka rela.

Intoleransi ini bukanlah kasus kali pertama terjadi, ada beberapa kasus serupa diantaranya kasus di SMAN 58 Jakarta yang mana ada guru yang mengarahkan untuk memilih Ketua OSIS berdasarkan agamanya, atau di SD Inpres 22 Wosi Manokwari dimana ada anak yang dilarang mengenakan jilbab dan kasus lainnya yang tidak terekspos.

Kabid Advokasi Perhimpunan untuk Pendidik dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, mengatakan Kasus intoleransi di sekolah yang dilakukan secara terstruktur bukanlah kasus baru. Dalam catatan P2G, pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019.

“Jauh sebelumnya 2014 sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali. Sedangkan kasus pemaksaan jilbab kami menduga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” kata Iman. (Antaranews.com, 26/1/2021)

Hingga kasus ini menyoal kepada diterbitkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama mengenai pakaian seragam di sekolah negeri yang berkeputusan agama. Bahwa mengenakan seragam berkhususan agama adalah hak individu, sekolah dan pemerintah daerah  tidak boleh melarang dan tidak boleh mewajibkan. Tanpa disadari keputusan ini adalah bentuk dari liberalisasi individu dalam beragama.

Kasus yang lahir dari keputusan Walikota setempat ini ditarik menjadi desakan untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersandar pada aturan agama (Perda Syariat). Sebagaimana yang diungkapkan Wasekjen PNI Marhaenisme, Ibnu Prakosa, “Perda komoditas politik dan diskriminatif itu dapat mengganggu kehidupan bermasyarakat.” Ia menilai perda-perda ini akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Juga  Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (politisi PDI Perjuangan) pernah mengutarakan niat mencabut aturan-aturan ini. Namun dia urung karena langsung dituduh anti-Islam dan anti-agama. Kini, kewenangan Mendagri mencabut perda sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Semua perda yang dianggap diskriminatif harus digugat ke Mahkamah Agung (MA).

Disampaikan juga oleh koordinator nasional P2G, Satriwan Salim, meminta agar Kemendagri harus mengecek semua Perda-perda yang potensi intoleran, yang bertentangan dengan Konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. Khususnya lagi adalah Perda intoleran yang diimplementasikan terhadap lingkungan sekolah.

Hal ini sudah jelas ada sikap diskriminatif terhadap islam yang tumbuh di kalangan pemerintah, sehingga keputusan-keputusan seperti perda syariat akan selalu dikekang dan digugat menjadi peraturan yang bertentangan di mata pemerintah bagi masyarakat.

Menurut mereka, banyak problem diklaim lahir dari pemberlakuan Perda Syariat. Diantaranya, sejumlah pengamat menilai kehadiran perda berdasarkan sebuah agama memunculkan beberapa masalah, antara lain menjadi komoditas politik, berpotensi diskriminatif, dan menghilangkan kepercayaan publik.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada 2009-2016 ada 421 kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kebijakan diskriminatif itu di antaranya kewajiban perempuan mengenakan jilbab, larangan keluar malam, dan juga pembatasan terhadap minoritas agama seperti Syiah dan Ahmadiyah.

Perda berdasarkan agama juga mengisyaratkan standar ganda. Sebab standar moral diterapkan bagi masyarakat namun tidak berlaku bagi para politisi. Misalnya, terkait penyelenggaraan negara yang bersih, papar pengamat politik Universitas Indonesia Ade Reza Hardiyan.

Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa sistem demokrasi tidak memberi ruang bagi pemberlakuan syariat sebagai aturan publik. Islam dikerdilkan menjadi ajaran ritual sebagaimana agama lain. Yang hakikatnya islam bukanlah hanya sebuah agama tetapi islam adalah ideologi bagi seluruh manusia yang akan melahirkan peraturan yang menentramkan dan mensejahterakan.

Namun atas nama hak asai manusia, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan agama akan selalu digugat. Seperti halnya kasus jilbab yang terjadi seperti sekarang ini, yang notabene penggunaan jilbab sudah jelas kewajibannya dari Allah swt khususnya untuk kaum muslimah dan sudah seharusnya Negara wajib melindungi dan menetapkan aturan ini.

Begitu halnya dengan penghapusan perda syariat yang memantik kepada pemisahan agama dari kehidupan, artinya Negara sungguh enggan mengambil auran-aturan yang berbasic kepada syariat. Negara abai kepada perannya yang sehararusnya sebagai pelaksana syariat, bukan malah menolak syariat.

Buah dari sekulersime demokrasi yang melepaskan agama dari kehidupan. Tidak adanya andil agama dalam pemberi aturan, kehidupan diatur dengan cara mereka sendiri sesuai keinginan dan nafsu belaka, alih-alih penyelesaian masalah malah menimbulkan masalah. Dalam kehidupan individu mereka harus diatur dengan cara barat bahkan hingga ke ranah pemerintahan.

Apalagi dengan ditetapkannya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri, ini terang-terangan pengalihan kepada syariah phobia. Tidak mengertilah mereka dari apa yang telah Allah terangkan, bahwa umat akan kehilangan rahmat dan berkah jika syariat ditinggalkan.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Qs. Al Anbiya: 107)

Institusi Negara islam akan mampu mengatur manusia kepada kesejahteraan, bagi muslim akan selalu dijaga dalam ketaatan penuh adapun bagi non-muslim akan dilindungi dan mendapat fasilitas yang sama, artinya Islam menempatkan semua orang yang tinggal di Negara Islam sebagai warga negara dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Negara berkewajiban menjaga dan melindungi jiwa, keyakinan, kebebasan beribadah, kehormatan, kehidupan, dan harta benda walaupun itu non-Muslim yang menjadi ahl al-dzimmah sejauh mereka patuh dan tidak melanggar dari perjanjian yang disyariatkan Allah swt.

Islam yang rahmatan lil’alamiin akan selalu melahirkan ketentraman di setiap zaman. Walaupun permasalahan di setiap zaman berbeda, sudah seharusnya kita sebagai muslim kembali dan mengambil solusi itu dari islam secara keseluruhan dalam bingkai penerapan syariah dan khilafah, InsyaaAllah akan selalu terselesaikan dan akan menghadirkan ketenangan hati dan jiwa.

Wallahu a’lam bishshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *